Mungkin tak ada yang dapat dipersepsikan terhadap Istana Kepresidenan belakangan ini, kecuali tampak ekspresi kekhawatiran yang entah terhadap siapa atau kekuatan politik mana.
Setelah Presiden Joko Widodo menunjuk Ali Mochtar Ngabalin sebagai staf presiden yang diberi tugas menjembatani antara pemerintah dengan jaringan pesantren dan organisasi kemasyarakatan Islam, kini Istana kembali merekrut salah satu tokoh ormas Islam terbesar NU, duduk dalam lingkarannya.
Tak tanggung-tanggung, Yahya Cholil Tsaquf yang saat ini masih menjabat Wakil Katib Aam PBNU ditunjuk Presiden Jokowi sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).
Bagi saya, penunjukkan kedua tokoh dari kalangan muslim dengan perbedaan latar belakang yang cukup mencolok ini, memperlihatkan ada sesuatu yang harus segera dilakukan Istana. Rentan waktu yang cukup dekat antara penunjukkan Ngabalin dan Staquf seperti meneguhkan adanya kekhawatiran tersebut.
Penguatan kalangan Islam masuk Istana, rasa-rasanya tampak lebih menguat belakangan ini. Kalangan Islam politik yang sedikit "keras" seperti Ngabalin hingga tokoh yang mewakili kalangan Islam moderat, seperti ketokohan yang melekat pada diri Staquf, ketika masuk dalam lingkungan Istana, tak bisa dianggap sebagai hal biasa.
Menariknya, Staquf pernah menjadi jubir Presiden Keempat, KH Abdurrahman Wahid, yang sempat didaulat untuk membacakan Dekrit Presiden pada tahun 2003.
Kini, setelah 15 tahun, Staquf kembali ke Istana atas permintaan Jokowi. Pengalamannya menjadi jubir Presiden Abdurrahman Wahid, barangkali yang menjadi pertimbangan Jokowi, selain karena Staquf secara kebetulan dapat mewakili ormas Islam terbesar NU. Mungkin saja kekosongan salah satu kursi Watimpres, yang sebelumnya diisi oleh almarhum KH Hasyim Muzadi yang juga representasi kalangan NU karena ia sendiri pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU.
Memasukkan Staquf dalam jajaran penasehat di Istana Presiden, paling tidak memberikan kehormatan yang besar pada ormas Islam NU yang selama ini dirasa dekat dengan Jokowi.
Siapa lagi kandidat yang pernah berpengalaman bersama presiden di Istana selain Staquf di jajaran elite NU? Penunjukkan Yahya Chalil Staquf dinilai tepat disaat suasana kepolitikan jelang pemilu ini tampak semakin menghangat, terutama yang muncul dari berbagai gerakan Islam politik karena menginginkan bergulirnya suatu perubahan.
NU bisa saja dimanfaatkan Jokowi sebagai pendukung setia kalangan Islam untuk penopang suaranya nanti, walaupun tak sepenuhnya suara NU manut pada suasana "status quo" seperti yang telah berjalan selama ini.
Lalu, bagaimana dengan Ngabalin? Keberadaannya di Istana sebenarnya cukup mengagetkan, karena Ngabalin dikenal berseberangan secara politik dengan pemerintahan saat ini.