Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Benarkah Transfer Caleg karena Perbedaan Ideologi Politik?

Diperbarui: 19 Juli 2018   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pilkada(KOMPAS/PRIYOMBODO)

Isu transfer caleg pertama kali mengemuka dari pernyataan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan ketika menyoal salah satu anggotanya, Lucky Hakim yang berpindah partai ke Nasdem. Lucky yang merupakan anggota DPR asal PAN, justru menjadi caleg dari Nasdem dengan konon gara-gara "uang kontrak" sebesar 5 miliar rupiah. 

Isu transfer caleg ini kian santer, setelah melihat kenyataan bahwa banyak para politisi yang hijrah nyaleg dari parpol lain, bukan dari parpol pengusung sebelumnya. Modus transfer caleg ini seperti membuka borok lama soal money politics yang dulu pernah dianggap sebagai cara instan seseorang untuk membeli hasrat kekuasaan dan jabatan.

Walaupun kesan transfer caleg tak selalu linier dengan soal duit, namun sangat sulit rasanya jika persoalan perpindahan para caleg dari satu partai ke partai lainnya murni karena alasan ideologis. 

Bagi saya, ideologi politik sejauh ini sudah tergadaikan oleh nilai materialistik, kepentingan pribadi, dan bahkan privilege kekuasaan. 

Sekuat apapun dan serasional apapun alasan perpindahan seorang caleg ke kendaraan politik lain, tetap saja "nominal" materi menjadi pertimbangan yang paling utama. "Transfer politik" sepertinya menjadi tren baru di dunia legislatif, dimana parpol harus menjaring sebanyak mungkin para pesohor, terutama mereka yang eksis di dunia entertainment.

Ongkos politik tentu saja tidak murah, jika ingin para caleg masuk tidak sekadar nangkring dalam daftar urutan nomor sepatu. Angka-angka tertentu dalam penomoran urutan caleg, tentu bukan soal lemah dan kuatnya ideologi politik seseorang atau kedekatan dan pembelaannya yang luar biasa terhadap parpol, tetapi lebih diurutkan berdasar siapa yang terbesar biaya transfer politiknya. 

Itulah sebabnya, para artis tak luput tergiur akan indahnya kekuasaan, mereka banyak yang banting stir mengikuti seleksi pencalegan lewat parpol manapun jalurnya. Jadi, sulit untuk melepaskan bahwa dunia politik sama dengan dunia bisnis, berlomba-lomba menawarkan "produk" yang sudah terlebih dulu di kenal masyarakat. Semakin banyak figur yang dipilih, maka keuntungan besar sudah didepan mata tak ubahnya seperti keuntungan menggiurkan sebuah perusahaan.

Jadi, sejauh mana praktik transfer "produk" politik itu karena alasan kedekatan atau kesamaan ideologis? Saya kira, anda mampu menebaknya jika melihat perihal ongkos politik yang sedemikian besar dalam seluruh lini kekuasaan. 

Demokrasi belakangan sangat kontras dengan ajang "jual-beli" yang terkungkung dalam formalistik-pragmatis. Sulit sekali keluar dari kungkungan "bisnis" politik ini, kecuali jika kita siap menerima kekalahan demi kekalahan berkontestasi. 

Toh, aturan caleg eks napi korupsi pada akhirnya tetap dipertahankan, lagi-lagi karena soal adanya tekanan "biaya politik". Parpol bersedia menjelaskan asal-usul kenapa eks koruptor tetap diakomodasi untuk nyaleg, mungkinkah karena soal kedekatan ideologi politiknya? Tanya diri anda sendiri.

Saya kira, isu merebaknya transfer caleg semakin membuka mata publik, betapa kekuatan materi dan bukan ideologi yang tampak diperkuat. Tak ada ideologi politik, karena sejatinya ia hadir di "dunia lain" bukan dalam dunia nyata panggung kekuasaan. Wajar jika ada sebagian orang yang "gagal" menangkap makna demokrasi yang digadang-gadang menjadi sistem yang paling adil dan menerima keinginan berbagai pihak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline