Sejak bulan Ramadan beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia---khususnya Kemenag---disibukkan oleh berbagai hal menyangkut kegiatan ibadah haji. Walaupun keputusan soal penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sempat molor, namun tak berdampak signifikan terhadap seluruh proses penyelenggaraannya.
Pendelegasian soal tata cara pelaksanaan manasik dari pihak kemenag ke Kantor Urusan Agama (KUA) berjalan dengan baik, bahkan mungkin paling baik dibanding hadirnya unsur KBIH yang sedianya dapat melengkapi kegiatan manasik yang dirasa kurang intensif diberikan KUA. Menurut pengamatan saya, seluruh rangkaian prosesi persiapan keberangkatan jamaah haji Indonesia di tahun 2018 ini, paling baik dibanding tahun sebelumnya.
Untuk jamaah haji yang berangkat di tahun ini, secara umum adalah mereka yang telah mendaftar dan menunggu antrian pemberangkatan sejak 2011 lalu. Masa tunggu selama kurang lebih 7 tahun termasuk masa tunggu yang tidak begitu lama, karena bagi jamaah yang mendaftar di tahun 2012, sudah harus menunggu antrian hingga 10 sampai 12 tahun.
Begitu lamanya masa antrian haji, sehingga perlu disadari bahwa haji hanyalah dapat dijalankan satu kali seumur hidup, pertama dan mungkin saja yang terakhir kalinya. Alangkah tidak masuk akal, jika kemudian mereka yang bermaksud berhaji lagi dan mendaftar di tahun 2019 nanti, masa tunggu pasti akan bertambah panjang, bisa mencapai 15 hingga 20 tahun yang akan datang.
Membangun mindset soal haji yang pertama dan terakhir serasa begitu penting, dimana setiap jamaah disadarkan akan totalitas haji yang lebih bernilai, memiliki makna penting dalam kehidupan setiap muslim yang telah sukses menjalankan salah satu rukun Islam dengan sempurna. Cara pandang seperti ini juga akan berdampak pada keseriusan dalam beribadah, bukan sekadar ziarah atau malah sebatas traveling yang menghamburkan uang.
Tidak semua umat Islam Indonesia yang mendaftarkan haji berhak dalam waktu cepat diberangkatkan, namun harus rela menunggu antrian disesuaikan dengan jumlah kuota keberangkatan. Dengan membangun prinsip, "inilah haji saya yang pertama dan terakhir kalinya", semakin memperteguh kesadaran akan nilai pentingnya suatu ibadah, dijalankan secara serius tanpa ada motif apapun dibelakangnya.
Haji, merupakan ibadah yang tak bersifat "kontanitas" (segera) dalam pelaksanannya, mengingat pelaksanaannya tidak setiap saat---hanya di bulan Dzulhijjah---yang senantiasa ada setiap tahunnya. Tak ada batasan umur bagi haji, waktunya pun tak harus tahun ini, bahkan jika kebutuhan syarat perjalanan haji belum terpenuhi, masih bisa ditangguhkan.
Itulah sebabnya, haji masuk dalam kategori ibadah "tarakhi" (pilihan; dapat dilakukan kapanpun), lain halnya dengan zakat yang pelaksanannya harus "kontan" (faurun) tanpa harus ditunda-tunda. Salah satu syarat utama haji yang dikenal dengan "istitho'ah" (berkemampuan, cakap) memberikan kesan kuat bahwa haji merupakan ibadah "pilihan" yang ketika memang memiliki kemampuan, segeralah dilaksanakan.
Prinsip "istitho'ah" menjadi prasyarat utama yang beberapa tahun ini diberlakukan pemerintah Indonesia, walaupun masih sebatas istitho'ah kesehatan, belum sampai kepada prinsip kemampuan lainnya. Namun paling tidak, prinsip ini benar-benar berdampak pada upaya memberikan jaminan keselamatan kepada jamaah haji, sejak dari keberangkatan hingga nanti pulang ke Tanah Air. Mengingat haji merupakan ibadah fisik secara keseluruhan, maka jaminan keselamatan berupa prasyarat kesehatan harus benar-benar terpenuhi untuk kelancaran seluruh rangkaian beribadah.
Menarik bagi saya, kenapa prinsip haji sekali seumur hidup harus melekat dalam mindset setiap umat muslim. Selain untuk mewujudkan ibadah yang lebih bernilai, ternyata Nabi Muhammad sepanjang hidupnya hanya satu kali menjalankan ibadah haji yang dikenal dengan Haji Wada'. Bukan juga suatu kebetulan, ketika dalam khutbahnya di Arafah---saat Haji Wada---Nabi pernah ditanya seseorang, "Apakah haji itu setiap tahun?" Nabi tak menggubris pertanyaan itu, bahkan hingga tiga kali pertaanyaan serupa dilontarkan.
Lalu, dengan jawaban diplomatis Nabi menjawab, "Seandainya saya katakan ya, maka kamu tak akan sanggup melaksanakannya". Ini menunjukkan haji merupakan ibadah fisik yang memberatkan jika dilakukan berkali-kali, padahal prinsip dalam agama, ibadah itu memudahkan jauh dari kesan membebani kemampuan fisik seseorang.