Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Adu Kuat Kasus Habib Rizieq dan Novel Baswedan

Diperbarui: 9 Juni 2017   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi penyiraman air keras kepada Novel Baswedan.(KOMPAS.com/LAKSONO HARI WIWOHO)

Kepolisian kita tampaknya sedang kalut, menentukan mana kasus paling penting yang harus segera selesai, apakah kasus chat mesum Rizieq Shihab ataukah potong kompas, menyelesaikan secara tuntas siapa dalang sebenarnya yang melakukan teror kepada Novel Baswedan. Saya harap, kepolisian dapat secara profesional melihat pentingnya penyelesaian kasus secara objektif, bukan didasarkan oleh pertimbangan “politis”. 

Karena seperti yang kita lihat, Habib Rizieq bahkan sudah berstatus sebagai “buronan” yang gambar dirinya sudah dipasang di sentra-sentra keramaian. Bahkan, red notice sudah dikirimkan kepolisian Indonesia agar menjadi pertimbangan pihak interpol untuk “menangkap” seseorang yang tersandung kasus hukum di Indonesia. Namun, sebegitu pentingkah kasus chat mesum Rizieq dibandingkan kasus Novel?

Pertanyaan di atas sebenarnya dapat dengan mudah dinilai publik, sejauh mana keseriusan kepolisian menyelesaikan berbagai kasus penting di tengah masyarakat, apakah masih berkutat pada hal yang “ecek-ecek” ataukah benar-benar pertimbangan hukum yang berdampak pada kemaslahatan umat lebih banyak.

 Bagi saya, kasus Novel yang semakin tak jelas, justru membuat sinis publik terhadap tugas kepolisian yang semakin menunjukkan sikap “tebang-pilih”, menebang yang “penting-penting” dan memilih yang “ecek-ecek”. Tuntutan publik yang semakin kuat agar kepolisian segera menyelesaikan kasus Novel justru semestinya menjadi pertimbangan mereka bahwa kasus Novel justru “dicurigai” terdapat kendala politis yang sengaja ditutup-tutupi melalui kasus-kasus lain yang mulai dibesar-besarkan.

Kepolisian seakan sedang dihadapkan pada problem darurat, menguji adu kuat antara kasus Rizieq dan Novel yang keduanya mendapat desakan dari masyarakat. Kasus Rizieq terlampau besar unsur politisnya dan sudah sejak awal menjadi “permainan” para penguasa, sehingga mau tak mau kepolisian juga dalam hal ini sama, mendapat tekanan dari penguasa agar Rizieq segera dipenjara. Berbeda denga kasus Novel, yang sejak sedari awal tercium aroma “kekurangsukaan” penguasa terhadap langkah-langkah Novel yang berani membongkar berbagai macam kasus korupsi yang mulai membuka cela dan borok mereka.

Novel, saya kira, adalah korban kebiadaban orang-orang yang “kuat” yang tidak mau dirinya terseret soal korupsi yang akan membuat seluruh kariernya berhenti. Maka, dengan teror, mereka berhasil “membungkam” Novel dan kepolisian pun dipaksa bertekuk lutut tak mampu menguak kasus ini.

Publik lebih banyak yang menuntut agar kasus Novel segera terkuak, bukan menuntut Habib Rizieq agar segera dipenjara. Ini dibuktikan dari sikap antusiasme masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK, mendesak mengusulkan pembentukan tim independen kepada presiden untuk membantu mengungkap dalang aksi teror dalam kasus Novel. 

Usulan tim independen koalisi ini juga jelas atas mandulnya Komnas HAM karena gagal membentuk tim independen gabungan pencari fakta untuk kasus Novel dan memutuskan hanya membentuk tim pemantauan yang akan memantau saja sudah sampai mana penyelesaian kasus ini berjalan. Saya kira, publik pasti dapat menilai apa sesugguhnya yang sedang “bermain” di balik sulitnya pengusutan kasus teror yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

Seakan sedang nemberikan keyakinan pada publik, di mana pihak kepolisian sedang memberikan kesan lebih “kuat” untuk kasus Habib Rizieq dengan menerbitkan red notice, memajang foto diri Rizieq yang dianggap buron hanya karena soal chat mesum yang menjeratnya. Rizieq bagi sebagian besar orang hanyalah “penjahat politik” sehingga kesan politisasi dalam berbagai kasus Rizieq kian mengental dan berhasil mengubah opini publik. Pun, dunia internasional, termasuk Arab Saudi yang ditengarai sebagai negara yang “menyembunyikan” Rizieq lebih memandang ia sebagai “buronan politik” yang pada akhirnya mereka enggan ikut campur persoalan politik negara lain.

Saya khawatir, kredibilitas kepolisian di negeri ini malah semakin dipertanyakan dan semakin menambah turun kepercayaan publik jika kasus Novel yang sedemikian besar “dikalahkan” oleh kasus Rizieq yang sepertinya mempunyai “kekuatan tersembunyi” sampai penyelesaiannya melibatkan dunia internasional. Lalu publik bertanya-tanya, kenapa kepolisian tidak meminta bantuan interpol saja jika memang tak sanggup mengungkap kasus Novel? Membandingkan kekuatan hukum soal kasus Rizieq dan Novel yang tidak berimbang seharusnya disadari oleh pihak kepolisian untuk tidak melulu memenuhi keinginan penguasa. Tetapi, bersikaplah bijak dan adil, bahwa ada sebagian besar masyarakat yang sedang cemas akibat perlakuan teror yang belum juga tertangkap siapa pelakunya.

Diakui maupun tidak, kasus Rizieq Shihab dan Novel Baswedan sepertinya sedang “adu kuat” mana yang pada akhirnya lebih dipilih kepolisian untuk diselesaikan, tentunya dengan berbagai pertimbangan politis dan juga ekonomis. Walaupun saat ini kasus Rizieq Shihab dianggap lebih penting karena desakan “politis” yang begitu besar dan tuntutan para penguasa terkesan lebih kuat, seharusnya tidak juga membiarkan kasus Novel dengan berbagai alasan klasik yang diajukan soal kenapa kasus Novel sulit diungkap. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline