Heboh soal tak diperpanjangnya izin usaha Hotel Alexis oleh Gubernur Jakarta, Anies Baswedan ternyata berbuntut panjang. Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta, Erick Halauwet menyebut Anies bersikap arogan karena menutup Alexis tanpa pemberitahuan terlebih dahulu (Koran Tempo, 02/11/2017). Bahkan, kalangan pengusaha tempat hiburan di Jakarta berencana menggugat Pemprov DKI Jakarta ke pengadilan.
Saya kira, sudah menjadi fakta sosial, bahwa soal tempat hiburan yang sekaligus menjadi bagian dari dunia "esek-esek" di kota-kota besar, memang tak terbantahkan. Terlebih Jakarta, sebagai pusat kota metropolis yang tentu saja banyak menyediakan berbagai hal terkait hiburan yang tentu saja demi memanjakan para pelancongnya. Hotel Alexis adalah satu dari sekian ratus tempat hiburan di Jakarta yang pada akhirnya "dikorbankan" ditengah desakan publik terhadap janji politik Gubernur Anies.
Jakarta, termasuk di kota-kota besar lainnya disebut banyak orang sebagai "surga dunia". Bagaimana tidak, selain kota ini menjadi magnet bagi para pengejar rupiah hampir di seluruh sektor pekerjaan, Jakarta juga menyediakan berbagai tempat hiburan malam bagi mereka yang tentu saja gemar mencari kenikmatan dunia. Pemerhati tempat hiburan malam di Jakarta, Anhar Nasution bahkan menyebut banyak pelayanan yang disediakan seperti halnya Alexis dan tersebar di berbagai wilayah di DKI Jakarta, terutama Jakarta Barat dan Jakarta Utara (Koran Tempo, 02/11/2017). Anhar menyebut beberapa tempat yang lekat dengan kawasan hiburan malam, seperti Mangga Besar, Lokasari, Gajah Mada, Kelapa Gading, dan Ancol. Lalu, apakah imbas dari penutupan Alexis juga akan merambah ke tempat-tempat hiburan lainnya? Jika tidak, kenapa Cuma Alexis?
Saya beranggapan, menutup tempat hiburan bukanlah langkah yang solutif dalam hal menegakkan tata kelola masyarakat tanpa kemaksiatan. Karena jika memang dalihnya adalah "kemaksiatan" langkah ini jika tak diiringi oleh kajian menyeluruh terhadap dampak sosial setelah penutupan, akan menjadi hal yang sia-sia. Lagi pula, istilah "kemaksiatan" merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah "hal-hal yang bersifat maksiat (yang penuh dosa dan sebagainya)", sehingga kemaksiatan lebih cenderung berkonotasi "sifat" bukan soal "tempat" itu sendiri. Jika dalih yang dipergunakan adalah penghapusan kemaksiatan, ini bukan hanya salah kaprah, tetapi justru semakin memperbesar konflik di tengah masyarakat, karena mereka yang mendulang rupiah dari dunia hiburan, jelas merasa dikebiri seluruh hak-haknya.
Dalil soal kemaksiatan yang diasosiasikan hanya kepada tempat-tempat hiburan justru terkesan simplistis, karena "maksiat" adalah istilah yang tidak monolitik, tetapi mengandung tendensi keluasan makna. Istilah "maksiat" sendiri terambil dari akar kata bahasa Arab, "ma'shiyyah" yang dalam situs almaany.com diartikan sebagai "mukholafah" (penyimpangan) dan "adamut tho'ah" (menyalahi aturan).
Dalam keterangan lebih lengkapnya, maksiat berarti "gaya hidup buruk, yang cenderung tanpa memilih dan umumnya bertentangan dengan perintah Tuhan". Ini artinya, kemaksiatan merupakan sikap atau gaya hidup pribadi seseorang yang cenderung buruk karena tidak mampu memilih antara kebaikan dan keburukan. Sikap dan gaya hidup buruk seperti inilah yang semestinya mampu disadarkan oleh berbagai hal, baik itu informasi yang benar, diberikan sangsi sosial atau dihukumi oleh aturan dan perundang-undangan.
Bagi saya, menutup tempat hiburan yang diduga menyalahi aturan seperti yang dilakukan Anies kepada Alexis, sesungguhnya tak bisa dikategorikan sebagai pemberantasan kemaksiatan, karena maksiat jelas "sifat" bukan soal "tempat" yang sejauh ini digaungkan oleh Anies ketika dirinya kampanye politik pada saat Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Meskipun pemehaman soal kemaksiatan ini selalu saja pro-kontra, karena memang masing-masing mempunyai pandangan berbeda-beda, namun bagi saya, kemaksiatan tak akan pernah hilang, karena itu merupakan sifat dasariah yang ada dalam individu setiap orang.
Lalu, apakah dengan menutup Alexis dan tempat-tempat hiburan malam lainnya di Jakarta akan mengurangi kemaksiatan? Saya kira tidak, jika merujuk pada pemaknaan "maksiat" yang berarti "penyimpangan" atau "menyalahi aturan" sebagaimana disebutkan diatas. Dalam hal ini jelas, maksiat berdimensi luas, bukan sekadar distigmatisasi pada hal prostitusi atau apapun yang berkait dengan istilah "penyakit masyarakat". Kemaksiatan bisa berkurang, jika setiap orang sadar aturan dan memahami benar bahwa "penyimpangan" akan merugikan dirinya sendiri dan juga orang lain.
Bagi saya, kemacetan Jakarta akibat banyak orang melanggar aturan, termasuk semrawutnya tata kota seperti pedagang yang sulit diatur, seperti kasus Tanah Abang, jelas adalah bentuk "kemaksiatan" yang juga harus dibenahi. Lalu, apakah Pasar Tanah Abang-nya yang mesti ditutup? Atau Jalan-jalan yang macet disterilisasi dari kendaraan yang melintas?
Saya justru khawatir, jika soal penutupan Alexis hanya sekadar pemenuhan janji politik Anies yang mesti dilunasi setelah dirinya menjadi gubernur Jakarta, bukan pada kesadaran yang dalam soal bagaimana menata Jakarta lebih baik, dengan tentu saja memberantas sifat-sifat kemaksiatan, baik itu kemacetan, semrawutnya tata kota, termasuk tempat-tempat hiburan atau apapun yang menyalahi aturan perizinannya. Namun sekali lagi, kemaksiatan itu tak akan pernah bisa lenyap sama sekali, karena maksiat jelas "sifat" yang melekat pada setiap individu seseorang. Bahkan, jangan-jangan tanpa disadari kita juga termasuk orang-orang yang bermaksiat, karena seringkali melanggar aturan-aturan, baik aturan perundang-undangan terlebih aturan Tuhan?
Menyadarkan sifat buruk karena kemaksiatan bukan berarti memberangus "tempat" maksiatnya, karena itu tak akan pernah berdampak, yang ada malah menambah masalah sosial baru yang berdampak kerusakan lebih besar. Saya teringat akan sebuah adagium Arab, "Dar'ul mafaasid muqoddamun 'ala jalbil masholih" (Mencegah dampak kerusakan sosial yang lebih besar harus didahulukan daripada menegakkan kemaslahatan).