Pergerakan ISIS sebagai kekuatan milisi bersenjata yang sempat menguasai wilayah-wilayah strategis di Timur Tengah, termasuk Kota Mosul di Irak dan Kota Raqqa di Suriah belakangan dikabarkan semakin melemah. Hampir seluruh kantong-kantong kekuatan ISIS, termasuk di Kota Marawi, Filipina yang disebut-sebut sebagai basis kekuatan ISIS di wilayah Asia, digempur habis-habisan oleh pasukan koalisi militer setempat. ISIS dipastikan semakin kehilangan kekuatannya, bahkan demi sekadar mempertahankan sisa-sisa kekuatannya, kelompok radikal ini pernah menjadikan perempuan dan bayinya sebagai martir untuk melakukan aksi bom bunuh diri diantara kerumunan tentara Iraq di Kota Baghdad. Namun demikian, melemahnya seluruh kekuatan ISIS di berbagai penjuru dunia, tidak serta merta melemahkan kekuatan penetrasi ideologi ISIS yang sudah terlebih dulu menyebar ke seluruh dunia melalui internet.
Ideologi radikal yang dikembangkan dan disebarkan ISIS tampaknya akan terus menguat seiring dengan penyebaran ideologi politik demokrasi yang terus ditancapkan dunia Barat. Embrio ideologi radikal yang berasal dari para pemikir Salafi dunia Islam, pada awalnya dibuat sebagai ideologi tandingan yang ditujukan untuk melawan ide-ide sekular demokrasi yang berkembang di seluruh dunia. Merujuk kepada sejarah gerakan modernisme Islam, tidak terlalu sulit untuk mengurai kemudian asal-usul ideologi radikal yang tumbuh sejak awal abad ke-19, terutama dibawa oleh para pembaharu muslim yang hidup ditengah kondisi imperialisme dan kolonialisme asing (baca: Barat).
Adalah seorang pencetus gerakan modernisme Islam paling awal, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, seorang "Syiah" yang lahir di Iran pada tahun 1883, memiliki pandangan kuat soal penyatuan dunia Islam atau Pan-Islamisme. Afghani adalah sosok penting dalam menanamkan pemikiran kepercayaan agama Islam menjadi sebuah ideologi politik untuk melawan serbuan dan pelanggaran pemerintah Barat terhadap negara-negara mayoritas muslim. Penekanannya terhadap ideologi anti-imperalisme Barat dan solidaritas muslim sedunia, mengilhami banyak gerakan politik di seluruh dunia Islam, termasuk kemudian diperkuat oleh diperketat oleh tokoh gerakan Islam berikutnya, seperti Al-Maududi di Pakistan dengan membentuk Jamaat al-Islami dan Sayyid Quthb sebagai garda terdepan pada gerakan Ikhwan al-Muslimin di Mesir.
Al-Afghani dianggap sebagai pencetus utama gerakan reformasi Islam melalui upayanya yang kian jelas memobilisasi sentimen tradisional dan keagamaan massa, untuk melawan sekaligus mempromosikan bahwa Barat adalah ancaman bagi Islam. Dalam beberapa hal, ia mampu memadukan sekaligus ideologi Islam dengan filsafat Barat sebagai alternatif baru bagi bentuk modernisme masyarakat dan agama. Namun sangat disayangkan, ideologi pembaruan Islam yang disuarakan sangat kuat oleh dirinya melalui metode filsafat Islam yang dikembangkannya, tidak begitu berdampak luas terhadap perkembangan modernisme Islam. Para pengikutnya belakangan, lebih banyak terpengaruh oleh ide-ide Al-Afghani dalam melepaskan belenggu kekuatan imperialisme Barat, melalui semangat puritanisme yang bertumpu pada "pemurnian" ajaran Islam, sehingga menganggap ideologi apapun di luar Islam sebagai sebuah ancaman.
Seorang pembaharu Islam asal Pakistan, Abu al-A'la Al-Maududi (1903) banyak merespon soal perkembangan dunia Islam dengan menawarkan berbagai solusi melalui pendekatan "Islam politik". Ia misalnya membentuk Partai Islam (Jama'at-I Islami) di Pakistan pada Agustus 1941 dan memperkuat gagasan ideologi politiknya tentang negara Islam ideal. Melalui agenda pembentukan negara Islam, Al-Maududi menganjurkan pandangan Islam yang memobilisasi iman berdasarkan kebutuhan politik. Islam, baginya merupakan sebuah konsep holistik sama halnya dengan ideologi lain yang dikembangkan dunia Barat. Konsepsi negara Islam ideal dalam benak dirinya adalah sebuah kekuasaan mutlak hanyalah milik Allah yang bertujuan mentransformasi masyarakat dan politik. Melalui penafsiran yang cukup radikal terhadap konsep ketuhanan (ilah), tuhan (rabb), ibadah dan agama, ia beranggapan bahwa aksi sosial adalah tujuan logis ibadah, sedangkan agama itu sendirilah yang menjadi wahana aksi sosial.
Pandangan Al-Maududi soal negara Islam memang mengandung radikalisme, kendatipun dirinya tetap tak sepakat dengan aksi sosial jika dijalankan dengan cara-cara kekerasan. Namun yang pasti, pandangannya yang irenic dalam merespon isu-isu mutakhir politik---khususnya ketika menghadapkan tema muslim dan kafir---memberikan pandangan Islam dalam skala "garis keras" yang terlampau fokus dalam segala hal yang berkait dengan teorisasi negara Islam sebagai suatu entitas paling efektif yang akan mengungguli model Barat dan sosialis. Fondasi negara Islam yang ditawarkan Al-Maududi jelas bersendikan syariat dan cenderung menolak segala hasil produk hukum buatan manusia. Ia secara tegas mempertahankan konsep al-hakimiyyah lillah, dimana segala hak keputusan tertinggi mutlak milik Allah, kedaulatan manusia, partai dan perangkat lainnya hanyalah pemberian dan bersifat semu. Keberadaan negara dengan demikian, harus mampu mewujudkan hukum Tuhan di muka bumi yang tentu saja berkonstitusi pada syariat (al-Quran dan Sunnah).
Bukan suatu kebetulan, dimana sosok Sayyid Quthb yang hidup di Mesir pada waktu itu juga sezaman dengan Al-Maududi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, beberapa karya dan pemikiran Al-Maududi soal kebangkitan Islam berpengaruh secara luas dan direspon oleh inetelektual muslim lainnya, semisal Sayyid Quthb yang juga menghabiskan masa hidupnya sebagai aktivis muslim yang gigih menyuarakan perlawanan terhadap segala unsur kejahiliyahan yang bersumber dari pemikiran dan peradaban yang disebutnya tidak islami. Quthb dikenal sebagai seorang moralis yang senantiasa menganjurkan agar umat muslim bersatu dan berprilaku islami sebagaimana yang dianjurkan Nabi Muhammad. Visinya yang begitu kuat terhadap bentuk ideal masyarakat muslim awal yang dibentuk Nabi Muhammad di Madinah, memaksa dirinya agar seluruh umat muslim meniru generasi muslim awal yang "masuk Islam" dan membangun tatanan masyarakatnya di Madinah. Quthb sangat yakin akan generasi muslim awal sebagai generasi paling ideal yang harus mampu mewujud saat itu.
Kita tentu memahami, bahwa implikasi prosedur pembentukan masyarakat muslim ideal yang digagas Quthb sangatlah radikal, karena selain menggunakan analogi generasi masyarakat muslim awal yang "dipaksakan" menjadi proyeksi masyarakat masa kini, cara pandang Quthb terhadap konsep Jahili terkesan "hitam-putih" karena menganggap seluruh prosedur atau perangkat sosial apapun yang dikembangkan manusia, bertentangan dengan ajaran Islam dan haruslah dilawan. Quthb berteori mengenai "jahiliyah kontemporer" yang mendominasi seluruh sistem sosial-politik dunia, sehingga untuk menegakkan kembali umat yang sempurna dan mengangkat Islam ke dalam sebuah keyakinan yang universal, seluruh entitas jahiliyah haruslah dihancurkan. Prinsip ini pada akhirnya, tak berbeda jauh dengan konsep Al-Maududi soal penegakkan negara Islam yang menempatkan kembali Tuhan sebagai satu-satunya kedaulatan dan menjamin syariat sebagai hukum absolut Tuhan menjadi satu-satunya hukum yang mengatur seluruh kebutuhan umat.
Bagi saya, embrio ideologi radikal yang kemudian "sukses" ditularkan ISIS belakangan ini akan terang benderang jika ditelusuri melalui sejarah rangkaian pemikiran Islam yang pernah populer sejak awal abad ke-19. Hanya saja, banyak ideologi ISIS yang dikembangkan kemudian keluar jauh dari ruh Islam yang sesungguhnya, terutama soal penegakkan negara Islam yang absurd, propaganda syariat yang terlampau kaku, bahkan penggunaan cara-cara kekerasan yang dihalalkan sebagai bentuk "perang suci" yang senantiasa ditularkan oleh mereka. Secara gerakan, ISIS bisa saja tumbang dan hancur, namun secara ideologis, ia bisa saja bermetamorfosa menjadi "ideologi" lain yang tetap berkembang secara massif dan membangkitkan "semangat" gerakan-gerakan baru lainnya.
Perkembangan mutakhir menyebutkan, bahwa penguatan ideologi ISIS tetap jaya menghinggapi siapapun di seluruh dunia dan yang pasti, tak mesti memiliki gerakan terstruktur secara top-down. Ideologi ini tetap hidup dan sanggup mempengaruhi orang lain, bahkan dengan "aksi sendiri" atau lone wolf yang belakangan marak sebagai bagian dari aksi "teror tanpa perintah" yang juga terindikasi di berbagai wilayah dunia. Teror Paris, Jerman, Italia dan Indonesia belakangan mengarah pada bentuk aksi teror lone wolf yang terindikasi kuat efek dari konten radikal berideologi ISIS melalui dunia maya. Saya yakin, dunia pasti akan direpotkan dengan ancaman ideologi radikal yang sukses disebarkan ISIS dimana saat ini tengah bersemayam menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu siap melancarkan aksi-aksi teror-nya. Deradikalisasi nampaknya tidak harus dipandang dalam artian fisik, tetapi bagaimana mengolahnya agar dapat menandingi konten radikal di dunia maya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H