Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Jonru, Sesat Pikir "Aswaja" dan Tuduhan Kepada Quraish Shihab

Diperbarui: 7 Oktober 2017   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belnatal Jon Riah Ukur Ginting atau Jonru menjadi sosok yang ramai diperbincangkan publik. Bukan karena dirinya pernah memenangkan nominasi Internet Sehat Blog Award pada 2010 lalu, atau karena beberapa bukunya soal motivasi yang beredar luas di pasaran, tetapi karena dilaporkan soal unggahan-unggahannya di media sosial yang kerap kali mengundang "kebencian" publik. 

Siapa yang tak kenal Jonru dengan berbagai kritik pedasnya yang tak hanya nyinyir kepada penguasa, tetapi juga kepada pemuka agama yang tak sesuai "seleranya". Salah satu unggahan kebencian yang dialamatkan Jonru kepada Quraish Shihab, menyoal ulama tafsir ini yang dianggapnya menyimpang dari akidah Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sehingga umat muslim tak perlu "berimam" kepadanya, menjadikan satu diantara alasan kepolisian menahan Jonru.

Anda boleh mendukung Jonru dengan alasan bahwa ia sebagai "pejuang agama", kritis, reaktif dan terkesan sebagai "pendekar agama" di media sosial (medsos). Hampir dipastikan seluruh postingannya di medsos adalah soal agama Islam yang dihubungkan dengan beragam realitas sosial-politik di Tanah Air. Anda-pun boleh membenci atau tidak suka dengan beragam postingan Jonru yang selalu saja membuat gaduh dan mendiskreditkan pihak lain. Suka dan benci tentu saja hal lumrah dalam dinamika kehidupan sosial, hanya saja perlu diingat, bahwa rasa suka dan benci pada akhirnya akan mendorong seseorang kehilangan objektifitasnya dalam menilai apapun, sehingga hal ini bisa saja berdampak pada aspek hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Sebelumnya, saya memang menganggap Jonru biasa saja dalam beberapa postingannya di medsos, karena memang mindset Jonru dibangun atas dasar ketidaksukaan dan kebencian, sehingga postingannya tampak sangat "subjektif" terhadap realitas yang dibenci oleh dirinya. Hanya saja, saya sedikit terkejut, ketika ulama sekaliber Quraish Shihab yang luwes, tak diragukan kapasitasnya sebagai ahli agama Islam, karena selain belajar formal tentang ilmu-ilmu keislaman, Quraish juga menempuh jalur non-formal dididik di berbagai pesantren di Pulau Jawa, justru dituduh sebagai ulama yang menyimpang dari akidah Aswaja oleh Jonru. Tuduhan yang tak berdasar saya kira, karena pendidikan pesantren NU yang digelutinya, justru menguatkan kapasitas dirinya untuk lebih dalam mengenal, bagaimana aspek akidah Aswaja itu diaplikasikan.

Aswaja, yang diklaim sebagai bentuk penerimaan model teologis yang paling "tengah-tengah" diantara sekian banyak mainstream akidah lainnya yang tampak ekstrem, seperti Khawarij atau Syiah, justru dipandang terlampau simplistik oleh Jonru. Saya tidak tahu, apakah Jonru juga pernah mempelajari ilmu kalam (ilmu-ilmu menyoal kajian teologi Islam), baik secara formal di sekolah ataupun non-formal di pesantren, karena yang saya ketahui dari latar belakang pendidikannya yang sarjana akuntansi Universitas Diponegoro, rasa-rasanya tak mungkin mempelajari atau memahami kajian teologi Aswaja. 

Kajian teologi Aswaja, secara khusus diajarkan di pesantren-pesantren NU dan masuk dalam mata kuliah wajib di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat di berbagai universitas Islam. Lalu, jika Jonru tidak pernah belajar teologi Aswaja, kenapa menuduh Quraish sebagai anti-Aswaja dan menyimpang dari teologi "tengah" tersebut? Lagi-lagi, kekosongan pengetahuan akan lebih mudah mendorong seseorang untuk benci kepada pihak yang tak sepaham dengannya.

Mungkin ada kaitannya, ketika Kementrian Agama merilis sebuah penelitian yang menyebutkan, bahwa radikalisasi di perguruan tinggi lebih banyak terjadi di kalangan mahasiswa dengan latar belakang jurusan eksakta dan ilmu alam, dibanding ilmu sosial atau keagamaan. Ya, bisa jadi melihat pada latar belakang pendidikan Jonru yang memang "eksak", sehingga wajar kemudian dirinya menjadi sangat "radikal" yang lekat dengan aktivitasnya di medsos yang terlampau reaktif, tidak pernah menerima apapun yang tak sejalan dengan ideologi dirinya atau memposisikan dirinya berhadapan dengan kekuasaan yang dianggapnya sebagai "kekuatan jahat" sehingga apa saja yang berbau kekuasaan selalu distigmatisasi buruk.

Bagi saya, sesat pikir yang terjadi pada seseorang memang lebih banyak didukung oleh ketidaktahuan dirinya terhadap sesuatu yang sedang dibicarakan. Menuduh "anti-Islam" karena seseorang jelas belum tahu mendalam soal Islam, pun tuduhan kepada pihak lain yang dianggap menganut "akidah yang menyimpang" berarti dirinya tak paham secara menyeluruh soal apa itu teologi Islam. Mungkin bagi orang awam ketika membaca tulisan Jonru yang diunggah ke medsos soal himbauan umat muslim agar tidak berimam kepada Quraish Shihab adalah hal yang masuk akal, tetapi bagi yang paham soal Islam lebih dalam, pasti hanya akan menganggap Jonru "gagal paham"  soal kepakaran dan keulamaan yang melekat dari seorang ulama NU, Quraish Shihab.

Ungkapan "kebencian" Jonru yang diunggah di medsos, tampak sangat subjektif, "Sholat Idul Fitri tahun ini mari melupakan Istiqlal. Masih banyak masjid lain. Carilah masjid yang Sholat Id-nya, beraqidah lurus, ahlusunnah wal jamaah...". Sholat Id waktu itu di Masjid Istiqlal memang "diimami"  oleh Quraish Shihab, yang dianggap oleh Jonru sebagai ulama yang tidak berakidah lurus. 

Sebenarnya, kalimat yang diunggah ini tidak saja menunjukkan "kebencian" pada seorang ulama, tetapi juga mendiskreditkan Masjid Istiqlal, sebagai masjid kebanggan umat muslim Indonesia. Belum lagi menyoal Aswaja yang disebut sebagai "aqidah lurus", padahal Aswaja hanyalah sebuah metodologi ilmu kalam (ilmu yang membicarakan soal-soal Ketuhanan) yang memiliki prinsip moderat dalam memandang aspek teologis lainnya yang juga diyakini oleh umat muslim.

Sejauh ini, Quraish Shihab adalah sosok ulama moderat yang dewasa melalui perpaduan lingkungan tradisionalis pesantren dan corak modernis Islam yang diperolehnya selama berada di Kairo, Mesir. Tak perlu dipertanyakan soal kepiawannya dalam hal ilmu-ilmu keislaman, karena beliau mendapat predikat summa cum laude dalam bidang tafsir Al-Quran di Kairo. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline