Mungkin terkesan agak aneh, ketika warung kopi pinggir jalan yang hanya ditutupi spanduk sebagai "penanda" eksistensinya, setiap hari ketiga lebaran selalu digratiskan kepada pengunjung dengan tema cukup keren, "open house". Warung Kopi Mbah Ito yang terletak sebelum pertigaan Semlaran, kawasan Sunan Drajat, Kranji, Paciran Lamongan hampir setiap harinya dipenuhi pengunjung dari beragam strata sosial. Setiap kali saya mudik ke Lamongan, saya tak pernah absen menikmati open house kopi "mbleber" Mbah Ito yang sangat khas rasanya. Entah kenapa lidah saya terasa betah dengan aroma dan rasa khas kopi ini, sehingga tak afdhal rasanya jika balik ke Jakarta, tak memesan kopi ini terlebih dahulu untuk "obat kantuk" selama perjalanan arus balik.
Kopi bagi saya merupakan menu wajib yang harus tersedia setiap hari, tidak hanya sekadar memenuhi hasrat lidah yang telah terkontaminasi efek kopi, tetapi ia bisa menjadi teman setia di saat-saat harus berpikir dan bekerja. Kebiasaan meminum kopi telah membuat lidah saya sensitif terhadap beberapa cita rasa kopi dan dapat membedakan mana kopi yang sesuai dengan selera dan mana yang tidak.
Kopi Mbah Ito merupakan jenis kopi robusta yang khas kopi Jawa dengan ampasnya tetap menggunung setelah kopi habis diminum. Konon kopi jenis Robusta mempunyai kadar asam yang relatif rendah dibanding jenis kopi Arabica yang biasa dikonsumsi orang-orang kota di gerai-gerai pusta perbelanjaan terkemuka. Jenis Robusta seringkali disebut kopi lokal karena bisa tumbuh di beberapa wilayah Indonesia tanpa tergantung kontur tanah dan juga ketinggian wilayah. Harganya pun relatif lebih murah dibanding jenis Arabica yang saat ini justru menjadi tren cita rasa kopi di pusat-pusat perkotaan.
Perkenalan dengan kopi Mbah Ito dimulai dari cerita beberapa orang santri di Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Kranji, Paciran, Lamongan yang kebetulan pesantren milik almarhum kakek dari istri saya sendiri. Setiap mudik lebaran, saya selalu berkumpul dengan para santri yang tidak pulang kampung karena ingin membantu kiai mereka mempersiapkan segala hal untuk menyambut tamu-tamu yang selalu ramai setelah Idul Fitri. "Ayo Kang, ngopi nggone Mbah Ito" ucap salah satu santri senior yang selalu membuat saya penasaran.
Setelah menikmati "sruput" kopi racikan Mbah Ito, saya mulai ketagihan karena rasanya yang memang lain dari biasanya. Luar biasanya, warung kopi yang entah kapan sepinya ini, tidak pernah merubah keberadaannya, yang tetap sederhana menyuguhkan nuansa kampung yang khas, lengkap dengan perabotan kuno yang disuguhkan kepada para pengunjung. Bangku kayu seadanya, gelas kopi kuno yang tampak gompel disana-sini tetap menghiasi setiap sruputan kopi yang dirasakan.
Usut punya usut, kopi yang dinahkodai oleh seorang perempuan tua yang piawai meracik bijih kopi dari mulai penyortiran, penjemuran, penumbukan hingga pematangan menjadikan rasa kopi ini berbeda dengan kebanyakan kopi lainnya. Mbah Ito, konon dikenal sebagai peracik kopi yang profesional, terutama bagi mereka yang sudah merasakan kekhasan rasa kopi hasil racikannya.
Biji kopi yang sudah kering, dimasak dengan tungku api yang dibakar dengan kayu sehingga aroma khas kayu bakar pada aroma kopi masih tetap dapat dirasakan. Menikmati kopi yang enak, ternyata tidak harus datang ke garai kopi mewah dan berkelas, berada di pojok-pojok pusat perbelanjaan dengan harga relatif mahal. Di warung kopi ini, secangkir kopi hanya dihargai Rp 4000 sampai 5000 rupiah tergantung dari cita rasa kopinya.
Saya kira, cita rasa kopi yang disuguhkan Warung Kopi Mbah Ito di sekitaran Semlaran, Lamongan termasuk terbaik di kelasnya, karena rasa yang khas dan nyaman untuk dinikmati. Namun sayang, terkadang kopi lokal sulit bersaing dengan kopi impor yang justru semakin marak di negeri ini. Padahal, harga kopi impor yang dijual di gerai-gerai modern sangat mahal, bisa sepuluh kali lipat dari harga secangkir kopi di warung-warung kopi jalanan. Tren "ngopi" di masyarakat urban, seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya, lebih didominasi kopi impor dan kebanyakan mereka tak pernah mengenal cita rasa kopi lokal.
Saya kira, para pemangku negeri ini juga harus lebih gencar mempromosikan kopi lokal sebagai alternatif "ngopi" nikmat dan memudahkan beragam izin pembukaan gerai kopi lokal dibanding kopi impor yang belakangan marak di kota-kota besar. Presiden Joko Widodo saya kira, sudah mulai mengangkat citra kopi lokal dengan memboyong keluarganya "ngopi" di gerai Tuku Kopi, Jakarta. Jokowi-pun menyatakan bahwa dirinya lebih menyukai produk-produk kopi asli Indonesia yang dijual oleh pengusaha lokal.
Bagi saya, pesan Jokowi ini sangat jelas, bahwa citra kopi lokal harus diangkat derajatnya sehingga menjadi sejajar dengan produk kopi impor yang marak di Indonesia. Jangan sampai masyarakat kita hanya tahu gerai-gerai kopi produk impor yang sudah "bermerk" sehingga gengsi beralih ke produk lokal yang rasa khasnya mampu bersaing. Membiasakan mengkonsumsi kopi lokal yang dibeli dari petani-petani kopi di daerah atau "ngopi" di gerai-gerai produk kopi lokal justru akan menggairahkan perekonomian negeri sendiri, bukan memperkaya bangsa lain.
Kopi Mbah Ito adalah salah satu dari produk lokal yang saya kira cukup baik dan bisa bersaing soal cita rasa kopi dengan produk-produk kopi impor lainnya. Bagi pencinta kopi hitam, saya kira perlu mencoba dan mencicipi setiap sruput nikmat kopi Mbah Ito yang mangkal di sebelum pertigaan Semlaran, Lamongan agar dapat membedakan mana sesungguhnya kopi yang bisa dinikmati dengan harga sangat murah tetapi tetap menjaga cita rasanya yang khas Indonesia.