Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Menarasikan Isra Mi'raj dan Peningkatan Kualitas Kemanusiaan

Diperbarui: 25 April 2017   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin tidak banyak riwayat yang dianggap sahih mengenai bagaimana peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, dimana hampir keseluruhan cerita-cerita mengenai peristiwa itu dianggap banyak hal yang tidak masuk akal. Adalah Ibnu Jarir at-Thabari (w.932M) yang menyusun tafsirnya berdasarkan peristiwa historis yang banyak mengambil dari cerita-cerita masa lalu yang banyak sekali dikritik para ulama hadis belakangan, dimana cerita-cerita yang ditampilkan seringkali merujuk pada israiliyat (cerita bohong yang dibuat-buat oleh bani Israil) sehingga diragukan kebenarannya. Layaknya sebuah peristiwa spiritual dalam sebuah fenomena keagamaan yang tidak banyak diketahui banyak orang, Isra Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad lebih didasarkan pada muatan-muatan eskatologis yang menuntut keimanan daripada sekedar upaya pendekatan nalar.

Peristiwa Isra Mi’raj yang diabadikan secara khusus dalam kitab suci al-Quran disebut oleh para ulama terjadi pada tanggal 27 bulan Rajab beberapa waktu sebelum Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan terjadinya peristiwa spiritual Nabi ini, ada yang menyebut antara tahun 620-621 M meskipun banyak diantara sejarawan muslim yang juga menepisnya, seperti Syekh al-Mubarakfury misalnya. Ketika peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad dihubungkan dengan masa berkabung Nabi Muhammad, setelah ditinggalkan para “pelindung”nya, termasuk Khadijah istrinya dan pamannya Abu Thalib, maka peristiwa Isra Mi’raj tidak terjadi di bulan Rajab, tetapi pada bulan Ramadhan, mengingat Khadijah wafat di bulan itu, 10 tahun setelah masa kenabian Muhammad di Mekkah.

Terlepas dari soal kapan waktu tepatnya peristiwa Isra Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad, terdapat banyak keterkaitan histroris antara peristiwa-peristiwa nabi-nabi sebelum Muhammad dalam memandang realitas sosial yang ada yang dihubungkan dengan kondisi puncak spiritualitas seorang nabi. Tidak hanya Nabi Muhammad yang mengalami peristiwa spiritualitas seperti ini, hampir seluruh nabi-nabi yang disebut dalam sejarah juga mengalami hal yang sama. Berdasarkan sumber-sumber historis yang ada, terdapat peristiwa spiritual yang merujuk pada pandangan  eskatologis sekaligus memberi makna pada perjalanan hidup manusia, seperti peristiwa penyembelihan oleh Nabi Ibrahim atas Nabi Ismail atau peristiwa dialog Tuhan dengan Nabi Musa di Bukit Tursina. Puncak spiritualitas para nabi selalu diceritakan dengan adanya pengalaman “luar biasa” mereka yang sama sekali sulit diterima nalar, hanya keimanan dan keyakinan yang mampu menyerap dan meneladani berbagai hikmah dibalik peristiwa tersebut.

Sebelum peristiwa Isra Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad, terdapat serangkaian peristiwa yang seakan-akan menggambarkan Nabi luput dari perhatian Tuhan. Wafatnya para pelindung utama Nabi SAW, seperti Khadijah dan Abu Thalib dan sekian lamanya Nabi tidak mendapatkan pertanda apapun atau “teguran” dari Tuhan terhadap upaya ajakannya untuk membenarkan ajaran-ajaran Islam yang dibawanya, membuat Nabi sangat kecewa dan hampir putus asa dalam menghadapi sekian banyak problematika sosial. Penolakan sebagian besar masyarakat Arab atas kenabian Muhammad jelas dinarasikan oleh al-Quran dalam surat al-An’am ayat 6: Dan mereka berkata:Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?" dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun)”.Tuntutan masyarakat Arab yang begitu besar atas bukti kenabian Muhammad kemudian dijawab Tuhan melalui peristiwa Isra Mi’raj yang semakin menguatkan bahwa dirinya benar-benar sebagai utusan Tuhan.

Banyak hal yang menarik dalam peristiwa spiritual yang dialami Nabi Muhammad ini dari sisi kemanusiaan, terutama pada hal proses perjalanan kehidupan manusia yang tidak seluruhnya dimaknai secara rasional, tetapi seringkali secara sadar ataupun tidak terdapat peristiwa pengalaman “spiritual” yang sulit diterima oleh nalar. Isra Mi’raj Nabi Muhammad justru menyadarkan dan menggugah ruang spiritualitas manusia agar lebih peka terhadap pelbagai fenomena sosial yang ada, memaknainya secara rasional dengan mengandalkan realitas nalar dan secara bersamaan diperkuat oleh suasana spiritual sehingga mendukung pembenaran atas entitas nalar kemanusiaan. “Isra” yang berarti “perjalanan” yang dilakukan Nabi Muhammad dari suatu tempat ke tempat yang lain justru mengandung makna dinamisasi kehidupan yang seharusnya tidak  stagnan. “Perjalanan” merupakan istilah sarat makna ketika dihubungkan dengan kondisi seseorang dalam realitas kemanusiaan yang harus siap menerima segala perubahan.

Istilah “Mi’raj” yang berasal dari kata bahasa Arab “’araja” berarti “naik” atau “menaiki” yang ketika dibendakan menjadi “mi’raj” memiliki konotasi “menaiki anak tangga” sehingga jika diperluas bahwa makna perjalanan hidup manusia sesungguhnya adalah proses “menaiki” dan “meniti” dari “tingkat bawah” sampai kepada “tingkat atas”. Anak tangga yang dianalogikan sebagai pijakan naik pada akhirnya akan mengantarkan perjalanan manusia pada puncaknya, yaitu bertemu dengan Sang Pencipta dirinya. Proses perjalanan manusia yang dilalui secara step by step adalah ilustrasi yang dapat kita teladani dari sebuah perjalanan kehidupan Nabi Muhammad yang diambil dari peristiwa Isra Mi’raj yang diperoleh dirinya. Walaupun peristiwa tersebut sangat susah untuk diterima nalar, namun memiliki seperangkat “tanda-tanda” yang mudah kita rasionalisasikan. Terlebih ini adalah “momen spiritual” pribadi yang sangat khas hanya dapat dirasakan dan dipahami oleh seseorang yang ditunjuk menjadi utusan Tuhan, sehingga wilayah iman-lah yang dapat menerimanya dan bukan nalar yang mempunyai banyak keterbatasan untuk mewacanakannya.

Peristiwa Isra Mi’raj yang berhasil dinarasikan kitab suci al-Quran ataupun berdasarkan periwayatan yang tertulis dalam hadis-hadis Nabi sesungguhnya tidak harus dipahami sebagai sesuatu hal yang sulit dicerna nalar, dimana perjalanan Nabi begitu “cepat” hanya dalam waktu kurang dari satu malam mengunjungi tempat yang jauh dan bahkan “naik” ke tempat “yang tinggi” justru dibuktikan oleh kesaksian Nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Kalaupun ada yang menganggap bahwa ini adalah sebuah peristiwa “ru’yah al-shodiqoh” (mimpi yang benar) akan sama halnya ketika merujuk pada peristiwa yang sama ketika Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih Nabi Ismail dalam mimpinya dan menjadi sebuah kenyataan. Hal yang membuktikan kesaksian Nabi Muhammad seutuhnya adalah disaat membeberkan jawaban atas pertanyaan sahabat dekatnya, Abu Bakar mengenai kondisi Masjid al-Aqsha di Palestina yang disebut dikunjungi Nabi Muhammad. Narasi yang tepat tentang masjid di Palestina itu diyakini Abu Bakar sebagai sebuah kebenaran, sehingga gelar “as-Shiddiq” yang melekat kepada Abu Bakar adalah karena “kebenaran” atas kesaksian Nabi.

Tentunya banyak pelajaran diambil dari peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad yang juga diabadikan dalam sejarah umat muslim yang diagungkan dan senantiasa diperingati. Selain memaknai perjalanan kehidupan manusia agar mencapai derajat yang lebih tinggi secara keduaniaan, juga tak luput untuk mempertegas nilai-nilai spiritual yang justru semakin “membumikan” makna dari perjalanan manusia di dunia yang sesungguhnya. Kehidupan manusia sesungguhnya adalah sebuah “perjalanan” yang dinamis, kreatif yang terus mengikuti ritme perubahan. Untuk dapat mencapai derajat yang lebih tinggi, manusia tidak pula mengabaikan nilai-nilai spiritualitas yang ada dalam dirinya, sehingga ia tidak jatuh dalam kesombongan dan kepongahan yang justru akan menghinakan manusia itu sendiri. “Mi’raj” bisa diartikan “doa” yang teraplikasikan dalam ritual sholat sebagai hasil dari Isra Mi’raj Nabi. Disinilah sisi kesempurnaan hidup manusia, berpijak pada nilai-nilai moral-spiritual yang “dibumikan” melalui langkah demi langkah kehidupan menuju ke arah yang lebih baik.

Wallahu a’lam bisshawab  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline