Drama persidangan kasus penistaan agama atas Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada akhirnya memutuskan majelis hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara, satu tahun lebih tinggi dari tuntutan sebelumnya yang diajukan jaksa. Proses persidangan Ahok yang sangat menyita waktu ini, bahkan sesekali diwarnai aksi demonstrasi oleh massa pro dan kontra, kini seharusnya selesai dan semua pihak dapat menerima dan menghormati apapun keputusan hakim. Namun apa yang terjadi? Sejauh ini saya rasa, masih terdapat beberapa pihak yang kurang legawa dalam menerima keputusan ini sehingga belakangan muncul persoalan-persoalan baru: tepatkah vonis hakim kepada Ahok? Benarkan akibat vonis yang dijatuhkan soal penistaan agama justru membuat hukum di Indonesia semakin mundur? mencederai nilai-nilai demokrasi? atau mengindahkan persoalan HAM dan kebebasan sipil dalam berpendapat dan berkeyakinan?
Persoalan justru semakin rumit ketika hal ini tidak saja menjadi pusat perhatian dalam negeri saja, tetapi dunia internasional-pun rasanya ikut angkat suara soal vonis yang diputuskan oleh majelis hakim kepada Ahok. Memang terkesan berlebihan, disaat kasus ini serasa “istimewa” ketika dilihat dari persepsi perundang-undangan tentang penistaan agama. Karena memang kasus-kasus sebelumnya yang juga pernah ada menyoal penistaan agama justru tidak sefenomenal kasus yang menjerat Ahok. Mungkin perbedaannya, jika kasus-kasus penistaan agama sebelumnya dilakukan oleh “orang-orang biasa” yang tidak terkait dengan nuansa politik apapun yang berbeda dengan kasus yang menimpa Ahok dimana unsur-unsur “kepentingan lain” banyak yang hadir didalamnya. Terlebih Ahok seakan dianggap sebagai bagian dari “minoritas” yang secara terbuka—bersama para pendukungnya—harus bisa “melawan” arus kuat kalangan “mayoritas”.
Persepsi “mayoritas-minoritas” yang saya maksud bukan berarti karena Ahok non-muslim atau etnis Tionghoa, tetapi dalam banyak hal, mayoritas berarti representasi dari budaya ketimuran yang belum terbiasa dengan kejadian-kejadian yang bersifat “revolusioner” yang berupaya meruntuhkan tembok-tembok budaya yang “disakralkan” baik oleh agama, adat maupun nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Publik tentu menyaksikan, bagaimana sepak-terjang Ahok yang dinilai kerap kali melawan arus kebudayaan dan adat ketimuran, walaupun disisi lain bahwa kinerja Ahok dalam banyak hal sangat baik dan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak. Adagium “yang penting kerja” jika kemudian melabrak dan memberangus nilai-nilai dan norma yang berkembang dalam mayoritas masyarakat, tentu akan mendapat reaksi yang juga keras dari mereka.
Ahok memang sangat fenomenal, tetapi disisi lain justru dia menjadi “tumbal” akibat dorongan yang sangat kuat dari para pendukungnya yang senantiasa “membenarkan” segala tindak-tanduk Ahok selama memimpin Jakarta. Persepsi “kebenaran sendiri” yang kemudian ditopang atas nama kebhinekaan, keberagaman dan toleransi bahkan dibungkus dengan bahasa “atas nama rakyat” tanpa mempedulikan wujud sebuah “mayoritas” kekuatan yang juga ditopang oleh nilai-nilai, adat ketimuran yang bersendikan agama dan keyakinan yang juga menyadari arti penting dari kebhinekaan dan keragaman bahkan toleransi justru adalah perlawanan yang sangat sia-sia. Perlawanan justru muncul ketika berbagai adagium soal kebhinekaan atau toleransi justru dipersepsikan secara sepihak, dimana mereka yang “mayoritas” justru dianggap sebagai kelompok yang kontra terhadap adagium yang ditawarkan.
Saya kira, bergulirnya reformasi 19 tahun yang lalu, juga menunjukkan bahwa bangsa ini belum siap untuk berevolusi secara total, karena reformasi sesungguhnya jelas menuju perubahan kondisi sosial-politik secara bertahap. Revolusi hanya akan memberangus tanpa sisa seluruh institusi sosial-politik yang telah terbangun, termasuk berubahnya secara total struktur pemerintahan yang ada yang tentunya akan berimbas sangat luas terhadap seluruh kehidupan sosial-politik yang telah ada. Oleh karenanya, reformasi merupakan perubahan gradual yang paling diterima dan mudah diwujudkan dalam kondisi masyarakat yang multikultural ini.
Reformasi di negeri ini jelas berdampak pada proses demokratisasi yang semakin baik, minimal terwujud pada prosesi politik 5 tahunan, seperti pemilu. Walaupun secara keseluruhan, proses demokrasi yang seharusnya berdampak pada pola pikir, keterbukaan atau kebebasan dalam berekspresi masyarakat masih terkendala oleh beragam adat dan budaya—termasuk keyakinan dan agama—yang masih kuat dipegang sebagai nilai-nilai luhur yang diakui masyarakat. Itulah kenapa bahwa vonis Ahok tidak bisa dilihat dari satu sisi—sebagaimana yang diwacanakan media-media asing—hanya pada soal demokrasi yang menilai soal kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama, namun vonis Ahok haruslah dipandang dari sisi lain, bahwa hal ini justru dapat memenuhi “keadilan” bagi sebagian besar masyarakat. Hakim dalam hal ini menjadi “wasit” yang harus menjadi “penengah” sehingga mampu memutuskan secara yakin tanpa intervensi, independen dan memenuhi unsur keadilan semua pihak.
Bagi saya, bak seorang wasit dalam sebuah pertandingan, keputusan hakim atas vonis dua tahun Ahok adalah keputusan terbaik, minimal atas keyakinan yang ada dalam hati mereka dan murni tanpa keterpaksaan dan intervensi dari pihak manapun. Ketika ada yang kemudian tidak sepakat atas keputusan ini itu adalah hal yang wajar, tertama melihat kepada substansi perundang-undangan yang sangat bias dalam memandang soal penistaan agama. Beberapa pasal dalam undang-undang ini dianggap sebagai “pintu masuk” bagi siapapun atau kelompok manapun untuk menjerat orang-orang yang sengaja atau tanpa sengaja menistakan agama. Pembicaraan atau usulan berbagai pihak untuk menghapuskan undang-undang soal penistaan agama ini di Indonesia seringkali menemui jalan buntu atau bahkan kandas ditangan palu hakim anggota MK. Ini artinya, bahwa kehidupan beragama masih sangat kuat di Indonesia dan sangat butuh toleransi yang tinggi antarpara pemeluknya, sehingga kebutuhan terhadap undang-undang ini terasa masih sangat diperlukan.
Demokrasi memerlukan penegakan hukum (law enforcement) yang keseluruhannya sudah mewujud dalam berbagai macam undang-undang yang telah disepakati bersama. Jika hukum tidak ditegakkan atau hukum hanya mampu membungkam “yang lemah” dan membebaskan “yang kuat” justru inilah kemandulan demokrasi. Demokrasi akan terpasung oleh lemahnya penegakkan hukum atau bahkan “membiarkan” para pelanggar hukum tanpa “tersentuh” karena kuatnya nuansa kepentingan. Memang, globalisasi terasa sering memaksa berbagai negara untuk menjalankan demokrasi sesuai standar yang disepakati dunia internasional. Sistem-sistem “lokal” sepertinya dipaksa oleh institusi-institusi internasional untuk menerapkan berbagai macam standar, baik bidang ekonomi, politik, HAM dan hukum yang disesuaikan dengan “kepentingan” internasional. Inilah kemudian yang membuat vonis Ahok yang dipandang “satu sisi” oleh dunia internasional sebagai sebuah “kemunduran” dalam berdemokrasi, karena telah menyalahi prosedur berdemokrasi sesuai dengan standar yang mereka terapkan.
Padahal, demokrasi pada tataran praksisnya selalu akan menyesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan setiap warga negaranya masing-masing yang mungkin saja dalam banyak hal memiliki corak dan perbedaan dalam konteks perjalanannya. Saya kira, bangsa ini tidak harus selalu “didikte” oleh bangsa lain soal demokrasi karena sesungguhnya demokrasi bukanlah milik salah satu pihak, tetapi demokrasi justru bisa mewujud dalam konteks kedewasaan berbangsa dan bernegara dimanapun. Bagi saya, vonis terhadap Ahok tidaklah mencederai demokrasi, karena penegakkan hukum tengah dijalankan dan dihormati, begitu pula efek atas vonis ini tidak akan berdampak pada pelanggaran HAM baik dalam bentuk kebebasan sipil dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk kebebasan mereka yang berbeda pendapat dalam keputusan vonis ini.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H