Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Khilafah: Negara Agama atau Sekuler?

Diperbarui: 8 Mei 2017   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan publik negeri ini diramaikan oleh adanya salah satu ormas yang kemudian menggagas sitem khilafah sebagai model kepemimpinan yang dianggap paling legitimated dalam sebuah sistem hukum Islam. Entah darimana asumsi soal khilafah ini kemudian menjadi model pemerintahan dalam sebuah sistem kenegaraan yang dianggap “islami”, padahal secara kultural maupun historis, model kehilafahan yang mengacu pada sejarah Islam pasca Nabi Muhammad, sesungguhnya benar-benar bernuansa sekular, karena tidak merujuk pada sumber-sumber otoritatif manapun dalam ajaran Islam. Jika Nabi Muhammad diyakini hanya sebatas pemimpin spiritual-keagamaan—tidak dalam kapasitas sebagai pemimpin politik—maka adanya kekhalifahan yang muncul pasca Nabi justru didasarkan atas pilihan bebas rakyat yang benar-benar mencerminkan kondisi keterpilihan pemimpin secara konsultatif dan tentu saja demokratis.

Model kekhalifahan dalam sejarahnya kemudian mendegenerasi dirinya tidak lagi berimplikasi pada suatu pemilihan secara konsultatif, dipilih secara demokratis oleh rakyat atau melalui mekanisme pengangkatan secara terbuka, namun lebih didasarkan kemudian pada ajang pewarisan atau bahkan perebutan kekuasaan secara “paksa” yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang antusias terhadap kekuasaan. Kekhalifahan pasca Khulafa al-Rasyidun (Khalifah yang empat) pada akhirnya hanyalah bentuk kekuasaan politik yang otoriter yang tindakan-tindakannya dimanfaatkan atas dasar keterpaksaan atau mungkin ditolelir sebatas demi stabilitas. Asumsi kekhilafahan seperti ini sesungguhnya memiliki pengaburan makna bahkan bisa jadi kontradiktif dengan konsep negara Islam yang sebenarnya, sebagaimana yang pernah dirintis Nabi Muhammad ketika di Madinah.

Asumsi saya, konsep kekhalifahan yang ramai dibicarakan bahkan benar-benar dianggap model islami oleh salah satu ormas di Indonesia justru tidak bertentangan—untuk tidak menyebut linear—dengan konsep kenegaraan sekular. Saya sepakat dengan tesis yang diajukan oleh Ali Abd Raziq yang menyatakan bahwa tidak ada otoritas Islam untuk konsep khilafah, baik dalam pengertian klasik maupun historis. Asumsi ini justru memiliki implikasi terhadap seluruh struktur bangunan politik Islam yang benar-benar sekular karena sesungguhnya otoritas kenabian setelah wafatnya Nabi Muhammad tidak bisa diteruskan kepada orang lain, walaupun muncul “pengganti” Nabi setelahnya—Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali—tetap merupakan bentuk kepemimpinan dan otoritas yang spesifik dan murni bersifat politik, bukan keagamaan.

Dengan demikian tidak salah rasanya, ketika Raziq kemudian berargumentasi soal kekhilafahan yang tidak mengakar secara keseluruhan terhadap sumber-sumber hukum Islam—baik al-Quran maupun sunnah—tetapi konsep “negara islam” pada kenyataannya dan sejak semula adalah sekular, bukan religius. Dari titik pijak ini justru kedengaran terasa aneh jika kemudian istilah kekhalifahan dihubung-hubungkan dengan teori-teori yang diadopsi—atau dipaksakan? dari bangunan struktur hukum Islam dengan mengandaikan model kekhilafahan awal pasca Nabi Muhammad dimana mekanisme pemilihannya adalah benar-benar murni politik dan tidak mengambil dari asumsi-asumsi keagamaan apapun. Keberadaan ormas yang terus menerus menyuarakan khilafah justru sedang kontradiksi dengan dirinya sendiri, menggaungkan sistem negara berdasarkan agama tetapi kenyataan secara sosial-politik yang harus dijalankan ternyata sekular.

Walaupun memang terdapat kesulitan-kesulitan tersendiri soal bangaimana kemudian proposisi mengenai kekhalifahan yang sekularistik ini pada akhirnya diimplementasikan menjadi sebuah bangunan utuh dalam struktur kepolitikan Islam. Keraguan ini jelas digambarkan oleh seorang pemikir muslim, Fazlur Rahman ketika menyatakan bahwa mereka kaum sekular sejati (dalam dunia muslim) sulit untuk membuktikan bahwa ketidakmungkinan Nabi Muhammad, ketika bertindak sebagai pemberi hukum atau pemimpin politik, bertindak ekstra relijius dan sekaligus ekstra sekular. Hampir setiap prilaku dan perkataan Nabi Muhammad selalu dilingkupi oleh “aura wahyu” yang bersifat Ketuhanan, bukan merupakan inisiatif murni yang keluar dari dalam dirinya sendiri. Hal inilah saya kira, yang kemudian dapat menyimpulkan—sebagaimana Raziq—bahwa masyarakat muslim modern benar-benar bebas mengorganisasi pemerintahan yang cocok dan sesuai dengan situasi sosial-politik mereka.

Banyaknya kontradiksi soal sistem kekhalifahan—dalam bingkai kenegaraan—dengan berbagai sumber yurisprudensi Islam—seperti mekanisme syura (musyawarah), hak asasi manusia atau kebebasan sipil—menjadikan sistem ini dipandang sebagai sebuah pseudo-khilafah yang justru belum dapat menemukan bentuknya secara ajeg dalam struktur kenegaraan Islam. Belum lagi banyaknya perbedaan pendapat diantara ulama soal bagaimana mekanisme pembentukan sebuah negara atau pemerintahan yang terstruktur dalam badan kepolitikan Islam. Hal inilah yang kemudian menjadikan kebimbangan salah satu ormas yang selalu menggaungkan khilafah ketika ditanyakan siapa yang pantas menyandang gelar khalifah dan mereka tentu saja tak mampu menjawabnya.

Asumsi saya, jika ada ormas tertentu yang terus bersikukuh ingin menerapkan sistem kekhalifahan di Indonesia, jelas mereka tentu adalah ormas anti-Pancasila, yang dalam beberapa hal, tidak saja  bertentangan secara diametral dengan ideologi negara Indonesia, tetapi juga kontadiktif dengan ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri. Sejak keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani pada 1926, kemunculan berbagai kelompok yang ingin kembali meneguhkan kekhalifahan dengan dukungan berbagai macam teori kepolitikan Islam sangat terkesan dipaksakan dan pada akhirnya tak mungkin terwujudkan atau utopis. Bagaimana tidak, konsepsi kekhilafahan secara historis yang ada dalam serangkaian kesejarahan umat muslim, tidaklah didasarkan secara tegas dengan mengambil model sejarah kekhalifahan awal. Kekhalifahan setelah itu hanyalah bentuk degenerasi yang tidak saja bersifat monarki-otoriter bahkan lebih banyak jatuh pada aspek perebutan kekuasaan diantara berbagai kekuatan politik yang ada.

Sistem kekhalifahan yang selama ini dibangun secara teoritis dan mewujud dalam dinamika pemikiran politik Islam, tidaklah secara utuh menggambarkan beragam hubungan-hubungan sosial-politik yang saling menguatkan. Keberadaan konsep khilafah justru seringkali keluar dari matarantai kesejarahan dan selalu dikondisikan dengan kenyataan masyarakat modern, sehingga konsepsi ini seringkali tidak cocok—untuk tidak mengatakan gagal dalam berbagai bentuk atau kondisi kemasyarakatan yang saat ini mewujud. Bahkan di negeri-negeri Timur Tengah-pun, konsep khilafah hanya sebatas angan-angan yang utopis dan tak pernah terwujud dalam bentuk yang baku dan dipakai sebagai badan kepolitikan dalam sistem kenegaraan Islam. Disinilah saya kira, penting untuk dapat melihat secara lebih mendalam, benarkah sistem khalifah yang selama ini digaungkan adalah bentuk dari kenyataan agama? saya justru cenderung sepakat dengan Ali Abd Raziq yang menyatakan bahwa khilafah sesungguhnya adalah sistem politik sekular, bukan bentuk pemerintahan yang didasarkan atas agama.

Wallahu a’lam bisshawab   




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline