Wakil Presiden RI, M Jusuf Kalla (JK) ketika memberikan kuliah umum di Universitas Oxford, Inggris, menyebutkan bahwa agama bukanlah merupakan sumber konflik. "Religion is not the source of conflict. In many cases it was just manipulated or misused to spread solidarity".
Agama hanya dijadikan "alat" yang kemudian digunakan untuk memecah solidaritas masyarakat sehingga muncul polarisasi yang tajam di tengah masyarakat di mana masing-masing seakan membawa persepsi soal kebenarannya sendiri-sendiri.
Di tengah berbagai pandangan negatif soal Islam, JK sepertinya sedang mempersepsikan Islam Indonesia yang ramah dan moderat, bukan Islam yang dipersepsikan dunia Barat atau pihak lain yang lekat dengan "kekerasan" dan mewujud dalam bentuk paling modern, seperti radikalisme-terorisme.
Keyakinan JK dengan menepis anggapan bahwa agama bukanlah sumber konflik didasarkan pada situasi di mana konflik umumnya selalu timbul akibat rasa ketidakadilan yang diterima sebagian masyarakat terhadap kondisi sosial-politik yang sedang dihadapi.
"The prima causa of more conflicts are injustice". JK menganggap agama sering kali dimanipulasi untuk membenturkan beragam kepentingan, termasuk sosial-politik, ekonomi atau budaya sehingga agama menjadi "kambing hitam" dituduh sebagai penyebab utama konflik.
Padahal, sesungguhnya, ketidakadilanlah yang sering kali menyebabkan konflik. Dalam hal ini, Islam kemudian disalahpersepsikan (falsely understood) oleh sebagian orang sebagai agama yang tidak ramah, cenderung ekstrem dan kasar.
Pidato JK di Oxford paling tidak memersepsikan secara bahwa Islam---khususnya di Indonesia---selalu ramah, menjauhi konflik dan tidak suka kekerasan. Kalaupun timbul konflik di tengah komunitas beragama, itu tidak bersumber dari agama itu sendiri, tetapi lebih banyak disebabkan oleh ketidakadilan yang dirasakan sebagian masyarakat.
JK menyebut beberapa contoh konflik di Indonesia yang dipicu oleh ketidakadilan tetapi kemudian dimanipulasi seakan-akan merupakan konflik agama. Konflik Rasialisme di Jawa Barat (1962), pembunuhan massal (1965), Konflik Poso (1998), dan terakhir Peristiwa Mei 1998.
Serentetan peristiwa konflik yang pernah terjadi ini bukan dipicu oleh agama, terbukti Indonesia sampai detik ini tetap teguh menjadi NKRI dengan Pancasila sebagai ideologi negaranya.
Agama tetap berfungsi secara baik dalam hal perekat solidaritas sosial yang tidak alergi terhadap keragaman, toleransi, dan termasuk prinsip-prinsip kebinekaan. Indonesia tidak mudah diintervensi pihak lain yang akan memanfaatkan agama sebagai alat manipulasi politik dalam berkonflik.
Kegagalan Islam di Timur Tengah, jelas karena adanya intervensi asing atas berbagai kepentingan yang mereka bawa, bukan karena agama sebagai pemicu konfliknya.