Cikeas menjadi ajang pertemuan paling monumental antara dua orang pensiunan jenderal yang semakin menegaskan ambisi politiknya menuju perhelatan politik nasional 2019 mendatang. SBY dan Prabowo masing-masing memiliki pendukung yang cukup kuat dan mengakar, yang tak bisa disepelekan dalam ajang percaturan politik.
Keduanya merupakan tokoh nasional dan memiliki reputasi politik yang cukup baik. Keduanya sama-sama memiliki ambisi politik yang cukup kuat untuk tetap berperan aktif dalam kancah politik nasional. Prabowo yang pernah gagal meraih kemenangan di pilpres 2014 yang lalu dan SBY yang juga gagal melanggengkan trah Cikeas di Pilkada Jakarta, seakan menemukan momentum untuk saling mendukung pada kontestasi politik dua tahun mendatang.
Tidak ada yang salah jika seseorang berambisi dalam hal politik kekuasaan, karena sesungguhnya tanpa ambisi, kekuasaan akan sulit diraih dan bahkan bisa menjauh, karena begitu lekatnya ambisi dan kekuasaan. Saya menilai, SBY dan Prabowo merupakan mantan jenderal yang tak bisa dipungkiri sangat berambisi---tidak lagi sekadar berhasrat---meraih posisi tertinggi dalam kekuasaan politik. Walaupun SBY sudah menikmati dua periode kejayaan politiknya, namun ambisinya untuk melanggengkan trah politik-nya bukanlah isapan jempol belaka. Ambisi Prabowo yang bertemu dengan ambisi SBY, nampaknya klik, untuk membangun sinergi politik memenangkan pilpres yang tentunya dengan berbagai kompensasi politik yang disepakati.
Jika benar keduanya telah sepakat membangun sinergi, maka nama Prabowo kemungkinan besar akan muncul sebagai capres yang akan diusung sebagai penantang calon petahana, Joko Widodo yang telah lebih dulu diusung oleh kekuatan parpol koalisi pemerintahan. Kedatangan Prabowo ke Cikeas memang tak bisa dilepaskan dari tekanan akibat RUU pemilu yang disahkan DPR dengan diakomodasinya Presidential Treshold (PT) 20 persen yang mengharuskan parpol berkoalisi. Pilihan terhadap Demokrat untuk penjajakan koalisi, tidak hanya karena memiliki kesamaan dalam "ambisi politik", tetapi keduanya memiliki kedekatan emosional yang cukup erat, karena pernah berdinas di militer sebelumnya.
Kedua tokoh nasional ini nampaknya juga memiliki kesamaan dalam ideologi politik, ada keterpanggilan jiwa untuk sama-sama ingin memperbaiki kondisi bangsa dan negara, terlepas dari ambisi kekuasaan yang melatarbelakanginya. Jiwa kepemimpinan yang melekat, bawaan dari pendidikan militer, jelas mewarnai "ambisi politik" dua pensiunan jenderal ini. Saya kira, sebuah ambisi politik yang kuat akan membuka peluang lebih besar memperoleh kekuasaan. Hanya saja, ketika ambisi ini kemudian berhenti hanya sebatas keinginan berkuasa tanpa direlasikan dengan kepentingan, kemakmuran dan kemaslahatan rakyat, maka ambisi politik akan jatuh menjadi "tiran-tiran" yang kembali hidup di alam demokrasi.
Bagi saya, pertemuan ini bukan sekadar makan nasi goreng yang berharga "kaki lima" apalagi dihubung-hubungkan dengan kebiasaan Prabowo yang menyambut tamu-tamunya dengan memamerkan kuda-kuda tunggangannya. Pertemuan Cikeas telah menjadi ajang "penyatuan" ambisi politik dua jenderal yang selama ini "terpinggirkan" oleh kekuasaan.
Beberapa kali manuver politik mereka "terganjal" oleh kekuatan-kekuatan politik yang dinilai pro penguasa. Keberadaan baleid UU Pemilu yang mensyaratkan PT 20 persen, bahkan dikomentari sinis oleh Prabowo hanya sebagai "lelucon politik" yang disinyalir untuk memuluskan pencalonan petahana. Tidak menutup kemungkinan, pilpres 2019 akan menjadi pertarungan ambisi kekuasaan yang tak segan-segan mengorbankan banyak hal, termasuk kemaslahatan rakyat hanya untuk mengejar kekuasaan.
Masyarakat tentu dapat menilai, mana ambisi politik yang sekadar mengejar kekuasaan dan mana ambisi politik yang erat dengan keterpanggilan jiwa seseorang untuk memimpin dan berkeinginan melakukan perubahan. Walaupun "ambisi" cenderung berkonotasi negatif, terlebih dihubungkan dengan kekuasaan politik, namun dapat saja bermakna positif ketika ambisi itu didorong oleh realitas masyarakat yang mendukungnya, bermain pada isu yang sama, yaitu kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Melihat dari ambisi politik kedua pensiunan jenderal ini, saya kira publik dapat dengan obyektif menilai, bentuk ambisi politik seperti apa yang kemudian dapat mempertemukan keduanya di Cikeas.
Politik memang seharusnya erat dengan kemaslahatan dan kebaikan, sebagaimana Presiden Jokowi menanggapi pertemuan dua mantan jenderal ini sebagai pertemuan yang baik. Kita memang dituntut untuk tetap berhusnuzon terhadap berbagai kenyataan politik, karena dengan cara inilah bangsa ini akan hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Namun, jika Presiden Jokowi menganggap pertemuan apapun itu baik, maka memang sudah semestinya demi kebaikan pertemuan juga dapat dilakukan secara hangat dalam tiga serangkai: Jokowi-SBY-Prabowo, bila perlu dapat dilakukan dalam waktu dekat, sehingga pesan-pesan damai, kebaikan, kemaslahatan yang dibungkus oleh "ambisi-ambisi politik" mereka dapat lebih bermakna positif bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H