Gaduh soal pidato Viktor Laiskodat yang viral tentu saja menuai pro kontra di tengah masyarakat. Kelompok yang pro tentu saja berkait dengan afiliasi politik, anti-HTI dengan ide khilafah dan segala perangkatnya, dan membenci Islam "garis keras". Bagi yang kontra terhadap isi pidato Viktor, tentu saja adalah parpol yang disebut sebagai pendukung HTI, seperti jelas disebutkan Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS dan umat muslim secara keseluruhan karena isi pidatonya menyangkut soal ibadah sholat yang sepertinya menjadi "ancaman" bagi dirinya. Secara tidak langsung, Viktor hendak menyampaikan pesan politiknya, jangan memilih pemimpin yang dicalonkan oleh empat parpol yang disebut tadi, karena nanti ibadah sholat akan diwajibkan kepada semua orang, tak ada toleransi.
Sejauh ini, apakah benar keempat parpol yang disebutkan Viktor adalah pendukung Islam "garis keras" yang notabene bercirikan "pemaksaan" atas beribadah yang sama, berideologi yang sama dan intoleran terhadap keyakinan lain? Saya kira, perlu menguji terlebih dahulu bahwa Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS memiliki ideologi politik yang tak sejalan dengan NKRI dan lebih memilih menjadikan Indonesia menjadi negeri berbasiskan Khilafah Islamiyah. Lalu, kenapa tak disebut parpol lain yang jelas-jelas berbasis Islam, seperti PPP atau PKB yang juga merupakan partai dengan basis massa muslim? Memang dalam persaingan politik, selalu saja ada upaya bagaimana caranya untuk menjatuhkan lawan, tak peduli apakah pada akhirnya berimplikasi hukum maupun tidak.
Pidato Viktor memang dilakukan secara internal, tertutup dari konsumsi publik, tetapi menjadi persoalan karena ada pihak lain yang mengunggah rekamannya di media sosial. Entah, apakah ini termasuk skenario politik parpol tertentu yang "sengaja" menjegal lawan-lawan politiknya di tengah semakin dekatnya pilpres, ataukan memang ketidaksengajaan tetapi pada akhirnya justru menuai polemik. Dalam teknik marketing politik, memberikan pencitraan yang buruk terhadap "produk" lawan politik merupakan hal biasa, sama seperti produk retail yang dirilis ke pasaran, selalu saja mencari celah apa kelemahan produk pesaing, sehingga jika memungkinkan buatlah para pesaing itu jatuh, hancur atau rusak tak peduli bagaimanapun caranya.
Politik sangat lekat dengan kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun kelompok dan hampir-hampir tak pernah memikirkan kepentingan umum, apalagi kepentingan bangsa dan negara. Isu mengenai NKRI, Pancasila atau toleransi, sepertinya terus menerus dijadikan "barang dagangan" politik, mirip laku kerasnya kacang rebus di saat musim penghujan. Hampir seluruh kekuatan politik yang ada saling klaim, sebagai pendukung Pancasila, setia kepada NKRI atau pembela konstitusi, padahal, kenyataannya mereka adalah mendukung kepentingan pribadi dan kepentingan kelompoknya sendiri. Sejauh ini, penyebutan terhadap kelompok lain sebagai anti Pancasila atau anti NKRI tak pernah ada yang dibuktikan secara hukum yang sah, karena sejatinya, isu ini hanya dimainkan jelang semakin dekatnya kontestasi politik.
Bagi saya wajar saja, ketika pidato Viktor menuduh beberapa parpol sebagai pendukung ide khilafah HTI sehingga berkesimpulan pada kelompok yang anti Pancasila dan anti NKRI. Itulah marekting politik, terkadang dipergunakan pada saat dirinya merasa benar-benar kehabisan amunisi menghadapi lawan politiknya yang semakin kuat dan besar pendukungnya. Cara-cara menjatuhkan lawan politik jelas dengan membuat citra buruk terhadap produk politik yang selama ini diusungnya dan kebetulan yang sedang ramai adalah isu HTI dengan ideologi khilafah-nya, Islam "garis keras" yang selalu agresif di media sosial dan tentu saja isu soal Pancasila, NKRI dan pejuang konstitusi.
Pidato Viktor yang menuai polemik selanjutnya dikomentari oleh Nusron Wahid, yang notabene merupakan figur kontroversial, karena Nusron merupakan "produk NU" dan sekaligus "produk penguasa". NU jelas mempunyai basis massa muslim terbesar yang dimanfaatkan sebagai kekuatan "legitimasi politik" oleh Nusron. Legalitas dirinya sebagai "produk penguasa" justru menjadi benteng bagi posisi politiknya ditengah berbagai afiliasi politik yang didukungnya. Lagi-lagi, pembelaan Nusron terhadap pidato Viktor adalah hal yang wajar dalam dunia marketing politik, sesuai dengan pernyataan dirinya agar soal polemik pidato Viktor di NTT tak perlu dibesar-besarkan.
Strategi marketing politik ini pada akhirnya akan mengukur, apakah lawan politik kemudian menyadari akan sebuah serangan akan citra buruk produk politiknya, kemudian diperbaiki, apakah justru menyulut massa untuk melakukan "perlawanan" dengan cara-cara yang tidak demokratis. Kekalahan para lawan politik kebanyakan berakhir pada "kekacauan" sehingga tak pernah fokus memperbaiki "kelemahan" di setiap produk politiknya. Jika keempat parpol tadi terpancing untuk memprovokasi massa, maka jelas isu anti NKRI dan anti Pancasila akan semakin melekat dalam produk politik mereka yang selama ini dipublikasikan.
Saya justru sepakat dengan pernyataan Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin yang dengan sangat bijak mengomentari polemik soal pidato Viktor. Kiai Ma'ruf hanya mempersilahkan kepada pihak-pihak berpolemik untuk mengklarifikasi dan memberi tanggapan atas apa yang terjadi, sehingga soal persaingan politik ini tidak lebih melebar merambah soal-soal lain, termasuk pada akhirnya muncul kembali isu "politisasi agama". Tak ada sedikitpun ketersinggungan Kiai Ma'ruf, walaupun saya meyakini dirinya telah dengan jelas melihat isi pidato Viktor, termasuk pernyataan Viktor yang menyinggung soal ibadah sholat yang dianggap sebagai ancaman. Biarlah, persoalan ini menjadi bagian dari wilayah hukum, diselesaikan secara hukum, tanpa harus dibesar-besarkan, sebagaimana Nusron. Namun, perlu kiranya disadari, bahwa cara-cara bersaing secara sehat, jujur dan profesional harus selalu dikedepankan, jika masih berpikir bagi kepentingan negara dan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H