Begitu ramainya pujian terhadap Presiden Jokowi yang disebut sukses memboyong para mantan presiden RI, dari mulai Habibi, Megawati dan SBY. Kedua yang terakhir disebut ini malah lebih khusus oleh disorot oleh banyak media, karena keduanya ternyata bisa "meleleh", berjabat tangan setelah mungkin sekian lama kedua tokoh nasional ini sepertinya sama-sama "ngambek" karena soal persaingan politik. "Salaman" SBY-Mega ini kemudian disebut-sebut sebagai momen "rekonsiliasi" politik nasional yang terlampau dibesar-besarkan, padahal, jabat tangan adalah hal biasa dan sudah membudaya dalam masyarakat Indonesia.
Bagi saya, sudah menjadi bagian dari protokoler pemerintahan, bahwa setiap peringatan Hari Kemerdekaan RI, seluruh mantan presiden pasti akan diundang, persoalan kemudian hadir dan tidaknya itu adalah masalah pribadi yang bersangkutan. Pada acara HUT Kemerdekaan RI ke 72 kemarin, memang menjadi ajang reunian para mantan presiden, karena hampir semuanya datang memenuhi undangan Presiden Jokowi. Suasana politik di Istana saya kira, memang sedang baik dan Presiden memang berhasil menata "netralitas" politik Istana, sehingga bisa merangkul banyak pihak. Sebelumnya, para mantan presiden juga pernah diundang ke Istana untuk membicarakan persoalan bangsa, sehingga kesan "netralitas" politik memang sudah terbangun sejak saat itu. Bagi saya, undangan Presiden kepada segenap mantan presiden dan petinggi politik adalah upaya dirinya membangun citra netralitas di tengah "kubuisasi" politik yang sepertinya mengkristal.
Memang, bahwa momen HUT RI ke 72 seakan menjadi ajang rekonsiliasi antarkekuatan partai politik, karena ikon tiga kekuatan politik besar hadir: Golkar, PDI-P dan Demokrat. Para petingginya memang terlihat cair dan mampu menunjukkan kepada khalayak, bahwa mereka tidak sedang berada pada posisi "dua kubu" politik yang saling berlawanan. Walaupun disisi lain, ditengah hangatnya isu "salaman" SBY-Mega yang kian viral, hanya pada masa Presiden Jokowi, parpol berkonflik bahkan muncul dualisme kepemimpinan. Golkar sempat konflik dengan dualisme kepemimpinan antara kubu Agung dan Aburizal, bahkan kehidupan PPP juga bernasib sama, konflik yang tak pernah kunjung reda, antara kubu Romahurmuziy dan Djan Farid.
Golkar memang "reda" dari situasi konflik setelah kepemimpinan dikendalikan Setya Novanto, tapi bukan berarti para kader muda-nya berdiam diri tak bersikap kritis pada para petingginya. Yang lebih mengharukan, tentu saja PPP, yang sampai saat ini, kantor pusat partai masih menjadi rebutan dua belah pihak. Saat ini, kantor pusat PPP masih dikuasai kubu Djan Farid dan untuk sementara, kubu Romahurmuzy membuka kantor pusat PPP di tempat lain. Konflik PPP seakan menjadi semacam lelucon politik, disaat Kemenkumham justru menerbitkan dua kepengurusan yang sama-sama kuat dan akhirnya masing-masing kubu protes melalui jalur hukum dan sampai saat ini belum juga selesai soal proses hukumnya. Mana PPP yang sah? Saya kira, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Saya kira, soal kebijakan Full Day School (FDS) yang digulirkan pemerintahan Jokowi, juga pada sisi grassroot telah memporak-porandakan hubungan harmonis antara NU-Muhammadiyah yang sepanjang sejarah ini selalu tenang dan damai. Saya kira, ancaman-ancaman dari berbagai kader NU di pusat dan daerah agar FDS dicabut, bukanlah sebatas omong kosong. Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendi adalah kader Muhammadiyah yang justru menerapkan kebijakan yang mematikan sekolah-sekolah tradisional warga NU. Kebijakan 5 hari sekolah dengan durasi jam lebih panjang, sangat merugikan madrasah diniyyah yang telah menjadi bisnis utama pendidikan NU. Lagi-lagi, Presiden Jokowi dalam hal ini, justru membuat NU-Muhammadiyah justru semakin meruncing, akibat FDS yang digulirkan melalui kebijakan "kader Muhammadiyah" di pemerintahan.
Bagi saya, Presiden Jokowi memang sepertinya sengaja membangun image publik soal petinggi parpol dan para tokoh nasional yang berdamai dan menjalankan rekonsiliasi politik. Tetapi publik seringkali dilupakan, bahwa konflik internal parpol, memecah belah parpol dan ormas juga sebenarnya terjadi di era pemerintahan Jokowi yang mungkin tidak pernah kita temui di era-era pemerintahan sebelumnya. Lihat saja, kemesraan Presiden Jokowi dengan NU, justru membuat PAN yang memang diisi oleh simpatisan dan kader Muhammadiyah berpikir ulang untuk tetap atau keluar dari barisan parpol koalisi pemerintahan. Namun disisi lain, PKB mulai protes akibat kebijakan FDS digulirkan oleh kader Muhammadiyah dari dalam pemerintahan.
Bagi saya, salaman SBY-Mega bukanlah ukuran kesuksesan Presiden Jokowi yang terlampau dibesar-besarkan media, apalagi dikaitkan dengan rekonsiliasi politik nasional. Walaupun saya sangat mengapresiasi, dimana jabat tangan dalam hubungan sosial adalah petanda kebaikan dan juga kedamaian, walaupun belum tentu ketika itu dimaknai secara politik. Namun yang pasti, Presiden Jokowi belum berhasil menyelesaikan konflik parpol, terutama PPP yang terus diombang-ambing tanpa kejelasan. Yang justru mengkhawatirkan bagi saya adalah justru konflik yang bisa saja semakin meruncing akibat kebijakan FDS antara dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah. Jika kedua ormas ini dibiarkan berkonflik, maka dipastikan ini bisa jadi unsur pembiaran agar dapat mengambil beragam keuntungan politik jelang perhelatan pilpres 2019 mendatang. Presiden Jokowi nampaknya tetap memiliki dua PR besar, mendamaikan dualisme PPP dan konflik ormas Islam akibat kebijakan FDS yang jelas merugikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H