Kasus yang menimpa Muhammad Alfian Tanjung seorang dai (pendakwah) yang akibat dakwahnya berakhir dengan vonis dua tahun penjara adalah contoh buruk berdakwah dengan mengumbar kebencian, fitnah bahkan mengejek pihak lain. Seorang pendakwah, tentu saja sudah seharusnya memahami, bahwa dakwah adalah "mengajak" kepada jalan Tuhan dimana umat terus disadarkan agar dapat menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan makna dakwah sendiri yang terambil dari akar kata bahasa Arab "da'a" yang berarti "mengajak", yang serumpun dengan kata "du'a" (doa) yang berkonotasi memohon kepada Tuhan melalui tutur bahasa yang paling baik dan paling indah, merendahkan hati (tadlorru'), dan tentu saja sepenuh hati (ibtihaal).
Konotasi makna "da'wah" dan "du'a" tentu saja sama, bahwa keduanya harus disampaikan dengan cara-cara yang paling baik dan bijak. Tidak mungkin rasanya ada seseorang berdoa tetapi dengan nada-nada ancaman atau menunjukkan rasa kebencian kepada Tuhannya, pun sama dengan ungkapan dan ajakan yang dilakukan dengan jalan dakwah, harus juga mengandung ajakan melalui perkataan-perkataan lemah lembut dan paling baik.
Jika saja ada sekelompok orang yang merasa terzalimi oleh dakwah pihak lain, karena tersinggung, dilecehkan, difitnah atau dihinakan, justru perlu berhati-hati, karena bisa jadi ketika mereka mendoakan, tak ada penghalang apapun dari Tuhan, sehingga doa mereka yang terzalimi segera dikabulkan. "Berhati-hatilah dengan doa orang-orang yang dizalimi, karena antara dirinya dengan Tuhan, tak ada batas (hijab) sama sekali", demikian ungkap sebuah hadis Nabi Muhammad SAW.
Ditengah menggejalanya dakwah via media sosial, sulit kiranya kita menemukan, bahwa tata cara berdakwah yang dilakukan oleh sebagian banyak orang, benar-benar bernuansa kesejukan, didahului dengan kata-kata indah yang paling baik, dan benar-benar menyeru kepada jalan Tuhan melalui pesan-pesan moral yang bijak.
Yang ada dan seringkali kita saksikan, justru dakwah-dakwah yang bersifat mengecam, mengejek, menebar kebencian, yang sama sekali jauh dari prinsip dakwah yang sesungguhnya. Entah, apa sebab kemudian konotasi dakwah justru berubah, dari mengajak kepada kebaikan, malah menebar kebencian dan menyuruh kepada keburukan. Apakah mereka tidak memahami makna esensial dari dakwah itu sendiri? Wallahu a'lam.
Saya jadi teringat, sebuah ayat suci Al-Quran yang menggambarkan, betapa pribadi Nabi Muhammad diliputi rasa kasih sayang, berhati lembut, dan rendah hati, sehingga dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, agama Islam yang dibawa olehnya, benar-benar merasuki hati sebagian besar bangsa Arab yang dikenal "keras" dan "membatu". Al-Quran merekam pribadi Nabi Muhammad secara tegas, dalam surat Ali Imran, ayat 159: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu".
Konsep berdakwah yang disampaikan Nabi Muhammad, tentu saja senantiasa dijalankan dengan cara-cara paling baik, bahkan jikapun ada sebagian orang yang menghinanya, atau mengacuhkannya, Nabi-lah yang paling dahulu memohonkan maaf bagi mereka. Tidak hanya itu, jika kemudian diantara mereka masih saja ada yang berbuat kejahatan dan dosa, Nabi tidak menghakiminya secara langsung, tetapi dialah yang memohonkan ampunan kepada Tuhan atas seluruh dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Kalimat "fa'fu 'anhum" (karena itu maafkanlah mereka) dan "was taghfirlahum" (mohonkanlah ampunan bagi mereka) yang tertulis jelas dalam ayat diatas, semestinya bisa menjadi pedoman siapapun yang memang memiliki kemampuan baik dalam berdakwah.
Nabi Muhammad, tentu saja bukan seorang "diktator" yang selalu memutus setiap perkara dengan dorongan hawa nafsunya sendiri. Tak segan-segan, Nabi Muhammad selalu meminta pendapat sahabatnya-sahabatnya dalam hal memutuskan sebuah masalah. Hal ini sejalan dengan konsep dakwah yang senantiasa diaplikasikannya, sebagaimana terukir abadi dalam ayat diatas, bahwa setelah Nabi memaafkan, memohonkan ampunan kepada Tuhan, Nabi-pun bermusyawarah dalam berbagai hal (wa syaawirhum fil amri). Saya kira, jelas prinsip berdakwah Nabi yang sungguh sangat mulia direkam secara apik dalam kitab suci Al-Quran.
Lalu, lagi-lagi, kita tentu saja bertanya-tanya, "kok bisa masih saja ada dakwah yang mengumbar kebencian, mengejek, dan menghina orang?" Pertanyaan ini mungkin hanya "rumput yang bergoyang" yang bisa menjawabnya, karena prinsip dakwah Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Al-Quran, jauh dari konotasi kebencian atau keburukan.
Namun yang jelas, dakwah tentu saja "mengajak" kepada kebaikan, melalui prilaku yang sudah semestinya ditunjukkan oleh para penyampai dakwahnya. Jika dakwah malah "mengejek" justru ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan dakwah yang senantiasa diusung Nabi Muhammad. Bahkan tidak hanya itu, ketika dakwah diperlakukan sama dengan doa, maka sudah semestinya akan disampaikan melalui perkataan yang indah, puitis, dan penuh makna nilai-nilai moral kebajikan.
Kita tentu saja berharap, bahwa kasus yang menimpa Alfian Tanjung sudah seharusnya tidak lagi terulang, dengan sadar diri menempatkan dakwah menjadi doa. Karena jelas, manusia tidak pernah jemu dalam memohon kebaikan melalui doa (laa yas'amu al-insaanu min du'ai al-khairi, QS. Fushilat: 49). Doa jelas merupakan rangkaian kata-kata yang paling indah dan tidak ada kalimat yang paling indah dimanapun, kecuali doa. Dakwah, dengan demikian, harus sama mengikuti prinsip soal bagaimana tatakrama kita berdoa kepada Tuhan, bukan malah bertentangan sama sekali. Dakwah dan doa merupakan dua entitas yang sama, mengajak kepada diri sendiri dan orang lain, agar selalu mengikuti "jalan lurus" sesuai yang diinginkan-Nya.