Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Efek "Ketok Palu" Fahri Hamzah

Diperbarui: 4 Mei 2017   23:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kejadiannya mungkin hanya beberapa detik, “tok..tok..tok..” palu sidang diketok oleh pimpinan DPR RI, Fahri Hamzah, namun efek setelah itu menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Seketika beramai-ramai elemen masyarakat yang bernaung dibawah panji kelompok “anti korupsi”, para praktisi hukum, politisi dan berbagai afiliasi politik membuka suara mereka menolak digulirkannya hak angket DPR menuntut KPK membuka rekaman video pemeriksaan Miryam S Haryani yang terjerat kasus korupsi e-KTP ke hadapan publik. Kasus e-KTP memang ditengarai “menjerat” banyak politisi di Senayan dari berbagai fraksi partai politik, sehingga wajar, mega skandal e-KTP menjadi perhatian publik cukup besar sehingga bentuk segala macam intervensi yang akan menghalang-halangi proses hukum soal ini, seketika mendapatkan reaksi yang cukup keras.

Hak angket yang diinisiasi DPR RI soal kasus e-KTP ini bisa saja merupakan inisiatif murni para wakil rakyat untuk ingin lebih jernih membuka sebuah masalah, dimana dalam hal ini, KPK sebagai salah satu lembaga negara yang bermitra dengan DPR juga memiliki status kurang lebih sama, menganut asas transparansi publik, bertanggungjawab dan tidak memiliki kekebalan hukum. Sesuai dengan UU MD3 tahun 2014, terdapat hak-hak yang dimiliki oleh DPR baik itu untuk melakukan interpelasi (bertanya), hak angket (penyelidikan/investigasi) dan hak menyatakan pendapat. Dengan demikian, hak angket merupakan hak DPR untuk kemudian melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal-hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat.

Kasus e-KTP sejauh ini hanya menetapkan tersangka satu orang anggota DPR aktif, yaitu Miryam S Haryani yang berasal dari Partai Hanura. Walaupun terdapat nama-nama anggota DPR lain yang beredar di ranah publik, namun sampai hari ini belum ada kepastian secara hukum, sebagaimana KPK menjadikan Miryam sebagai tersangka. Pada tahap ini, sudah dipastikan bahwa para politisi di Senayan juga merasa “tercoreng” apalagi nama-nama politisi aktif sudah beredar dan diketahui oleh publik. Sebagai pihak yang merasa dilindungi oleh “hak imunitas” yang melekat pada setiap anggotanya, DPR jelas akan melakukan serangkaian “perlawanan” termasuk salah satunya adalah memanfaatkan hak angket yang sejauh ini jarang mereka pergunakan. Inisiatif hak angket yang digulirkan DPR, saya kira, juga merupakan upaya “menekan” KPK untuk secara cepat menetapkan tersangka lainnya agar mereka tidak terstigmatisasi “korup” oleh kenyataan publik.

Besarnya animo masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK jelas akan berdampak pada penolakan yang begitu besar ketika DPR justru mengusulkan hak angket dengan tujuan melakukan penyelidikan terhadap bagaimana KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka. Alih-alih sekedar menuntut membuka rekaman video atas penyidikan Miryam yang diduga dilakukan dengan “tekanan” malah KPK sendiri yang akan dilemahkan statusnya oleh DPR. Inilah sebenarnya bentuk reaksi keras dari masyarakat yang khawatir bahwa KPK akan kehilangan independensinya dalam mengusut kasus-kasus korupsi akibat intervensi yang terlalu kuat dari DPR. Jika hak angket ini benar-benar disetujui, maka jelas KPK hanya akan menjadi “pesakitan” akibat intervensi politik yang dilakukan para wakil rakyat yang akan masuk melalui pintu kasus e-KTP yang sedang disidik KPK ini.

Sebagai warga biasa, tentu saya tidak begitu memahami, apakah hak angket ini bisa berlaku untuk lembaga penegak hukum seperti KPK ataukah tidak. Karena sejauh yang saya tahu, hak angket DPR berlaku untuk menyelidiki kinerja penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) sebagai bagian dari fungsi pengawasan yang melekat pada DPR. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah lembaga penegak hukum seperti KPK atau Pengadilan misalnya, dapat diinvestigasi DPR melalui hak angket ketika terjadi penyelewengan atau mala praktik? Saya kira, ini mungkin wilayah para pakar hukum untuk lebih jelas membahas duduk persoalannya, walaupun terkadang soal-soal ini bisa saja terjadi perbedaan tafsir antarahli hukum dalam membaca sebuah undang-undang.

Jika kemudian memang keberadaan hak angket DPR disinyalir memiliki cacat hukum sebagaimana diungkap oleh para ahli hukum, maka agak aneh jika kemudian DPR malah menyetujui hak angket ini dan masing-masing fraksi disebut akan mengutus utusannya untuk menjadi anggota pansus hak angket DPR. Saya kira, disini masing-masing pihak memiliki penafsiran sendiri-sendiri soal kedudukan hukum hak angket yang sedang digulirkan DPR, sehingga pada akhirnya sulit untuk menyatakan pihak mana sesungguhnya yang mendasarkan cacat hukum terhadap hak angket DPR. Lagi-lagi kita pada akhirnya terjebak pada diktum undang-undang yang secara keseluruhan “multi-tafsir” yang setiap orang bisa berbeda dalam menafsirkan undang-undang, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Pro dan kontra soal penafsiran hukum menjadi hal biasa di negeri ini yang pada akhirnya, “palu” hakim-lah yang pada akhirnya paling bertuah untuk menyelesaikannya.

Sulit sekali rasanya ketika kita seharusnya berada di pihak yang mana, di satu sisi anggota DPR adalah wakil rakyat yang secara tidak langsung mereka adalah “wajah kita” sendiri, karena mereka sesungguhnya ada dan mewujud adalah hasil dari pilihan kita sendiri, bukan pilihan pemerintah apalagi hasil “kocok arisan” yang dilakukan para elit. Disisi lain, publik juga melawan dengan dalih bahwa para wakil rakyat kita justru sudah tidak lagi sejalan dengan mereka, padahal mekanisme ketaksetujuan kita seharusnya dapat dibuktikan dengan tidak lagi memilih mereka di waktu-waktu yang akan datang. Kenyataannya, mereka yang duduk sebagai wakil kita adalah wajah-wajah lama yang dipilih kembali oleh kita di saat pemilu. Kita ini seakan berada pada wilayah paradoks: memilih mereka dengan keyakinan, tetapi sekaligus menolak mereka juga dengan keyakinan. Jika ada slogan: “KPK adalah kita”, maka seharusnya ini diberlakukan sama dan bahkan lebih tepat, bahwa “DPR adalah kita dan untuk kita”.

Saya kira, kebanyakan dari kita saat ini sedang mudah mengambil kesimpulan sehingga seringkali melompat terlalu jauh dalam menyimpulkan berbagai macam hal, termasuk ketika para wakil rakyat berinisiatif menggulirkan hak angket. Publik justru terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa ada yang salah dari DPR atau ada inisiatif tersembunyi yang sedang dilakukan DPR, yaitu membuat pelemahan terhadap KPK dan mungkin lebih jauh membuat pelemahan terhadap negara. Terminologi “pelemahan” saya kira, menjadi kesimpulan akhir yang tersimpan dalam memori kita, sehingga dengan terburu-buru kemudian beraksi atas apapun yang sudah terlanjur distigmatisasi menjadi sebuah “pelemahan”. Apakah tidak ada cara lain untuk duduk bersama-sama menyelesaikan persoalan hak angket yang semakin gaduh ini? Saya kira, selalu ada jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah, sehingga persoalan ini tidak semakin “liar” ditengah publik yang justru menimbulkan masalah-masalah baru lainnya yang semakin sulit kita kontrol. Saya mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi dan saya juga menghormati wakil rakyat yang sudah saya pilih dalam setiap rotasi politik lima tahunan secara demokratis di negeri ini!

Wallahu a’lam bisshawab   




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline