Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Beringin yang "Tak Lagi Kokoh"

Diperbarui: 22 Mei 2017   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai politik (parpol) yang sempat jaya di masa Orde Baru bahkan pernah menjadi “single majority party” belakangan diterpa isu perpecahan antarelit internal partainya. Parpol dengan lambang pohon beringin ini semakin menunjukkan kerapuhan terutama jika melihat pada arogansi para elit-nya. Suara-suara “akar rumput” yang terus “menggoyang” elit parpol hanya dianggap angin lalu dan mereka tetap keukeuh menganggap ketua umumnya, Setya Novanto (Setnov) sebagai orang yang bisa membawa Golkar ke arah yang lebih baik. Entah apa jasa besar Setnov terhadap para elit puncak di parpol besutan Soeharto ini, sampai-sampai dugaan keterlibatan dirinya pada kasus korupsi E-KTP ditepis habis-habisan. Setnov tetap dipercaya sebagai pimpinan Golkar yang mampu membuat soliditas partai tetap terjaga, walaupun lambat laun partai “pohon beringin” ini nampaknya sudah mulai rapuh, tak lagi kokoh seperti dulu.

Politikus senior Partai Golkar, Luhut B Pandjaitan dalam Rapimnas Partai Golkar di Balikpapan (21/5) justru menganggap Setnov berhasil menaikkan presentase kemenangan Golar di Pilkada serentak 2017, yang angkanya mencapai 58 persen (Koran Tempo: 22 Mei). Hal ini diperkuat oleh elit Golkar lainnya, seperti Idrus Marham yang menepis berbagai anggapan soal isu negatif Golkar terhadap kepemimpinan Setnov, bahwa Golkar masih tetap solid dan tetap akan mendukung Setnov. Keinginan berbagai pihak internal partai untuk mengevaluasi kepemimpinan Setnov nampaknya akan kandas jika melihat mekanisme keputusan elitnya yang terkesan terlalu “otoriter”.

Meminjam istilah Mosca, mereka yang berada di orbit puncak Golkar adalah kelompok “Kelas Politik” yang memiliki keyakinan yang ekstrem mengenai kemungkinan-kemungkinan dan cara-cara untuk mempertahankan posisinya. Hampir tak ada bedanya, saya kira, dari regenerasi kepemimpinan yang ada, Golkar selalu memiliki kesamaan, para elit-nya sedang menjalankan sebuah mesin oligarki politik dimana kekuatan mayoritas yang mewujud dalam suara-suara akar rumput—termasuk pimpinan Golkar daerah—harus tunduk pada kenyataan kelas politik yang dijalankan minoritas. Bagi para elit partai di pusat, kepemimpinan Setnov dianggap sudah lebih stabil dibanding kepemimpinan sebelumnya, oleh karena itu keberadaan Setnov di Golkar jelas tak dapat diganggu gugat.

Diakui maupun tidak, kepemimpinan Setnov di Golkar memang tetap dipertahankan meski kenyataannya isu korupsi juga semakin kuat menghantam dirinya. Mencuatnya kasus “papa minta saham” ditambah oleh dugaan korupsi E-KTP yang menderanya tak membuat elit Golkar bergeming untuk melakukan evaluasi kepemimpinan atas Setnov. Desakan dari berbagai pengurus Golkar daerah nampaknya tak begitu kuat untuk menembus tembok besar oligari Partai Golkar. Bagi saya ini jelas berbahaya, jika desakan-desakan dari elit daerah untuk mengadakan evaluasi justru tak dianggap oleh elit pusat, karena akan berimbas pada menurunnya tingkat elektoral partai di saat kontestasi politik. Jika semakin lama dibiarkan, partai beringin ini hanya tinggal menunggu keruntuhannya, mengingat kekokohan “Beringin” jelas berasal dari “akar”nya bukan dari “pucuk”nya.

Hampir di semua realitas parpol, hukum “besi oligarki” ini memang berjalan, seakan-akan sedang mempertontonkan sebuah “penindasan yang seolah-olah menjadi sebuah keharusan”. Namun, fenomena politik di tubuh elit partai beringin ini lebih terlihat dimana dominasi elit pusat yang tetap “membela” Setnov dalam banyak hal, termasuk mempertahankan dan tidak perlu melakukan evaluasi terhadap kepemimpinan Setnov. Usulan elit daerah yang menginginkan adanya upaya musyawarah luar biasa, juga langsung ditepis secara politis, bahwa “Golkar bulat dukung kepemimpinan Setya”.

Asumsi saya, kondisi seperti ini justru sangat tidak sehat bagi keberlangsungan parpol, karena bagaimanapun, parpol terwujud dan besar karena dukungan massa rakyat, bukan dukungan elit. Meski kenyataannya sikap dasariyah manusia adalah ingin diperintah dan pada hakikatnya ditakdirkan untuk dibimbing, mereka bukanlah sekumpulan massa “bodoh” yang tidak tahu menahu soal politik kekuasaan. Globalisasi dan modernisasi yang semakin meluas justru semakin memudahkan masyarakat mengakses beragam informasi, termasuk soal politik. Masyarakat sudah lebih “melek politik” tidak seperti masa sebelum reformasi, ketika Golkar senantiasa mengedepankan sikap elitis-nya karena mendapat sokongan penuh dari negara. Pola seperti ini, nampaknya sudah tidak mungkin diberlakukan lagi mengingat kondisi masyarakat yang jauh lebih terbuka pendidikan politiknya.

Jangan sampai parpol seperti Golkar yang sedang memodernisasi diri malah seperti ungkapan adagium Italia, “sicambia il maestro di capella, ma la musica e sempre quella” (dirigennya boleh jadi berganti namun musiknya tetap sama). Saya kira penting untuk tetap memperkokoh soliditas partai dengan mengakomodir suara-suara akar rumput yang menopang keberadaan institusi parpol. Soliditas tidak hanya ditunjukkan oleh “konsensus tertutup” para elit pusat-nya saja, tanpa mempertimbangkan suara-suara arus bawah yang mulai “gerah” dengan kepemimpinan Setnov di Golkar yang terkesan arogan. Beringin yang sudah kian rapuh sudah seharusnya tidak terus digoyang, karena lambat laun beringin itu pasti akan tumbang.

Saya kira, kesempatan masih terbuka lebar untuk Golkar agar tetap melakukan soliditas partai tidak hanya bernuansa “elitis” namun mau membuka diri dan mengakomodir “arus bawah” para simpatisannya. Jangan sekadar menepis dengan anggapan-anggapan kosong soal “soliditas” yang hanya diklaim pihak elit, padahal sangat bertolak belakang dengan keumuman “arus bawah”. Tidak ada salahnya Golkar melakukan evaluasi terhadap pimpinan yang ada, demi mendengar kekuatan “arus bawah” yang mulai muncul di permukaan. Jika tetap keukeuh dengan sikap arogansi para elit pusatnya seperti sekarang, maka saya rasa, Golkar harus bersiap kehilangan lebih banyak elektabilitasnya ditengah euforia masyarakat yang semakin “melek” dunia politik. Ungkapan-ungkapan untuk meningkatkan elektoral ditengah terpaan isu korupsi pimpinan umumnya, jika tanpa dibenahi melalui evaluasi menyeluruh dan mengakomodir suara-suara elit daerah, bisa jadi hanya bertuah di tingkat elit tapi mandul pada akhirnya disaat kontestasi.     

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline