Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2018 telah beberapa minggu yang lalu disepakati antara pemerintah dan DPR, sebesar Rp 35,23 juta atau naik Rp 345 ribu dibanding tahun sebelumnya. Waktu biaya pelunasan BPIH sedianya sudah diumumkan pihak Kementerian Agama (Kemenag) yang dibagi dalam dua tahap, yaitu 3-20 April untuk tahap pertama dan 6-18 Mei dilakukan di tahap kedua. Namun, Keppres soal BPIH ini belum juga ada tanda-tanda kapan ditandatangani Presiden Jokowi dan dirilis pihak Setneg.
Desakan dari DPR disuarakan melalui Wakil Ketua Komisi VIII, Tubagus Ace Hasan Syadzily, agar pihak Setneg segera menerbitkannya. Walaupun, per hari ini, 09/4, pihak Kemenag melalui Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) merilis soal Keppres BPIH 2018 yang sudah ditandatangani Presiden, namun tetap saja mengalami keterlambatan.
Atas keterlambatan ini, pihak Kemenag memastikan, akan menunda biaya pelunasan BPIH tahun ini yang tadinya dimulai tanggal 3 April menjadi tanggal 12 April 2018. Hal ini, tentu saja akan berpengaruh terhadap segala persiapan penyelenggaraan ibadah haji termasuk besar kemungkinan pelatihan manasik dan persiapan haji yang mungkin saja dipangkas waktunya.
Asumsi saya, mundurnya jadwal pelunasan BPIH, kemungkinan besar karena terlampau sibuknya Jokowi dalam berbagai kegiatan, termasuk menggalang dukungan politik dengan membentuk jaringan relawan, termasuk sibuk menghadapi berbagai perlawanan dari pihak oposisi.
Ibadah haji, merupakan ibadah massal yang paling banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat. Tidak hanya persoalan antrean panjang pemberangkatan haji yang sulit terurai, namun soal tata kelola pelaksanaan yang kerapkali bermasalah.
Kritik atas pengelolaan ibadah haji, bahkan menyasar pada persoalan dana haji yang sempat menjadi polemik sehingga pengelolaannya saat ini dialihkan dari Kemenag kepada Badan Pengelola Keuangan Haji yang bersifat independen. Sejauh ini, pihak pemerintah selalu saja dikritik, mengenai tata kelola haji, bahkan tudingan buruk dari wakil rakyat pernah dialamatkan kepada pemerintah soal "pembiaran" umrah bodong yang pada akhirnya menambah citra buruk masyarakat soal pengelolaan ibadah ini.
Menjelang tahun politik, Jokowi memang tampak gencar membangun image politik: menyelesaikan berbagai infrastruktur dan meresmikannya, berkunjung ke daerah-daerah membagikan sertifikat tanah, atau mengundang para tokoh-tokoh masyarakat ke Istana. Belum lama ini, Jokowi disebutkan mulai melakukan serangan balik atas isu-isu miring yang selama ini diarahkan kepadanya.
Dalam acara temu relawan yang tergabung dalam Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018 di Bogor (7/4), Jokowi yang biasanya tampak kalem, mulai menunjukkan sikap "perlawanannya" kepada pihak oposisi dengan mengomentari berbagai hal, dari mulai isu PKI, utang negara, sampai soal Gerakan #2019GantiPresiden yang belakangan ramai menjual aksesorisnya di media sosial.
Jelang tahun politik, isu apapun tampaknya dapat dijadikan kosmetikasi politik, entah itu soal ungkapan sindiran para elit, retorika yang buruk para politisi, sampai soal puisi yang seharusnya tak ada kaitannya dengan dunia politik.
Sebagai seorang pemimpin negara, Jokowi memang selalu menempatkan dirinya sebagai simbol negara yang berupaya bersikap netral, tanpa harus membeda-bedakan mana kelompok pendukung dan mana pihak oposisi. Sejauh ini, dirinya selalu tampak kalem dalam menghadapi beragam isu politik yang terkesan menyudutkan dirinya, bahkan cenderung tak pernah menanggapinya secara serius. Kecuali beberapa hari ini, Jokowi sudah mulai melakukan "perlawanan" kepada kelompok oposisi yang senantiasa mengkritik dirinya.
Menarik rasanya mencermati berbagai gerakan oposisi yang sejauh ini terkesan "menentang" kepemimpinan Jokowi. Oposisi yang semestinya berfungsi sebagai "penyeimbang" dalam pemerintahan dan mampu memberikan nuansa kritik konstruktif terhadap segala macam program dan kebijakan pemerintah, malah terjerembab menjadi sekadar oposan yang sedemikian membenci pemerintahan.