Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Menanti Hasil Ijtima' Ulama Soal Kandidat Capres 2019

Diperbarui: 4 Juli 2018   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tim 11 Ulama Alumni 212 dalam konferensi pers di Restoran Larazeta, Jakarta, Rabu (25/4/2018). (DYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com)

Menarik sesungguhnya ketika para ulama berkumpul untuk bersepakat (ijtima') menentukan pasangan capres dan cawapres untuk Pilpres 2019 mendatang. Umumnya, proses ijtima' ulama terkait dengan persoalan sosial-keagamaan, kini sudah bergeser dalam ranah politik.

Tidak ada yang perlu dirisaukan soal keinginan para ulama bersepakat dalam konteks politik ini, yang perlu dirisaukan justru ketika hasil ijtima' itu tak ditaati oleh unsur parpol di saat harus menentukkan apakah kandidat harus mengikuti hasil ijtima' ataukah mempertimbangkan kenyataan parpol koalisi nantinya. Sejauh ini, baru PAN yang menyatakan akan mempertimbangkan aspek ijtima' ulama dalam soal pengusungan kandidatnya di Pilpres nanti.

Para ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), Pesaudaraan Alumni (PA) 212 dan DPP FPI rencananya akan berembuk dan merekomendasikan kandidat yang akan berlaga di Pilpres 2019. Ada beberapa nama kandidat capres yang telah dikantongi oleh kelompok ulama ini, di antaranya ialah Habib Rizieq Shihab, Prabowo Subianto, Tuan Guru Bajang, Yusril Ihza Mahendra, dan Zulkifli Hasan.

Entah apakah karena nama Zulhas masuk dalam radar kesepakatan para ulama, sehingga PAN menjadi parpol pertama yang kemudian mempertimbangkan hasil ijtima' ini nantinya ataukah memang ada pertimbangan lain. Menerima hasil ijtima' ulama soal kandidat serasa sangat sulit, terlebih ulama yang dimaksud erat kaitannya dengan "ulama" politik.

Ada hal menarik sebenarnya dari hasil rekomendasi nama-nama kandidat versi ulama ini, di mana nama Habib Rizieq masuk di urutan pertama yang paling "recommended" di antara nama kandidat lainnya. Rizieq, saya kira cukup populer di kalangan umat Islam, mengingat berbagai pemberitaan yang kontroversial mengenai sosok keberadaannya.

Popularitas tentu saja tak linier dengan elektabilitas karena banyak sekali kenyataan politik yang justru menggambarkan sebaliknya. Seorang artis yang dikenal masyarakat, tak menjamin memenangkan ajang kontestasi jika hanya didukung popularitas jika tak diiringi dengan elektabilitas politik yang mewujud melalui kepeduliannya yang besar terhadap persoalan-persoalan sosial.

Persoalan akan muncul belakangan, jika seandainya rekomendasi hasil ijtima' ulama justru mengerucut hanya kepada nama Habib Rizieq Shihab satu-satunya kandidat capres yang diusung para ulama. Parpol pengusung mungkin saja menolak, karena keberadaan mereka sebagai prasyarat utama presidential treshold (PT) dalam mengusung kandidat justru terabaikan begitu saja.

Kecuali, jika kandidat capres dari parpol dan cawapres direkomendasikan oleh hasil ijtima' ulama, barangkali itu yang lebih proporsional dan masuk akal. Saya kira perlu dipahami, bahwa kepemimpinan politik kekinian bukanlah ditunjukkan oleh ketokohan individual, tetapi lebih kepada bentuk kolektif-kolegial, di mana tidak ada peran utama yang menonjol dari sisi individunya, tapi dari sisi kekompakannya dalam meramu kebijakan-kebijakan sosial-politik.

Bagi saya, akan lebih menarik lagi jika spektrum ulama lebih diperluas, tak sebatas mereka yang aktif secara politik dalam gerakan-gerakan tertentu, seperti GNPF atau 212. Luasnya spektrum ulama tentu saja semakin memperkuat hasil rekomendasi dan jauh dari kesan kelompok itu-itu saja yang concern dalam urusan politik. Benar, bahwa ulama berpengaruh besar dalam mempengaruhi pemilih sebagaimana diungkapkan Zulhas. "Pengaruh ulama memang besar sekali. Lihat saja Jabar, Jateng, Jatim, Sumut itu luar biasa," ujarnya dalam laman situs detik.com (03/7/18).

Akan lebih sulit rasanya, jika ulama yang mengeluarkan hasil rekomendasi hanya terbatas pada spektrum gerakan 212 yang sejak awal memang bergerak dalam upaya pemenangan politik. Kecuali dalam spekrum sektoral, seperti ampuhnya fatwa ulama NU pada Pilkada Jatim 2018 lalu yang berhasil mengantarkan Khofifah-Emil ke kursi gubernur dan wakil gubernur. Fatwa ulama ini tentu saja lingkupnya sektoral, hanya dalam wilayah Jatim dalam konteks Pilgub. Membuat kesepakatan ulama yang bersifat nasional dalam soal rekomendasi capres atau membidani sekian fatwa ulama agar masyarakat mendukung salah satu capres tertentu, mungkin teramat sulit.

Di tengah dikotomisasi masyarakat pemilih antara sekuler dan agama, atau bahkan ada yang abu-abu di antara keduanya, merupakan kesulitan tersendiri bagi ulama sektoral menggalang upaya kekuatan politik melalui ijtima' mereka untuk mendukung kandidat versi ijtima' ulama. Bukan apa-apa, politik kekuasaan lekat dengan nuansa rasionalitas yang kadang "terbebas" dari berbagai unsur keyakinan agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline