Perhelatan milad Front Pembela Islam (FPI) ke -19 yang digelar di Jakarta seakan menepis sterotip banyak orang, soal tuduhan ormas "radikal" terhadap FPI yang kerapkali menimbulkan kegaduhan dan intoleran. Jika memang dituduh sebagi ormas "radikal", maka sudah pasti mereka yang diundangpun rasanya enggan datang, karena bagaimanapun, radikalisme merupakan paham berbahaya yang bisa saja mengancam keutuhan NKRI. Dari mulai tokoh politik, agamawan, rohaniwan hingga pengusaha justru nampak hadir dalam kehangatan di sela-sela kegiatan milad. Sebut saja, Anies Baswedan, Tommy Soeharto hingga Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Jakarta, Pendeta S Supit hadir pada kegiatan ini.
Bagi saya, kehadiran seorang tokoh Kristiani di acara milad ini menjadi hal yang paling menarik, disaat ormas pimpinan Habib Rizieq Sihab ini sedang ramai-ramainya dicap sebagai ormas radikal, intoleran dan bahkan banyak tuntutan untuk membubarkan. Dalam salah satu wawancaranya dengan salah satu media, Pendeta S Supit justru mengaku mengenal Rizieq Sihab dengan baik, bahkan sejak 2004 di acara Paskah di Monas. Bahkan setelah itu, Ketua PGI Jakarta tersebut mengaku sudah biasa bertemu Rizieq Sihab untuk sekadar bertukar pikiran soal masalah-masalah umat dan lebih mengdepankan nilai-nilai kemanusiaan. Jika memang bahwa FPI benar dituduh sebagai ormas radikal yang membahayakan, sudah tentu akan lebih ketat pengamanannya atau bahkan setiap tamu undangan akan merasa takut menghadiri acara tersebut.
FPI sepertinya menjadi "korban" framing media yang kerapkali menyudutkan ormas ini sebagai anti-demokrasi, intoleran dan bahkan kelompok fanatisme Islam yang berlebihan sehingga mengganggu umat-umat beragama lainnya. Bahkan, FPI kerapkali diperhadapkan dengan ormas-ormas Islam lain yang cenderung moderat sehingga seakan-akan, FPI selalu saja bertentangan secara diemetral dengan banyak ormas Islam. Padahal, FPI sebenarnya lahir dari tradisi dan kultur NU, salah satu ormas Islam terbesar Indonesia yang mengusung prinsip-prinsip moderatisme Islam. Salah satu analogi yang sering diungkapkan pimpinan FPI, bahwa, "Biarlah ormas Islam lainnya menyemai dakwah, menanam benih-benih moderatisme keagamaan, merawat dan menjaganya, kami FPI hanya bertugas untuk membasmi 'hama tikus' yang akan mengganggu pertumbuhan dakwah tersebut".
Analogi "hama tikus" yang dimaksudkan FPI barangkali terkait dengan harakah (pergerakan) yang lebih mengutamakan "nahi munkar" (mencegah keburukan) daripada "amar ma'ruf" (mengajak kepada kebajikan). Sejauh ini, hampir mayoritas ormas Islam memang lebih cenderung menebarkan kebajikan melalui prinsip amar ma'ruf tanpa lebih serius memperhatikan soal pencegahan atas hal-hal yang buruk, baik kemaksiatan atau kemunkaran. "Hama tikus" yang mewujud sebagai bentuk kemunkaran dan kemaksiatan, hendak diperangi dan diberantas oleh FPI walaupun seringkali berimbas pada "kerusakan" lingkungan lainnya yang lebih besar. Inilah barangkali kemudian, efek yang ditimbulkan dari memerangi "hama tikus" menjadikan ormas ini tidak disukai masyarakat, lalu dihubung-hubungkan dengan sikap intoleransi dan radikalisasi.
Diakui maupun tidak, kultur keagamaan FPI dan NU memang tak bisa dipisahkan, lekat dan moderat. Moderatismenya terlihat dari penerimaan beragam tradisi keagamaan yang juga menjadi kultur warga NU, seperti dzikiran, tahlilan, manaqiban, atau sholawatan. Bahkan tak bisa dipungkiri, keduanya menganggap bahwa para habaib adalah keturunan Rasulullah yang memiliki kedudukan istimewa, sehingga harus dihormati dan diikuti teladannya. Tidak hanya itu, kedudukan para ulama atau kiai-pun nampaknya dipersepsikan sama: mereka istimewa dan harus dihormati. Pelecehan atau penghinaan yang dialamatkan kepada mereka sama dengan merendahkan tradisi dan agama Islam.
Sejauh ini, ormas Islam NU memang disebut sebagai sebagai ormas yang cenderung mengedepankan toleransi, terutama dalam hubungan baik dengan beragam agama dan kepercayaan. NU dipandang "luwes" soal hubungan antaragama, hampir tak pernah ada kecacatan dalam membangun sinergi keutuhan NKRI melalui kerjasama antaragama. Saya kira, FPI yang juga lahir dari kultur NU, nampaknya juga sama mempersepsikan umat agama lain sebagai bagian dari Indonesia, bagian agenda nasional FPI untuk membangun dan menjaga keutuhan NKRI. Hal ini dibuktikan oleh "kedekatan" pimpinan umat Kristiani dengan Habib Rizieq Sihab, bahkan sangat terkesan cair dan tak pernah menganggap Rizieq dan FPI sebagai ormas intoleran yang mengganggu keberadaan umat beragama lainnya.
Kita memang perlu secara jernih melihat beragam peristiwa sosial dari berbagai sudut pandang, melepaskan keegoan kita dan keberpihakan kita, sehingga kita tak diperbudak oleh sifat self-centered yang justru mempengaruhi cara pandang kita. Walaupun saya tak sependapat dengan prinsip "hama tikus" yang dianalogikan terhadap aspek "nahi munkar" sebagai bentuk pergerakan ormas FPI.
Analogi itu bagi saya ada kesalahan, sebab, "hama" adalah subyek dan "munkar" adalah sifat dari beragam keburukan manusia. Jika kalimat itu diganti menjadi "nahi munkir" itu bisa tepat bahwa yang diberantas adalah "subyek" nya bukan "sifat"nya. Memang seharusnya, FPI dapat mereformasi dan mereformulasikan secara baik makna dari prinsip "nahi munkar" secara lebih luas disesuaikan dengan sumber-sumber otentik ajaran Islam. Walaupun memang, dimanapun perjuangan selalu saja mendapatkan tantangan dan perlawanan. Selamat Milad FPI!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H