Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Mudik "Neraka" yang Tetap Mudik "Surga"

Diperbarui: 21 Juni 2018   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Heboh soal pernyataan Habiburokhman yang menyebut mudik 2018 adalah mudik neraka, tetap saja tak menyurutkan keinginan para pemudik untuk pulang kampung menikmati setiap perjalanannya. Saya sendiri pemudik yang pada H-2 lalu ikut bersama jutaan pemudik lainnya berjibaku menikmati kemacetan seperti biasa. Sebutan mudik neraka barangkali sekadar subjektivitas yang terlontar dari kekesalan pribadi Habiburokhman yang hendak pulang kampung, walaupun toh tetap juga melanjutkan perjalanan mudiknya. Mudik tetap menjadi pilihan bahkan kenikmatan, seolah-olah "neraka" jalanan yang horor tetap dianggap "surga" karena tujuan pulang kampung tentu saja ibadah karena hendak bersilaturrahmi dengan keluarga.

Bagi saya, kondisi mudik seburuk apapun tak akan pernah menyurutkan semangat para pemudik setiap tahunnya, bahkan jika dipersentasekan antara kapok dan tidak, maka tidak pernah kapok merupakan jawaban terbanyak yang akan dipilih pemudik. Saya tak perlu melaporkan Habiburokhman seperti yang dilakukan seorang mahasiswa, hanya karena pernyataan Habiburokhman yang menyebut mudik neraka. Laporan itu akan sia-sia, karena tak merugikan siapapun, karena terbukti lebih banyak yang mudik daripada yang tinggal. Tak ada kerugian yang ditimbulkan oleh politisi Gerindra ini, kecuali kemarahan atau kekesalan yang bersifat pribadi sebagai cermin keluguan antara pendukung dan oposan salah satu kekuatan politik.

Melihat data statistik pemudik yang meningkat setiap tahunnya, membuktikan bahwa tak berlaku istilah "neraka" sebagaimana diungkapkan salah seorang politisi ini. Kejadian horor di Tol Brexit pada 2017 lalu, tetaplah menjadi mimpi buruk masa lalu yang tak lagi dipikirkan pada tahun berikutnya. Bahkan, pada tahub 2018 ini, pemudik dengan menggunakan moda transportasi kendaraan pribadi meningkat sebanyak 16,6 persen atau setara dengan jumlah 3,72 juta pemudik. Itu baru kenaikan persentase pemudik dengan kendaraan pribadi, belum yang menggunakan transportasi publik lainnya. Ini artinya, setengah penduduk Jakarta lebih memilih mudik di hari lebaran, apapun dan bagaimanapun kondisinya, sekalipun hanya diberi waktu libur beberapa hari.

Jadi, menanggapi soal pernyataan salah seorang politisi terkenal soal mudik neraka, saya kira tak perlu ditanggapi serius, apalagi dengan emosional dilaporkan hingga ke pihak berwenang. Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa dunia politik selalu diramaikan oleh para pendukung, penolak, dan simpatisan salah satu kubu politik. Pernyataan-pernyataan gaduh harus dapat dipublikasikan untuk mengukur sejauh mana pihak lawan politik mampu membuat pernyataan serupa sehingga terbangun suatu opini yang membelah, mana yang pro dan mana yang kontra. Pembelahan opini diharapkan dapat berdampak sampai ke tingkat akar rumput, karena yang dipahami mereka justru kegaduhan bukan kedewasaan. Lihat saja yang terjadi di arus bawah, mereka mulai terbelah saling lempar pernyataan yang sebenarnya mereka sendiri tak tahu menahu.

Pembangunan opini dengan mengeluarkan pernyataan dengan maksud membuat kegaduhan, merupakan cara paling efektif untuk menggedor citra kekuasaan. Umumnya, para oposisi menyuarakan suara kritisnya melalui serangkaian pernyataan menohok yang langsung memberikan citra negatif pada kekuasaan. Bagi saya, kesalahan banyak diantara oposisi justru menuai kegaduhan ditengah publik yang memperburuk citra penguasa, bukan menjadi "penyeimbang" yang senantiasa membudayakan sisi alternatif yang "menambal" kekurangan-kekurangan seraya mengajukan alternatif yang dapat meningkatkan citra positif para oposan ditengah publik.

Padahal, tugas para oposisi pemerintahan menjadi "balance of power", terus menyuarakan kritik jika terdapat kebijakan-kebijakan penguasa yang melenceng dari nilai kerakyatan dan kesejahteraan. Kenyataannya, oposisi justru terus membangun opini destruktif dimana seolah-olah bahwa pemerintah tak pernah membuat kebijakan yang berdampak pada kesejahteraan. Bagi saya, oposisi dan penguasa semestinya tetap saling mempengaruhi, saling mengingatkan, sehingga terwujud harmonisasi kekuasaan yang baik. Fungsi oposisi yang berpengaruh dalam mengkritisi kebijakan pemerintah harus senantiasa dihidupkan agar mereka tak salah jalan atau kebablasan. Kritik kelompok oposan sangat diperlukan dalam memperoleh keseimbangan dalam kekuasaan.

Saya justru menyesalkan pernyataan yang menyebutkan mudik neraka padahal mudik dengan segala resikonya tetaplah "surga" bagi para pelakunya. Mungkin saja ini merupakan kritik yang dilakukan oposisi terhadap penguasa meskipun tidak pada tempatnya. Menyebut mudik neraka tetapi dirinya tetap mudik sama saja dengan menuju neraka bagi dirinya sendiri. 

Artinya, neraka telah diciptakan oleh dirinya sendiri karena selain ketidaknyamanan karena suasana mudik, sikap emosional yang memuncak jelas membuat semakin panas dan terciptalah neraka dalam perasaan subjetivitasnya tersebut. Alangkah lebih nikmat jika seandainya memunculkan nuansa surga ketika mudik bukan neraka, sebab gambaran surga yang nikmat akan lebih mendorong cara pandang seseorang semakin positif karena tujuan surga yang hendak diraihnya.

Saya hanya khawatir, jika istilah "surga" dan "neraka" seolah menjadi narasi politik yang keluar dari makna substantif yang sebenarnya. Jangan-jangan benar bahwa pihak oposisi memang menjalankan praktik "politisasi agama" hingga soal neraka diasosiasikan dengan entitas mudik yang memang setiap tahunnya penuh suasana padat, macet, kacau, yang lebih banyak mengundang emosi daripada apresiasi. 

Benar, menjadi oposisi memang berat karena harus mampu membangun opini negatif secara cepat. Walaupun ada kalanya para oposisi suatu saat ketika menjadi penguasa akan terserang penyakit bisu dan sulit bersuara, karena mereka memang penguasa! Itulah dunia politik yang seringkali membuat banyak orang tak berkutik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline