Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Ziarah Kubur di Antara Tradisi Agama dan Citra Politik

Diperbarui: 20 Januari 2018   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah menjadi hal lumrah, mungkin sejak berdirinya NKRI ini, setiap siapapun yang akan terjun dalam ajang kontestasi politik dimanapun di Tanah Air, tradisi ziarah kubur menyambangi para mendiang ulama kharismatis, pahlawan nasional, atau tokoh-tokoh masyarakat menjadi pemandangan umum. 

Seakan sulit dibedakan, mana tradisi keagamaan dan mana bentuk pencitraan politik, karena keduanya lebur dan masing-masing "muatan" ada dalam fenomena keduanya. 

Jika saya mengatakan, ziarah menjelang kontestasi hanyalah pencitraan, tentu saja akan mendapatkan penolakan dari pihak-pihak yang berkayakinan, ziarah kubur adalah menjalankan tradisi agama, bukan bentuk pencitraan politik semata. Walaupun di sisi lain, jika memang ziarah kubur menjadi tradisi keagamaan, kenapa seringkali hanya dilakukan saat menjelang kontestasi?

Sejatinya, manusia adalah makhluk peziarah, karena hampir di setiap inci kehidupannya selalu bergerak dari satu titik ke titik yang lain. Kata "ziarah" yang berasal dari akar kata bahasa Arab, "zaara" yang memiliki konotasi "seseorang yang berpindah/berkunjung karena suatu tujuan, ingin bertemu dengan seseorang atau maksud tertentu". 

Hampir dipastikan, manusia bukanlah makhluk yang berdiam diri, namun selalu bergerak, "berziarah", bertemu dengan banyak orang, bersosialisasi, bahkan dalam durasi waktu yang tak terbatas. Dalam konteks tradisi atau budaya---seperti dalam agama Islam---ziarah tidak selalu ditujukan bagi seseorang yang masih hidup, namun kepada mereka yang pernah memiliki jasa-jasa kemanusiaan, walaupun sudah meninggal.

Entah kenapa, tradisi ziarah kubur yang seringkali dilakukan para kontestan politik jelang digelarnya pemilihan umum, sepertinya sekadar ingin mendapatkan "pengakuan" dari masyarakat, bahwa mereka adalah bagian dari pemelihara dan penjaga tradisi ziarah tersebut. Seringkali para kontestan takut mendapatkan sangsi sosial dari perlakuan hukum moral yang ada dalam sebuah masyarakat. 

Kita tentu seringkali menyaksikan, dari seseorang yang menjadi kontestan politik lokal, seperti bupati, walikota, atau gubernur, terlebih dalam sebuah ajang kontestasi politik nasional, seperti presiden, tradisi ziarah kubur seperti hendak memperkuat "citra politik" sehingga mereka mampu terhindar dari beragam sangsi sosial yang berdampak pada sisi elektabilitas mereka.

Ziarah kubur, tentu saja merupakan salah satu dari ajaran Islam dalam rangka menjalin silaturrahim antara "yang hidup" dan "yang mati". Berkunjung kepada yang hidup, tentu saja jelas tujuannya, bertemu langsung dan mengetahui secara pasti tempatnya. 

Adapun berkunjung kepada "yang mati" selalu diidentikkan dengan mendatangi pusaranya, walaupun sesungguhnya jiwa yang sudah terpisah dari raga, tentu saja bisa berada dimana saja, bahkan dapat "dikunjungi" atau "dihadirkan" setiap saat kita menginginkannya. 

Seorang muslim yang berharap ingin bertemu dengan Rasulullah, maka tidak harus datang ke pusaranya di Masjid Nabawi, Madinah, tetapi cukup melakukan "tirakat", seperti berdoa secara khusus dan menjalankan sholat sunnah, maka jika Allah mengizinkan, Rasulullah dapat hadir dalam setiap mimpi kita.

Menariknya, soal ziarah kibur saja, masih saja ada segelintir kelompok muslim yang mempermasalahkannya, karena ziarah kubur dengan memohon sesuatu kepada yang sudah "mati" jelas dianggap sebagai perbuatan syirik yang dosanya sulit terampuni. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline