Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Istighotsah dan Pesan Politik NU

Diperbarui: 10 April 2017   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah “istighotsah” serasa sudah tak asing lagi bagi kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Ia bisa merupakan bagian dari kegiatan yang bersifat massif, mengumpulkan banyak orang dalam satu tempat tertentu, terkoordinir tetapi tanpa paksaan. Memaknai “istighotsah” yang seringkali digelar kalangan nahdliyin sangat terkait dengan relevansi sejarah NU itu sendiri, dimana kegiatan ini selalu digelar dengan alasan ada sebuah peristiwa yang “berbahaya” dan dianggap akan mengancam keutuhan bangsa dan negara. Praktik Istighotsah dalam sejarah NU memang sudah seringkali digelar sejak masa-masa kemerdekaan dengan tujuan kurang lebih sama, yaitu berusaha “mengetuk pintu langit” melalu serangkaian doa dan dzikir yang dilaksanakan secara bersama-sama.

Praktik “istighatsah” memang sangat populer dalam masyarakat muslim Indonesia, sehingga ia tidak hanya menjadi milik kalangan NU semata, tetapi sudah menjadi semacam istilah umum yang melibatkan banyak orang dalam melakukan doa atau dzikir secara bersama-sama. Untuk sekedar mengingat saja, kata “istighatsah” terambil dari akar kata bahasa Arab, “ghaatsa” yang artinya “menolong” atau “membantu”. Dalam makna derivatifnya, kata “ghauts” bisa bermakna “dalam keadaan bahaya (warning)”. Kata “istighotsah” dalam terminologi bahasa Arab termasuk dalam fi’il tsulatsi mazid atau kata kerja yang berubah makna karena ada tambahan huruf, sehingga maknanya menjadi “memohon pertolongan atau bantuan” karena dalam keadaan bahaya. Satu pengertian makna dengan kata “istighfar” yang berarti “memohon ampun”, maka “istighotsah” berati “memohon pertolongan” kepada Allah SWT.

Terlepas dari beragam kontroversi mengenai praktik istighatsah ini dalam kajian keislaman, kalangan Nahdliyyin tetap meyakini bahwa praktik ini menjadi satu-satunya cara untuk menyampaikan pesan-pesannya terkait warning yang ditujukan kepada penguasa dan kepada orang-orang atau kelompok yang bersebarangan dengan NU melalui show of force atau unjuk kekuatan massa. Disisi lain, praktik istighatsah tentu berharap dan sekaligus “mendesak” Tuhan agar menurunkan kekuasaan-Nya memperbaiki kondisi bumi dan isinya yang mulai rapuh dihantam kesombongan dan kecongkakan manusia yang semakin banyak merusak segala tatanan keseimbangan alam termasuk manusianya. Ini sesuai dengan ungkapan salah satu Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin yang hadir dalam kegiatan Istighatsah Kubro NU di Sidoarjo (9/4) bahwa tujuan istighatsah adalah menjaga umat, bangsa dan negara dari berbagai malapetaka.

Saya kira, menarik untuk diperhatikan, bahwa kegiatan istghotsah yang dijalankan NU sejauh ini, selalu berkonsentrasi di suatu tempat, seperti lapangan atau masjid yang secara tidak langsung merupakan counter terhadap kelompok lain yang cenderung meluapkan aspirasi “keagamaan” maupun politiknya di jalan-jalan melalui serangkaian aksi demonstrasi yang menuntut berbagai macam hal yang ditujukan kepada penguasa. Padahal, “pesan politik” yang disampaikan relatif sama, bahwa mereka menginginkan perubahan dan perbaikan terkait kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang dinilai mulai terganggu. Uniknya, kegiatan istighatsah yang digelar oleh kalangan NU ini selalu melibatkan beragam unsur pemerintahan yang hadir, baik itu kalangan pejabat negara, militer, kepolisian dan terkadang hadir pula para tokoh masyarakat lintas agama.

Praktik istighatsah yang umumnya diwarnai oleh lantunan beragam dzikir, shalawat dan doa, semata-mata tidaklah menyangkut sekedar urusan keagamaan tetapi juga mengandung makna politik yang lebih jelas. Merujuk kepada sejarah tradisi Islam awal, bahwa untuk memberikan semangat dan kesadaran kepada umat muslim, Nabi SAW bersama-sama melantunkan syair-syair yang menggugah semangat keumatan tatkala akan terjadi peperangan Khandaq di Madinah. Untaian-untaian syair dan doa dapat ditelusuri dalam antologi sejarah Islam yang disusun oleh Ibnu Hisyam (w.834 M) seorang tabi’in yang menulis sejarah kenabian Muhammad SAW.

Sejauh ini, jika istighatsah hanya dimaknai sebatas praktik ritual keagamaan yang dibangun oleh tradisi NU tanpa disertai pemaknaan kuasi-politik didalamnya sungguh sangat naif. NU justru seakan menunjukkan posisi dirinya sebagai kekuatan besar masyarakat muslim di Indonesia yang selalu mengedepankan cara-cara soft power dalam mengkritik maupun mendesak para penguasa untuk selalu mengingatkan mereka bahwa mereka tidak memiliki “kekuatan” apa-apa tanpa adanya kekuatan rakyat (people power) yang mendukung kekuasaan mereka. 

Force of power yang ditunjukkan oleh NU ketika istighatsah justru memiliki dua makna sekaligus: kedalam, ia menjadi penyemangat dan penuntun umat agar selalu diingatkan akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Besar, sehingga bentuk doa bersama yang dipanjatkan oleh ribuan bahkan jutaan orang diyakini mampu “memaksa” takdir Tuhan dan keluar, justru memiliki nuansa politis, NU mempertontonkan “kekuatannya” yang besar kepada mereka yang berbeda pandangan atau posisi, sekaligus penegasan akan eksitensi NU sebagai kekuatan politik yang tak bisa disepelekan.

Bahkan dalam pandangan saya, nuansa politis terkesan lebih kental dalam perhelatan semacam istighotsah kubro dibanding nuansa keagamaannya. Bagaimana tidak, doa atau dzikir yang umumnya akan lebih khusyuk dan fokus jika dilakukan dalam suasana keheningan dan menyendiri, justru memiliki nuansa lain ketika dijalankan secara bersama-sama dan dihadiri oleh banyak orang. Kesan politis justru akan muncul, terlebih bahwa perhelatan istighatsah cenderung diasosiasikan kepada NU yang merupakan representasi kalangan muslim tradisionalis yang terikat secara kultur dan sekaligus sebagai perwakilan “suara” akar rumput. Jumlah anggota NU yang menyebar di seluruh Nusantara yang jumlahnya lebih dari 60 juta orang justru menjadi alasan untuk menegaskan NU dalam ranah sosial-politik.

Bagi saya, NU nampaknya senantiasa hadir sebagai sebuah “kekuatan penyeimbang” ditengah menguatnya isu fomalisme agama yang melahirkan banyak gerakan politik yang mengatasnamakan agama atau upaya “politisasi agama” yang ditunjukkan oleh mereka yang berada dibawah panji Islam “garis keras” (hard liner). Perhelatan istighatsah yang sedemikian banyak dihadiri oleh umat muslim yang digagas NU melalui komoditas soft power paling tidak menunjukkan ke arah itu, bahwa NU sebagai sebuah kekuatan sosial-politik mampu menandingi dan bahkan “lebih besar” dibanding sekedar gerakan “politisasi agama” yang belakangan kian menguat. 

Upaya NU yang terus menerus menyuarakan kemajemukan, keberagaman dalam bingkai besar NKRI justru semakin meneguhkan wajah “Islam Nusantara” yang saat ini tengah digaungkannya. Berpolitik, bagi NU tidak harus dengan mengedepankan simbolisasi keagamaan yang dipaksakan secara formal dalam aksi-aksi politik, tetapi dengan menunjukkan kekuatan doa melalui istighotsah, NU seakan ingin menunjukkan cara-cara berpolitik yang bermartabat, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman tanpa harus secara “formal” membawa simbol agama dalam menegur para penguasa.

Wallahu a’lam bisshawab      

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline