Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Membaca Arah Politik Partai Keadilan Sejahtera

Diperbarui: 3 Mei 2017   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai politik (parpol) yang mendasarkan gagasan politiknya melalui dakwah yang mirip-mirip dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir saat ini serasa sedang berada di atas angin. Kemenangannya atas Pilkada Jakarta dengan berkoalisi dengan Partai Gerindra ternyata menjadi gairah tersendiri bagi partai yang di jajaran elit-nya diisi oleh intelektual lulusan Timur Tengah, untuk memantapkan langkah politiknya mendulang kemenangan kembali di Pilkada serentak 2018 mendatang. Setelah Jawa Barat sukses dikuasai oleh kader besutan PKS—Ahmad Heryawan dan Ridwan Kamil di Bandung—ditambah oleh kemenangan koalisi PKS-Gerindra di Pilkada Jakarta, parpol berlambang “bulan sabit hitam” ini semakin yakin akan mendapat banyak dukungan dari masyarakat dalam setiap perhelatan kontestasi politik.

Paling tidak, kemenangannya atas Pilkada Jakarta yang dinilai “habis-habisan” membuka peluang terbuka bagi PKS untuk kembali mengusung kader-kader terbaiknya agar dapat mengisi posisi puncak pada level pemerintahan. Koalisinya dengan beragam kekuatan politik nasionalis, justru memperlihatkan arah politik PKS yang semakin rasional dibanding sebelumnya, dimana para elit puncaknya justru semakin “membuka diri” dan mampu meleburkan ideologi politiknya tanpa harus memandang secara linier terhadap kesamaan ideologi politik diantara mereka. Jika dulu PKS selalu menimbang koalisi berdasarkan kesamaan ideologi politik, maka ditengah arus keterbukaan informasi seperti saat ini, ideologi politik justru harus melebur jika ingin partai ini masih tetap mendapat dukungan masyarakat.  

Asumsi saya, titik tolak dari kemenangan Pilkada Jakarta 2017, PKS memperlihatkan antusiasme yang cukup tinggi untuk meraih kemenangan di kontestasi politik berikutnya dengan membuka seluas-luasnya akses koalisi dengan kekuatan politik manapun. Hal ini secara tidak langsung ditunjukkannya pada saat Milad ke 19 PKS di Jakarta, dimana jajaran elit parpol yang berhaluan nasionalis memperlihatkan kemesraan mereka dan bisa jadi ini merupakan “dukungan” secara terbuka untuk memantapkan langkah koalisi selanjutnya diantara mereka. Partai Gerindra, Partai Perindo dan Partai Idaman bisa saja menjadi model “koalisi abadi” bersama PKS, meleburkan ideologi politik masing-masing demi kepentingan bersama, meniti tangga puncak kekuasaan politik.

Memang, PKS sesungguhnya tak bisa hilang dari bayang-bayang politik Islam dimana hampir seluruh kader dan pendukungnya kebanyakan berasal dari berbagai pergerakan dakwah Islam. Kader-kader PKS cukup militan di level grass root, karena mereka merupakan representasi dari beragam lembaga dakwah kampus, organisasi pelajar muslim bahkan disokong oleh para pengusaha muslim meskipun mereka hanya simpatisan. Besarnya PKS, menurut saya, tak lepas dari banyaknya simpatisan yang tidak terafiliasi secara langsung dengan partai yang notabene berasal dari barisan “kelas menengah” masyarakat, baik mahasiswa, aktivis sosial atau bahkan pengusaha. Meskipun partai ini sempat terpuruk akibat korupsi “daging sapi” yang menjerat elit-nya, namun PKS tetap dipandang sebagai parpol “bersih” dan diperhitungkan oleh masyarakat. Paling tidak, ketokohan Ridwan Kamil dan Ahmad Heryawan menjadi bukti bahwa PKS sebagai parpol pengusung mereka masih mendapatkan tempat yang cukup penting di hati masyarakat.

Dalam banyak hal, walaupun sisi kesejarahan PKS tak bisa terlepas dari bayang-bayang politik Islam, namun sebagai parpol terbuka, PKS mampu meramu nilai-nilai ajaran Islam sebagai bagian dari moralitas politik partai. Islam tidak dijadikan sebagai sebuah gerakan “politisasi-agama” yang secara formal ketika memasuki wilayah sosial-politik justru akan terjerembab menjadi gerakan fundamentalis yang radikal dan akan menjadi sebuah “ancaman” bagi negara. Melihat gerakan para simpatisan mudanya yang militan, saya jadi berfikir, justru disinilah semangat Islamisme berpadu dengan modernisme politik, dimana “politik” bagi mereka bukanlah sesuatu hal yang harus dijauhi, tetapi harus didekati dan diberikan “nafas agama” agar tetap memiliki nilai-nilai moralitasnya.

Hal ini pula yang kemudian terungkap dari pidato politik Sohibul Iman, pada saat digelarnya acara Milad ke -19 PKS di Hotel Grand Syahid, Jakarta (30/4), Sohibul menyatakan bahwa politik adalah bagian dari Islam, sehingga Islam tidak dipandang hanya sebatas ritual keagamaan yang terpojok di dalam masjid-masjid, hadir dalam ritual pernikahan atau pemakaman semata. Ungkapan ini-pun secara tidak langsung meng-counter gerakan Islam yang serba formalistik, dimana Islam “dipaksa” ditempatkan diatas kepentingan negara-bangsa, sehingga formulasi keagamaan Islam akan tampak kaku dan “absurd” kehilangan nilai-nilai agungnya yang substantif karena Islam hanya dipandang sebagai bentuk “syariat” yang bernuansa monolitik. Menempatkan politik menjadi bagian dari Islam, berarti mampu meneladani nilai-nilai Islam secara substantif tanpa harus mempertentangkannya dengan kekuasaan politik atau bahkan berlawanan dengan ideologi negara.

Militansi gerakan politik PKS yang tercermin dari para kader dan simpatisannya, memang terlihat banyak terinspirasi dari gerakan Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Hal ini bisa terlihat dari berbagai gerakan dakwah kampus yang mempunyai jaringan di seluruh Indonesia, mereka saling berkomunikasi dan bertukar informasi perihal perkembangan politik kekinian. Perbedaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, bahwa mereka tidak berideologi “revolusioner” dalam mengubah tatanan masyarakat menjadi harus “bersyariat”, tetapi mereka mampu membesarkan diri melalui organisasi-organisasi yang terikat dalam jaringan keorganisasian antarkampus. Tidak berlebihan rasanya ketika dikatakan bahwa PKS justru banyak meniru gerakan-gerakan “politik Islam” di Timur Tengah, tetapi kemudian mereformasikan dan mereformulasikan secara sendiri bagaimana nilai-nilai moralitas keislaman dapat menjadi pengaruh dalam kaitannya dengan politik yang disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang sudah terbangun dalam masyarakat Indonesia.

Dari sinilah kemudian semakin jelas, soal bagaimana posisi politik PKS ditengah mengentalnya isu-isu agama yang menyeruak dan dipromosikan secara gamblang oleh kelompok-kelompok Islamis lainnya yang tampak lebih “radikal”. PKS, saya kira, jelas tidak berada pada barisan atau pendukung kelompok Islam “garis keras” yang senantiasa berlawanan dengan ideologi negara. Rasionalisasi politiknya dapat diukur melalui aliansinya dengan berbagai kelompok atau afiliasi politik tanpa harus memiliki kesamaan ideologis, tetapi bagaimana upaya pencapaian kekuasaan melalui deal-deal politik yang dibangun atas dasar kesamaan visi dan misi masing-masing kekuatan politik. Lagi pula, prinsip sektarianisme politik apalagi berkutat secara kaku pada persoalan ideologi, tidak akan mampu membuat partai ini tetap eksis di dunia politik. Arah politik PKS jelas mudah terbaca, ia akan memodernisasi dirinya menjadi sebuah parpol yang rasional, meninggalkan stigma politik yang sektarian yang selama ini dilekatkan kepadanya dan yang lebih penting parpol ini akan lebih mudah “melebur” ideologi politiknya demi kekuasaan politik yang bermartabat.

Wallahu a’lam bisshawab   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline