Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Perlawanan "Koruptor" dan Pembusukan Politik

Diperbarui: 4 Juli 2017   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: screen capture KOMPASTV

Drama pengguliran hak angket DPR kepada KPK masih terus berlanjut, walaupun penolakan yang begitu besar dari berbagai elemen masyarakat. Setelah beberapa kelompok pegiat anti korupsi menolak soal penggunaan hak angket DPR terhadap KPK, para pakar dan ahli hukum yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Administrasi Negara juga ikut menolak upaya "pelemahan" KPK yang dibidik DPR melalui mekanisme hak angket.

Alasan yuridis yang dikemukakan asosiasi ini terutama adalah soal penggunaan hak angket DPR yang semestinya ditujukan kepada pihak eksekutif (presiden), sehingga tidak bisa ditujukan kepada lembaga independen lainnya, semisal KPK. Kegigihan anggota parlemen untuk tetap menggulirkan hak angket ini sepertinya justru menyimpan agenda tersembunyi, yaitu perlawanan para "koruptor" yang tidak puas dengan KPK.

Di tengah perlawanan yang kuat dari masyarakat untuk melindungi "hak imunitas" KPK, DPR malah menunjukkan sikapnya yang terkesan melakukan pembelaan terhadap para koruptor. Panitia Hak Angket DPR berencana menemui para koruptor yang telah ditahan di berbagai lembaga pemasyarakatan untuk mengetahui apakah selama proses penyelidikan dan penyidikan oleh KPK terdapat pelanggaran.

Jelas hal ini merupakan upaya serius DPR memfasilitasi perlawanan para koruptor yang justru telah secara sah dan meyakinkan merampok harta kekayaan negara. Cara DPR dengan mendatangi para koruptor justru akan membawa angin segar bagi mereka untuk membuka celah perlawanan "secara legal" kepada lembaga anti rasuah yang telah memenjarakan mereka. Saya kira, tidak ada seorangpun yang mau menerima dampak hukum akibat perbuatannya, bila perlu hukum diperingan atau malah tidak dipakai sama sekali.

Keberadaan KPK sebagai lembaga negara yang independen, justru banyak memberikan keleluasaan untuk mengusut berbagai macam tindak pidana korupsi tanpa terkecuali, sehingga kewenangan KPK sangat besar dan berpeluang memutus mata rantai korupsi yang sejauh ini semakin kuat. Para oknum pejabat negara yang korup, baik dari eksekutif, legislatif maupun yudikatif telah berhasil ditangkap dan dipenjara oleh KPK dan secara tidak langsung, KPK sukses mengembalikan dan menyelamatkan keuangan negara. 

Adanya KPK saja para pejabat negara masih ada yang tertangkap tangan melakukan praktik korupsi, bagaimana jika KPK kemudian "dikebiri" kewenangannya melalui mekanisme hak angket DPR, mengevaluasi dengan cara membuka posko pengaduan bagi para koruptor dan melakukan wawancara dengan mereka yang sudah terbukti korup?

Hak angket DPR terhadap KPK adalah upaya kemunduran dalam suatu sistem politik demokratis yang menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Sistem politik yang semestinya dijalankan secara berkesinambungan antarlembaga negara yang saling mendukung dan menguatkan, justru malah terbalik, DPR sebagai cerminan kehendak rakyat malah berupaya mendukung pelemahan terhadap KPK. Apapun alasannya, keberadaan hak angket DPR walaupun legalitasnya masih pro-kontra di tengah publik, semestinya tidak dipergunakan untuk tujuan "melemahkan" lembaga independen, semisal KPK.

Cara-cara yang mulai dijalankan oleh Panitia Hak Angket sangat kuat kesannya melakukan perlawanan dalam membela para koruptor di negeri ini. Kasus E-KTP, saya kira, telah membuka "borok" DPR karena banyaknya aliran dana korupsi yang mampir di kantong-kantong mereka. Keengganan mereka mengembalikan uang negara karena sudah terpakai untuk "biaya politik" kemudian dibuat skenario hak angket untuk sekadar mengulur waktu proses penyelidikan dan penyidikan KPK terhadap kasus mega korupsi ini.

Fenomena hak angket DPR atas KPK saya kira akan berpengaruh pada proses demokratisasi politik yang selama ini berjalan. Jika ini terus dipaksakan tetap berjalan, yang terjadi justru proses pembusukan politik (political decay) karena kebijakan lembaga politik seperti DPR yang meneruskan proses hak angket tidak mencerminkan sebuah ikatan batin dengan sebagian ekspektasi masyarakat. Artinya, DPR yang seharusnya dapat menerima dan mengakomodasi beragam tuntutan publik, justru abai dan membiarkan volume tuntutan mereka yang semakin banyak dan tak terpenuhi. Saya justru khawatir, ketika hak angket terus digulirkan, sementara di sisi lain tuntutan penghentian hak angket oleh masyarakat tetap marak, yang terjadi justru kondisi instabilitas yang akan menghambat laju jalannya demokrasi.

Kondisi ini malah semakin diperrunyam oleh beragam pernyataan pimpinan DPR yang tampak "nyinyir" terhadap keberadaan lembaga negara yang non-struktural, termasuk KPK dan juga Komnas HAM. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah malah beranggapan kedua lembaga negara non-struktural tersebut sudah tidak berfungsi karena peran dan fungsinya sudah ada di lembaga negara lainnya. Dengan dalih pemborosan anggaran, Fahri menyarankan agar KPK dan Komnas HAM dibubarkan, mengingat Presiden Jokowi juga telah membubarkan beberapa lembaga negara non-struktural lainnya yang tumpang tindih fungsinya dengan lembaga negara lainnya.

Saya kira, pernyataan tersebut tidak mencerminkan seorang pejabat negara yang memahami pentingnya keberadaan lembaga non-struktural yang masih berfungsi secara baik dan sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Pernyataan tersebut tampak arogan dan menempatkan posisi DPR seakan seperti lembaga terkuat yang mempunyai domain kepolitikan tanpa batas, lupa bahwa mereka adalah cerminan rakyat yang telah memilih mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline