Menarik membaca pernyataan dari Ketua MPR, Zulkifli Hasan soal pemblokiran aplikasi Telegram yang dilakukan pemerintah Indonesia, "Kalau ada hal-hal yang salah, (mestinya) yang salahnya yang diproses, jangan rumahnya yang ditutup, gitu"(Kompas.com). Kritik Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini lebih jelas ketika kemudian menyatakan, bahwapemblokiran aplikasi Telegram sebagai langkah yang tidak tepat. "Jadi cara-cara otoriter dalam era demokrasi tidak tepat karena akan merugikan, Bapak Presiden saya kira hati-hati," ujar Zulkifli, sebagaimana dikutip Kompas.com.
Ketika Ketua MPR menyebut pemerintahan dalam menutup aplikasi Telegram dilakukan dengan cara-cara otoriter, itu sama artinya pemerintahan cermin dari sebuah tirani terhadap media sosial. Padahal, media sosial layaknya sebuah "rumah" bagi para penggunanya dan mereka terusir secara paksa akibat tirani kekuasaan.
Kritik yang dilontarkan Zulkifli Hasan soal pemblokiran Telegram, bisa jadi tak ada kaitannya dengan isu santer reshuffle kabinet yang akan dilakukan Presiden Jokowi dalam waktu dekat ini, dimana salah satu kader PAN yang ada di kabinet disebut-sebut terkena dampak dari rotasi kekuasaan ini. PAN memang menjadi anak bungsu dalam koalisi parpol pendukung pemerintah karena sebelumnya, parpol dukungan ormas Muhammadiyah ini berada pada barisan parpol oposisi berada di luar kabinet Jokowi-Kalla.
Keberadaan PAN yang sulit bergerak di luar jalur pemeritahan---karena masa pemerintahan sebelumnya juga PAN bukan parpol oposisi---membawa partai besutan tokoh reformasi Amien Rais ini harus berada tetap dalam jalur parpol pendukung pemerintah. PAN sepertinya menjadi parpol "pekerja" yang ingin memberikan tenaganya dalam mempengaruhi negara sebagai "majikannya". Artinya, bisa dipahami sepanjang sejarah parpol ini, belum pernah sekalipun berdiri sendiri berani menjadi barisan oposisi dalam pemerintahan.
Terlepas dari seorang Zulkifli yang memang merupakan nahkoda utama di PAN, saya melihat kritiknya adalah berasal dari kapasitas dirinya sebagai Ketua MPR, dimana lembaga tertinggi negara ini memiliki posisi sangat dominan dalam struktur kekuasaan politik. Terdapat pernyataan yang dilontarkan sangat tajam oleh Zulkifli diatas, yaitu, "Bapak Presiden saya kira hati-hati..." seakan sedang memperingatkan Presiden Jokowi jangan terlalu mudah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang justru akan "membahayakan" dirinya, tidak saja akan berdampak terhadap elektabiltasnya dalam menghadapi kontestasi politik nasional nanti, tetapi setiap kebijakan jika tidak dikaji secara hati-hati justru akan merugikan negara sendiri. Memang, tidak perlu seorang kepala negara mengeluarkan kebijakan serba populis, terlebih sekadar pencitraan, namun kebijakan tak populis-pun sepertinya tetap harus menjadi pertimbangan yang lebih besar bagi kemaslahatan rakyat.
Era saat ini sering disebut atau identik dengan era media sosial (medsos) karena hampir seluruh masyarakat menggunakan medsos sebagai "rumah kedua" bagi berbagai kebutuhan mereka, baik soal mendapatkan dan mencari informasi, jual-beli, berinteraksi dengan sesama, menyetujui atau menolak suatu hal, bahkan menumpahkan segala kesedihan dan kegembiraan. Disadari maupun tidak, setiap realitas kemanusiaan saat ini lebih banyak dipercayakan atau diwakili oleh akun-akun "maya" di dunia medsos, karena medsos merupakan "rumah besar" bagi mereka sehingga hampir seluruh cerita kehidupan seseorang justru mendapatkan dukungannya di sini, bukan di rumah nyata yang sejauh ini mereka tinggali. Siapa yang tidak marah ketika mereka diusir dari "rumah" mereka sendiri?
Belum lagi selesai hiruk-pikuk soal penerbitan perppu tentang pembubaran ormas yang dinilai publik sebagai bentuk dari kekuasaan represif negara, kini pemerintah dikritik karena memblokir aplikasi Telegram. Alasannya, karena banyak konten radikalisme dan penyebaran ide-ide radikal yang dianggap membahayakan negara. Barangkali, tepat jika dianalogikan, "gara-gara nila setitik rusak susu sebelangga" dimana hanya beberapa orang yang berbuat kesalahan di aplikasi Telegram, lalu disimpulkan seluruh pengguna aplikasi Telegram adalah "bersalah", dan lebih jauh, Telegram harus diblokir karena keberadaannya "bersalah". Sama halnya dengan penerbitan perppu ormas, gara-gara satu-dua ormas yang dianggap membahayakan negara, maka ormas lainnya harus diberangus dan orang-orang yang menjadi anggota serta pengurusnya juga pada akhirnya bisa saja dihukumi "bersalah".
Menyelesaikan sebuah persoalan dengan langkah pemberangusan, pembredelan atau pemblokiran, adalah ciri prilaku tirani kekuasaan, yang tidak selalu menyelesaikan sebuah masalah, malah terkadang bisa menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Berapa banyak jumlah situs web berbau radikalisme sempat diblokir pemerintah, namun kenyataannya aktivitas radikalisme tetap ditemukan dalam berbagai jaringan baru dan situs-situsnya tetap hidup dan semakin marak diakses publik. Telegram---seperti juga halnya aplikasi medsos lainnya---juga memiliki jutaan pengguna di seluruh dunia. Tak kurang dari 100 juta pengguna aktif memanfaatkan aplikasi yang dibuat oleh Nikholai Durov ini, sebagai ruang obrolan (chat) baik dalam bentuk publik atau privat . Bahkan, pengguna Telegram ini semakin bertambah, rata-rata setiap harinya hampir sekitar 350 orang mendaftar sebagai anggota baru.
Lalu, akan timbul pertanyaan, akankah terorisme berhenti dan ideologi radikal dijamin akan mati di Indonesia ketika aplikasi Telegram ini diblokir pemerintah? Saya kira belum tentu, karena ibarat menutup "satu lobang" maka akan semakin banyak bermunculan "lobang-lobang baru", karena jaringan internet merupakan media besar yang saling terhubung dan mempunyai banyak celah yang mudah dimanfaatkan menjadi jaringan sosial secara global. Ideologi radikal yang telah terbangun sekian lama dan membentuk jaringan besar melalui media internet tak akan lumpuh meskipun perburuan terhadap jaringan terorisme ini terus digencarkan.
Saya kira, slogan "kami tidak takut" yang selama ini digaungkan hanya berlaku sesaat ketika sudah terjadi sebuah aksi terorisme, padahal slogan tersebut perlu disosialisasikan lebih kuat, sehingga masyarakat mampu membentengi dirinya dari berbagai macam ideologi yang bersifat radikal. Bukankah memblokir aplikasi Telegram berarti slogan itu menjadi tidak berlaku lagi?
Persoalan internet dan media sosial memang selalu menjadi persoalan baru di era keterbukaan informasi seperti saat ini. Di satu sisi, memudahkan pekerjaan manusia, namun di sisi lain justru semakin banyak menimbulkan masalah baru, terutama banyaknya informasi yang tidak benar tersebar (hoax), ujaran kebencian, SARA, radikalisme dan hal lainnya yang banyak menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Internet dan media sosial semakin menjadi "candu" bagi masyarakat dari berbagai kalangan, dan hal ini-pun didukung oleh beragam fasilitas dan kemudahan yang diberikan pemerintah.