Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Mewaspadai Rezim Anti Kritik

Diperbarui: 9 Agustus 2017   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi saya, demokrasi di negeri ini belum begitu baik berjalan, jika diukur seberapa jauh warga negaranya memiliki kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya di muka umum. Barangkali tidak begitu berlebihan, jika saya bandingkan dengan India, dimana soal kebebasan berekspresi dan berpendapat warganya memiliki wajah ramah soal kebebasan. 

Bagi yang terbiasa menonton film India, seringkali kita saksikan kritik-kritik yang dialamatkan kepada penguasa, termasuk aparatur negara. Kepolisian India, misalnya, seringkali digambarkan sebagai sosok lembaga korup atau lebih berpihak kepada siapa yang berkuasa. Belum lagi soal kritik lainnya, seperti kritik terhadap kepercayaan dan agama yang tentu bisa kita saksikan di film PK yang tak tanggung-tanggung, kepercayaan terhadap agama betul-betul dikritik secara ramah dan jenaka.

Reformasi memang membawa kepada suasana yang lebih demokratis, sebagaimana yang kita rasakan sejak setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Hampir dipastikan, suasana demokratis semakin menguat dengan ditandai oleh berbagai perubahan, baik dari sisi hukum, politik maupun birokrasi. Mungkin untuk dapat melihat secara utuh rangkaian dari penguatan sistem demokrasi di Indonesia, dapat diawali ketika rezim SBY berkuasa. 

Banyak terjadi banyak perubahan yang sedikit demi sedikita mengangkat citra demokrasi Indonesia di dunia internasional. Terutama dalam hal kebebasan berpendapat, berekspresi dan berorganisasi yang sedemikian dirasakan, dan alam demokrasi mewujud dalam negeri ini dengan menempatkan kritik sebagai hal yang biasa dan harus diterima serta menjadi masukan positif bagi penguasa.

Setelah rezim Jokowi berkuasa, nampaknya ada yang salah dengan eksistensi penguatan negara, dimana kritik menjadi salah satu ancaman yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan sebuah rezim. Belakangan kita tahu, banyak produk undang-undang yang lahir mengarah kepada nuansa anti kritik, sehingga mengganggu penguatan ke arah demokratisasi yang sepanjang rezim sebelumnya justru membaik. Lahirnya UU ITE, Perpu ormas atau UU politik yang menyepakati persentase soal presidential treshold adalah beberapa produk hukum yang sedikit banyak mengekang demokrasi di negeri ini. Semua produk hukum ini banyak yang pada akhirnya dimanfaatkan penguasa untuk menjerat mereka yang kritis terhadap rezim, bahkan tanpa harus menunggu proses hukum, mereka ditangkap dan dipenjarakan.

Dalam beberapa bulan terakhir, sudah berapa orang yang ditangkap aparat kepolisian, hanya karena gara-gara mengkritik rezim melalui media sosial, atau ada saja orang-orang yang dipolisikan gara-gara mengkritik kebijakan pengusaha. Kasus terbaru soal Sri Rahayu yang mengkritik rezim atau Acho seorang komedian yang mengkritik pengusaha justru harus berurusan dengan hukum. 

Aparat dengan mudah menjerat mereka-mereka yang kritis dengan ungkapan "kebencian" atau "penghinaan" yang dianggap mencemarkan atau merugikan pihak lain. Padahal, jika kita bandingkan dengan alam demokrasi semasa rezim SBY, kritik melalui rezim, sudah tak terhitung banyaknya di media sosial. Bahkan, pernah ada demonstrasi yang membawa kerbau bertuliskan "SBY" atau membakar patung "SBY" yang tak pernah dipolisikan oleh penguasa.

Bagi saya, mereka-mereka yang melakukan kritik dan ditangkap, bukanlah orang-orang penting yang memiliki sederet privilege kekuasaan atau afiliasi politik. Mereka bahkan orang-orang "kampung"  yang sama sekali tak mengerti soal bagaimana dan apa itu politik. Yang mereka tahu dan rasakan, adalah perasaan mereka akibat disuguhi beragam informasi yang mereka terima, terjadi sebuah ketidakadilan, sehingga mereka harus mengkrtitik sesuai dengan cara mereka sendiri. 

Hal ini sangat bertolak belakang, dengan kondisi ungkapan "kebencian" yang dengan leluasa diungkapkan para politisi, para pemangku kepentingan atau pejabat negara yang karena dianggap "orang penting" dan memiliki "kekuatan", maka hukum sepertinya tak pernah berlaku bagi mereka.

Kita memang sebaiknya mewaspadai terhadap adanya rezim anti kritik, karena alih-alih, rezim ini hanya akan melahirkan tirani-tirani baru kedepannya, yang dengan kekuatan hukum yang ada di tangan mereka, diberlakukan kepada mereka yang lemah dan tak punya afiliasi kekuatan politik apapun. 

Dulu, ketika Orde Baru berkuasa, sangat tampak sekali hegemoninya terhadap seluruh elemen kekuatan sosial-politik yang ada. 32 tahun kita berada dalam sebuah kondisi tyranni of habit yang saking terbiasanya, setiap orang sudah tak peduli lagi mempertanyakan, melakukan kritik atau menyampaikan ketidaksetujuannya dalam sebuah pendapat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline