Jakarta memang sudah lama dirundung derita kemacetan yang setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Bahkan, laporan Kompas menyebutkan, sejak 1969, kemacetan telah melanda jalan-jalan Ibu Kota, dan tak pernah sama sekali ditemukan solusinya. Tahun demi tahun, Ibu Kota bak kampung besar yang semrawut di sana-sini, jauh dari gambaran sebuah kota metropolitan yang tertata dan modern. Jakarta sedang sakit, atau bahkan sekarat, hingga kemudian dibangun beberapa "kota alternatif" yang bisa mengurai berbagai kesemrawutan Jakarta, termasuk proyek reklamasi dan Meikarta yang bisa menyedot jutaan orang untuk "bedol desa" dari Ibu Kota.
Setiap pergantian kepemimpinan di Jakarta, selalu saja muncul keinginan mencari "jalan keluar" bagi Jakarta yang lebih baik, merdeka dari kemacetan dan kesemrawutan lalu-lintasnya. Dulu warga Jakarta menaruh harapan besar pada pemimpin-pemimpin baru yang lebih muda, karena diharapkan mampu melampaui generasi tua yang cenderung status quo dan kurang semangat. Sebut saja, Jokowi-Ahok, yang begitu dielu-elukan sebagai pemimpin transformatif bagi Jakarta yang sedang sakit.
Duet pemimpin muda Jakarta ini tak bertahan lama, hanya kurang dari dua tahun, ekspektasi politik Jokowi untuk meniti kursi kepresidenan mengalahkan harapan warga Jakarta yang dulu "bertawakal" kepadanya. Jakarta hanya dipimpin oleh wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama yang kontroversial, memberikan Jakarta sebuah gambaran kota yang tak pernah sepi dari konflik.
Lalu, beberapa aturan dibuat, khusus untuk menyiasati agar kemacetan tak semakin parah melanda Batavia modern ini. Dari mulai pelarangan becak, bajaj, pedagang kaki lima hingga aturan-aturan yang dibuat sekadar temporer, seperti 3 in 1, ganjil-genap bagi mobil melintasi jalan-jalan protokol sampai pelarangan sepeda motor yang belakangan diperluas, tidak hanya larangan di jalan protokol, tetapi di jalan-jalan yang memang dipadati gedung-gedung perkantoran. Setelah pemotor dilarang melewati jalan protokol seperti Sudirman dan Thamrin, kini ditambah, jalur Rasuna Said yang tak pernah sepi dari macet, lagi-lagi pemotor yang harus rela berkorban menyingkir dari jalanan dan dipersilahkan mencari alternatif lain.
Memang terasa hebat, proyeksi Jakarta yang menginginkan seluruh masyarakatnya beralih menggunakan bus, yang disebut sebagai transportasi andalan yang anti macet. Namun, benarkah demikian? Sepanjang yang saya tahu, keberadaan armada bus yang dikelola pemerintah Ibu Kota yang terus ditambah, tak juga pernah mengurai kemacetan jalanan Ibu Kota.
Hampir dipastikan, setiap pagi hingga malam hari tak pernah ada istilah Jakarta sepi, kecuali Idul Fitri. Parahnya lagi, prospek penjualan kendaraan bermotor justru selalu mengalami peningkatan, jangankan sepeda motor yang bak kacang goreng lakunya, mobil-pun tak jauh berbeda. Anehnya, OJK sebagai pengatur lalu-lintas kredit kendaraan, sepertinya tak berdaya, walaupun Down Payment (DP) kendaraan yang dipatok 20 persen dari harga jual, kenyataannya banyak yang "diakali" masyarakat.
Kenyataannya, pemotor tetap menjadi pihak "pesakitan" yang selalu dipinggirkan oleh aturan-aturan soal kemacetan ruas-ruas jalanan Ibu Kota. Bukan dengan solusi mengatasi pembatasan penjualan kendaraan, yang ada justru membiarkan kendaraan laku terjual, tetapi membatasi pengguna jalannya, aneh bukan? Bukannya lebih baik dibatasi penjualan kendaraannya daripada melarang pemotor yang mencari penghidupan di Ibu Kota? Pemotor rata-rata kelas menengah kebawah yang justru "ngirit ongkos" dibanding harus bersusah payah naik angkutan umum. Belum lagi jika bertempat tinggal jauh dari stasiun pemberhentian bis, mau tak mau mesti "ngangkot" untuk mencapainya.
Pantas saja di tengah Metropolitan yang sedang sakit kemudian muncul alternatif "kota baru" yang digagas para pengembang dengan modal jor-joran tanpa batas. Mereka melirik keuntungan yang begitu besar dalam jangka panjang. Perusahaan raksasa Lippo misalnya, membangun Meikarta yang digagas sebuah kota baru dengan luas lahan 500 hektar, lengkap dengan hunian, mall, hotel bintang lima dan fasilitas penunjang lainnya. Konon, hunian pertama akan disediakan bagi 250 ribu unit yang akan menampung sekitar 1 juta orang. Memang, dari satu sisi ini adalah sebuah kemajuan yang membanggakan sebagian orang, namun secara tidak langsung, menunjukkan betapa Metropolitan tak sanggup menata dirinya, di tengah berbagai problem sosial yang tak kunjung terselesaikan.
Lagi-lagi, mereka yang sekadar menyambung hidup di Jakarta harus mengalah, menyingkir, seakan tak layak lagi menempati Kota Metropolitan ini. Jakarta sudah lagi tak ramah dengan pedagang asongan atau kaki lima, karena selalu diburu aparat Ibu Kota. Pemotor tampaknya tak jauh berbeda, harus siap-siap mengandangkan kendaraannya dan rela merogoh koceknya lebih dalam untuk berjibaku berebut angkutan umum. Bukankah angkutan umum juga membuat macet Jakarta?
Mereka seperti mendominasi jalanan Ibu Kota hampir setiap harinya, bahkan seringkali sulit ditertibkan menurunkan dan mengangkut penumpang seenaknya. Impian Jakarta sebagai kota tertib dan modern sepertinya harus kandas ditengah sakitnya Metropolitan yang kian akut dan kronis oleh berbagai problem sosial yang kian bertumpuk.
Saya kira, problem sosial tak harus diselesaikan dengan cara "berpihak" hanya kepada mereka yang sanggup memiliki mobil lebih dari tiga unit di garasinya. Atau membiarkan Metropolitan semakin sakit dengan mengizinkan pembangunan reklamasi dan hunian-hunian ekslusif bagi kaum berduit. Bukankah membangun distrik-distrik baru dalam perkotaan akan membuat problem "urban sprawl" dengan meluasnya kota secara tak terencana dan tak terkendali?