Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Salah Paham soal Kampus UIN Jakarta sebagai Tempat Baiat ISIS

Diperbarui: 17 Maret 2018   20:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber gambar: uinjkt.ac.id)

Hampir dipastikan, seluruh kampus yang berbasis agama, seperti Universitas Islam Negeri (UIN) cenderung sulit disusupi paham radikalisme, terlebih terorisme. Hal ini ditegaskan Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI M. Hamdan Basyar, bahwa dari penelitian pola-pola gerakan radikal di Indonesia, salah satu pola yang kerap terjadi, paham radikal masuk melalui organisasi keagamaan di kampus-kampus umum (non keagamaan).

Kecenderungan mudahnya radikalisme tumbuh kampus non keagamaan dikarenakan mayoritas pemahaman keagamaan mahasiswa di kampus-kampus umum sangat kurang. Mereka lantas gampang menerima ketika diberi pemahaman agama dari satu sisi saja, yakni dari sisi radikal (lipi.go.id, 18/2/2016).

Kenyataan soal UIN sebagai kampus keagamaan yang jauh dari persemaian radikalisme, justru seakan dipahami secara berbeda, ketika pernyataan saksi kasus Bom Thamrin, Adi Jihadi, menyebut UIN sebagai tempat pembaiatan dirinya sebagai simpatisan ISIS (megapolitan.kompas.com, 13/3/2018).

Memang, telah terjadi kegiatan semacam pembaiatan ini tetapi dilakukan pihak luar kampus yang menyewa salah satu properti milik UIN. Properti yang dimaksud adalah Syahida Inn, sebuah gedung pertemuan sekaligus penginapan yang disewakan kepada masyarakat umum.

Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada mengakui bahwa penyewaan properti UIN pada pertengahan 2013 lalu, awalnya terkait kegiatan seminar yang diadakan sekelompok pemuda, namun kemudian tanpa diketahui, berubah menjadi ajang pembaiatan simpatisan ISIS.

UIN tentu saja kampus agama yang cenderung memiliki pendekatan yang serba moderat, tidak saja ditunjukkan oleh kenyataan jurusan keagamaan Islam yang multi disiplin keilmuan,  dari mulai syariah (hukum Islam), dakwah (komunikasi), adab (sejarah dan budaya), hingga ushuluddin (filsafat dan kajian tafsir al-Quran dan hadis), namun juga "warna-warni" para civitas akademika-nya dengan beragam latar belakang keilmuan yang dimilikinya.

Bahkan, Dede Rosyada yang saat ini menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta, berkeinginan para lulusan pesantren dapat memberi warna yang cukup kuat terhadap lingkungan civitas akademika UIN, karena santri dipastikan kental dengan wawasan dan nilai-nilai moderatisme Islam.

Saya tentu saja merasakan, bagaimana lingkungan UIN---dulu ketika masih IAIN---tetap menjaga dan mempertahankan citra moderatnya, walaupun stigma kampus "liberal" pernah dialami UIN di masa-masa 1990-an. Selama 5 tahun di IAIN (1995-2000), hampir dipastikan tak pernah ada pengaruh radikalisme dari luar yang mampu menggeser cara pandang secara umum seluruh civitas akademika-nya dari rel moderatisme Islam.

Pernah tersiar soal isu-isu radikal yang dibawa oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya NII, namun hampir tenggelam dan menjadi ideologi basi ditengah antusiasme para mahasiswanya yang justru  terkesan "liberal". Beberapa kelompok aktivis kampus yang bergerak di bidang dakwah, sekalipun tampak "radikal" dari luar, namun sebenarnya cenderung "liberal" dalam mengapresiasi wacana pemikirannya.

Belum lagi jenis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lainnya yang beragam, semakin menambah warna-warni di UIN yang tak cocok disusupi paham radikalisme.

Saya tentu saja merupakan bagian dari UIN Jakarta, sebagai almamater yang pernah  dibesarkan dan diajarkan bagaimana cara berpikir untuk tidak condong "radikalis" ataupun "liberalis". Padahal, kegandrungan saya sejak masa kuliah terhadap ilmu-ilmu filsafat, tafsir dan hadis pada Fakultas Ushuluddin, bisa saja mendorong saya memilih menjadi "radikal".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline