Mungkin tak berlebihan kiranya, jika puasa lebih banyak dipahami sebagai bentuk ibadah secara eksoteris (lahiriah) dibanding esoteris (batiniyah). Menahan lapar dan dahaga merupakan bentuk "kesengsaraan" fisik yang seringkali ditonjolkan dalam sebuah aktivitas puasa.
Padahal, melihat pada entitas puasa sebagai ibadah yang langsung dinilai dan hanya untuk Tuhan (as-shaumu lii wal ajzi bii), maka dimensi batiniyah puasa semestinya lebih kuat, karena Tuhan tak mungkin dipahami dalam dunia fisik-lahiriah, tetapi kehadiran-Nya hanya dapat dirasakan melalui ruang-ruang batin berdimensi metafisik. Puasa, dengan demikian sesungguhnya jalan menyingkap ruang batin untuk menggapai nilai-nilai ilahiah, melalui peneladanan kesengsaraan fisik.
Bukan suatu kebetulan, ketika Nabi Muhammad menyebut terdapat dua sisi kebahagiaan yang melekat pada setiap hamba yang berpuasa, yaitu kebahagiaan disaat berbuka dan ketika mereka bertemu dengan Tuhannya. Berbuka setelah menahan lapar dan dahaga, tentu saja kebahagiaan yang dapat diukur secara fisik, namun jauh dari itu, kebahagiaan yang lebih tinggi dan abadi tentu saja ketika bertemu dengan Rabb-nya.
Kalimat "liqai rabbihi" (bertemu dengan Tuhannya) yang disebut kebahagiaan terakhir bagi orang yang berpuasa, bukanlah dalam konteks kedisanaan (nanti di akhirat), tetapi justru "menemukan" Tuhan yang hanya mampu dilakukan ketika seseorang menjalani puasa secara esoteris.
Secara hakiki, manusia sudah sejak azali-nya, terikat dalam perjanjian primordialisme dengan Tuhan, sehingga kecenderungan untuk tunduk, patuh, dan berbakti kepada Tuhannya adalah ciri dari sifat yang melekat dalam diri kemanusiaannya. Perjanjian abadi manusia itu terekam dalam QS 7:172: "Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
Pengakuan Tuhan sebagai Rabb berkonsukuensi pada konsep kebaktian seseorang kepada Tuhan, disadari maupun tidak. Itulah kenapa, ketakwaan merupakan bakti seorang hamba terhadap Tuhannya yang secara jelas dapat ditunjukkan melalui aktivitas puasa. Puasa adalah "kebaktian" karena fitrah manusia yang memiliki kecenderungan kepada Tuhan ('abd).
Konsep "Islam Esoteris" biasanya dipahami sebagai bentuk passing over melewati simbol-simbol, jauh melebihi segi lahiriah (syariat) nya sendiri, kemudian masuk lebih dalam pada sisi realitas tertinggi (high reality) sehingga menemukan realitas lainnya yang bersifat batiniah (non materi).
Maka sama juga halnya dengan puasa, simbolisasi lahiriahnya, terdapat dalam perspektif menahan makan, minum, berhubungan suami-istri dalam waktu tertentu, yang kemudian sekadar menghadirkan kesengsaraan fisik, belum sampai pada kenikmatan batin atau psikologis. Puasa esoteris akan mengajak kepada suasana batin yang lebih dalam, melampaui batas fisik, mencoba keluar dari dimensi penjara fisik yang sesungguhnya.
Menarik sesungguhnya ketika memahami lebih jauh bagaimana esoterisme Islam membedah kedirian manusia. Paham ini memandang manusia memiliki tiga unsur bertingkat, yaitu jasmani, nafsani, dan rohani. Tingkat terendah tentu saja jasmani, fisik, badan atau tubuh manusia yang tampak sehari-hari (lahiriah).
Di atasnya, ada "nafsani" yaitu unsur manusia yang bersifat nafs, jiwa, atau psikologi. Segi ini sudah tidak lagi bersifat jasmaniah, tetapi mulai menunjukkan eksitensi batiniahnya bahkan terkait erat dengan dimensi pikiran manusianya (human mind). Diatas semua itu, puncak dimensi kemanusiaan tertinggi adalah rohani atau spirit yang bersih dan terjaga dari beragam anasir keburukan yang berasal dari dimensi fisik manusia.
Puasa tentu saja tidak menyasar dimensi fisik secara kelesuruhan, tetapi memanfaatkan fisik sebagai "jembatan" menuju dimensi batiniah yang sesungguhnya. Inti dari aktivitas puasa, lebih dalam membangun dan memperbaiki suasana batin agar lebih erat memiliki hubungan dengan Tuhan. Puasa mengajarkan kesalehan---baik individual maupun sosial---yang akan berpengaruh mengisi secara baik, ruang batin yang ada dalam setiap diri seseorang.