Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Persekusi dan Watak Fanatisme

Diperbarui: 31 Mei 2017   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kejadian yang menimpa Indri Sorayya Zulkarnain dan Afi Nihaya karena ekspresi tulisannya di media sosial (medsos) yang sekadar mengungkapkan kebenaran dari perspektif yang berbeda, ternyata   mendapatkan ancaman dan tekanan serius dari beberapa orang yang mengaku pembela dan pemuja  pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. 

Bagi saya, pengungkapan pendapat pribadi terlebih menyodorkan alternatif kebenaran tidaklah harus dipandang sebagai “ancaman” bagi seseorang atau kelompok tertentu, tetapi justru semestinya bisa menjadi sebuah “penyadaran” atas pandangan terhadap sebuah realita yang juga belum pasti kebenarannya. Dimanapun sebuah kebenaran, ia tetaplah relatif, karena akan menyesuaikan dengan unsur subjektivitas yang dibawa dalam alam pikiran seseorang.

Kasus Indri dan Afi sepertinya malah menyadarkan banyak orang bahwa dalam alam realita pemikiran dan perbedaan pendapat, perlu adanya proses dialogis yang benar-benar terbuka, mengasumsikan kebenaran dari perspektifnya masing-masing, tanpa harus bersikap fanatik yang berlebihan dan menganggap bahwa kebenaran hanya ada, sesuai, dan diyakini oleh perspektifnya sendiri. Sikap fanatisme secara berlebihan, terlebih fanatisme agama atau lebih jauh kultus individu adalah jelas menjadi ancaman bagi proses tumbuhnya peradaban kemanusiaan dimana proses dialogis yang seharusnya dikedepankan, malah dibuang atas dasar fanatisme. Fanatisme dalam banyak hal adalah “kebutaan” dan “ketulian” yang mengkristal dalam hati seseorang sehingga  sangat sulit sekali diajak berdialog.

Sikap fanatisme lahir dari sebuah keraguan atas kebenaran yang datang dari pihak lain, sehingga pada tahap tertentu dia juga meragukan kebenaran yang diyakininya sendiri. Karena mata hati dan pikirannya sudah tertutup, maka yang terjadi adalah mempertahankan kebenaran yang diyakininya dengan cara menutup diri dari kebenaran-kebenaran yang datang dari luar. 

Hal ini jelas sebagaimana digambarkan al-Quran, bahwa hati mereka sedang sakit dan Tuhan akan terus menambah penyakit dalam hati mereka. “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta,” (QS.al-Baqarah: 10). Dulu, sikap fanatisme berlebihan ditunjukkan oleh kaum munafik Mekkah yang terus menerus meragukan kebenaran ditambah sifat munafik mereka sehingga Allah menambahkan penyakit kepada hati mereka.

Saya tidak memandang kasus persekusi atas Indri dan Afi mengarah pada isu fanatisme agama, walaupun kenyataannya seringkali kempok persekusi ini membawa-bawa simbolisasi agama dalam berbagai macam aksinya. Fanatisme yang lebih jelas pada kasus ini adalah fanatisme kelompok yang secara sosial memiliki pandangan bahwa hanya kelompok yang diikuti dirinyalah yang paling benar, dan memandang kelompok di luar dirinya adalah salah dan perlu diluruskan. 

Maka ketika ada sebuah “perlawanan” terhadap kelompok mereka terlebih kepada pimpinan mereka, maka reaksi kelompok fanatik ini spontanitas akan muncul, tanpa harus bergerak berdasarkan komando yang diberikan oleh sang pimpinan. Sikap fanatisme ini memang telah tertanam dalam masing-masing individu karena memang umumnya, sikap fanatik akan tumbuh dalam sebuah kelompok atau komunitas yang menyemai benih-benih fanatisme, baik secara agama, sosial maupun politik.

Dalam ajaran Islam, bersikap fanatik (ta’ashub atau ghuluw) terlebih fanatisme karena berlebihan dalam beragama jelas dilarang. Hal ini secara tegas disebutkan oleh al-Quran bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”, sehingga konsekuensi lebih jauhnya adalah tidak dibolehkan memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain untuk mengikuti kebenaran sesuai keinginannya. Bahkan dalam sebuah riwayat hadis yang berasal dari Muslim, dijelaskan Nabi SAW, “agama itu mudah, janganlah berlebih-lebihan dalam beragama, karena jika demikian agama yang akan menudukkanmu” (menjadi fanatik). Berlebihan dalam beragama juga berbahaya karena akan menganggap kebenaran miliknya sendiri dan kebenaran lainnya dianggap sebuah kekeliruan. Hal inilah yang kita lihat pada kasus Indri dan Afi yang fenomenal ketika mengungkapkan kebenaran sesuai perspektif yang diyakini oleh mereka.

Celakanya, ketika sikap fanatisme kelompok ini dibiarkan, yang seringkali terjadi justru cara-cara kekerasan yang dipakai untuk penyelesaian masalah, karena cara-cara dialogis dianggap sama saja dengan mempertanyakan kembali “kebenaran” yang mereka yakini dan ini jelas merupakan  ancaman bagi kelompok-kelompok fanatik. Bentuk kekerasan akibat fanatisme bisa dilihat pada kasus di Portland, AS, ketika dua orang dibunuh hanya gara-gara menghalau seorang fanatik yang membabi-buta mengeluarkan kata-kata “rasis” kepada salah seorang penumpang berjilbab. Ini jelas membuktikan, bahwa fanatisme berlebihan akan membuta-tulikan hati dan pikiran sehingga cara-cara kekerasan akan menjadi jalan yang dianggap sebagai “kebenaran” yang mereka yakini sendiri.

Sikap fanatisme apalagi berlebihan tidak hanya menjadi fenomena masalah sosial saja, tetapi justru menjadi masalah serius dalam beragama karena fanatisme mengabaikan sikap toleransi. Agama, dalam perspektif ajaran Islam adalah “al-hanifiyah” (lurus, konsistensi) dan “al-samhah” (toleransi, terbuka). Sikap fanatisme berdasarkan keyakinan keagamaan secara berlebihan akan berakibat terbentuknya ruang-ruang pembenaran yang “dipaksakan” atas nama agama. Sehingga kemudian   mencaci, menghina, mengintimidasi, memaksa, terlebih memersekusi pihak lain yang berseberangan pendapat dengan dirinya dianggap sebagai “pekerjaan agama” yang bernilai “kebenaran” bagi mereka. Maka tentunya, ketika fanatisme kelompok dan fanatisme agama ini berpadu, akan semakin tumbuh saja sikap-sikap intoleransi, kekacauan dan bahkan kekerasan yang pasti lahir sebagai reaksi atas kenyataan-kenyataan sosial yang semakin berkembang.

Saya beranggapan, sikap fanatisme, baik yang melekat secara individu maupun kelompok harus didekati melalaui penyadaran sosial-keagamaan secara intensif sehingga lambat-laun sikap fanatisme yang melekat dapat memudar. Dialog yang terus menerus harus selalu dikedepankan dalam membendung sikap fanatisme yang terlampau berlebihan, bukan dihadapi dengan cara-cara “gebuk” secara otoriter. Indonesia masih memiliki seperangkat hukum yang mampu dipergunakan untuk mengantisipasi kelompok-kelompok fanatik yang bersikap berlebihan dan merasa benar sendiri secara legal. Jika memang tak harus dibubarkan, cukup kelompok-kelompok fanatik seperti ini “dipenjarakan” ideologi fanatisme-nya melalui penyadaran sosial-kegamaan, baik berupa dialog yang dinamis atau memperluas wawasan keagamaan mereka melalui serangkaian diskusi dan kajian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline