Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Ketimpangan Sosial dan Kekafiran

Diperbarui: 1 Maret 2017   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepintas kedua istilah yang saya jadikan judul pada tulisan ini nampak sama sekali tidak berhubungan, dimana yang satu lebih berkonotasi ekonomi dan lainnya memiliki konotasi agama. Namun demikian, 15 abad yang lalu, Nabi Muhammad saw pernah mengungkapkan ternyata ada keterkaitan antara keduanya—ketimpangan dan kekafiran—merujuk kepada pernyataannya bahwa, “kaada al-faqru an yakuuna kufran” (hampir saja kefakiran/ketimpangan sosial akan membawa kepada kekafiran). 

Tentu saja bahwa terminologi “kafir” yang dimaksud adalah dimana ketimpangan sosial akan membentuk individu-individu yang masuk dalam kategori “fakir” akan menghambakan dirinya kepada hal-hal yang bersifat materi dan kecenderungan kepada siapa yang memberikan keuntungan ekonomi bagi dirinya. Kefakiran atau ketimpangan sosial pada akhirnya akan menutup  seluruh jalur keyakinan dirinya kepada Sang Maha Kaya tergantikan oleh ketergantungannya kepada keyakinan yang serba materialistik, bernilai ekonomis bagi dirinya, walaupun hanya sesaat.

Disinilah barangkali bahwa sejauh ini istilah “kafir” selalu dikonotasikan secara sempit kepada hanya soal perbedaan keyakinan keagamaan, seakan memiliki jurang pemisah yang terlampau jauh antara “saya” dan “anda” atau “kami” dan “mereka” yang masing-masing berkeyakinan berbeda. Al-Quran bahkan menyebutkan bahwa mereka yang kafir adalah mereka yang tidak mensyukuri anugerah Tuhan yang telah memberi mereka kehidupan, padahal nikmat Tuhan begitu berlimpah diberikan kepada setiap orang dan seluruh mahluk hidup di bumi ini. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya akan Aku tambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkarinya (kafir), maka sungguh adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).

Memang, persoalan ketimpangan ekonomi-sosial dalam suatu masyarakat bisa saja mendorong kepada mereka yang masuk dalam kategori “fakir” untuk berpindah keyakinan berdasarkan alasan kalkulasi ekonomi yang menguntungkan, keyakinan mana yang lebih dapat memenuhi kebutuhan materi mereka itulah yang mereka pilih. Inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika memberikan orasinya pada saat acara penutupan kegiatan Tanwir Muhammadiyah 2017 di Ambon, Maluku (26/2). Kalla menilai bahwa kesenjangan ekonomi yang saat ini cukup mengkhawatirkan di Indonesia lebih berbahaya dibandingkan negara-negara lain. 

Wapres kemudian mengambil contoh Filipina dan Thailand, bahwa di kedua negara tersebut baik orang kaya maupun orang miskin berasal dari agama yang sama, sementara di Indonesia yang kaya dan miskin bisa berbeda agama. Hal ini justru mengindikasikan bahwa persoalan ketimpangan sosial tidak hanya merupakan kewajiban pemerintah semata, tetapi peran tokoh agama juga memiliki peran penting untuk memberikan kontribusi bagi peningkatan dan pemberdayaan ekonomi umat.

Semangat keagamaan seharusnya dalam banyak hal dapat menjadi energi luar biasa untuk meningkatkan perekonomian dan pemberdayaan umat. Namun demikian, kebanyakan tidak banyak yang menyadari bahwa kemudian semangat keagamaan hanya berhenti dan dipergunakan sebagai alat politik kekuasaan yang justru semakin mengecilkan arti agama dalam pemberdayaan ekonomi umat. Jauh-jauh hari, Nabi Muhammad justru telah mengingatkan bahayanya kesenjangan sosial dengan menurunnya sikap keagamaan yang jauh dari nilai-nilai Ketuhanan. 

Dengan bahasa yang lebih sosiologis, Max Weber bahkan mengajukan tesis bahwa nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat bisa menjadi energi yang positif untuk mengejar ketertinggalan perekonomian secara rasional (semangat kapitalisme). Disinilah saya kira, bahwa peran para agamawan menjadi sangat dibutuhkan untuk bersinergi dengan pemerintah dalam soal pengentasan ketertinggalan dan juga kemiskinan.

Ketimpangan dalam banyak hal merupakan ancaman serius bagi bangsa dan negara, bukan hanya terorisme, narkoba atau soal perbedaan politik yang dikaitkan dengan kebinekaan kita. Laporan salah satu organisasi nirlaba asal Inggris, Oxfam, menyebutkan bahwa ketimpangan yang terjadi di Indonesia merupakan ancaman serius bagi kesejahteraan yang diakibatkan oleh jauhnya perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Jika hal ini tidak ditangani, penanggulangan kemiskinan akan jauh lebih sulit ditanggulangi karena akan diikuti oleh ketidakstabilan sosial yang semakin meningkat. 

Dalam rilisnya, Oxfam menuliskan bahwa kekayaan kolektif 4 orang kaya di Indonesia yang tercatat 25 miliar dolar AS (setara Rp 335 triliun), lebih besar dari gabungan kekayaan 100 juta orang miskin. Inilah barangkali yang membuat Wapres memberikan warning kepada para agamawan agar selalu bersinergi dengan pemerintah bersama-sama menuntaskan persoalan ini.

Peran para agamawan justru menjadi titik-tolak paling mujarab untuk memberikan pemahaman soal terminologi “kafir” sesuai pada porsinya dengan tidak selalu menghadapkan konsep “kafir” seakan-akan hanya pada wilayah persoalan perbedaan keyakinan atau terdistorsi menjadi sebab kebencian antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam ruang aktivitas sosial-politik. Dalam soal menyelesaikan ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi dalam masyarakat berarti mengangkat derajat perekonomian mereka secara bertahap dengan memberikan pemahaman keagamaan yang baik, bahwa rasa bersyukur kepada Tuhan secara terus menerus justru akan memberikan suntikan energi keagamaan kepada mereka sekaligus membuka ruang cakrawala pemikiran mereka untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi yang sedang mereka alami. Masyarakat kita adalah masyarakat religius, sehingga sulit jika hanya diberikan pemahaman secara rasional an sich, tanpa diyakinkan oleh dorongan semangat keagamaan yang kuat.

Saya kira, fungsi dan peran ormas keagamaan akan sangat membantu dalam pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial melalui sinergi yang terjalin kuat dengan pemerintah. Oleh karenanya, seluruh ormas keagamaan justru harus menyadari sepenuhnya bahwa pemerintah merupakan mitra utama dalam hal peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ormas Islam, seperti Muhammadiyah misalnya, bisa saja menjadi stakeholder pemerintah yang saling bersinergi memberantas kesenjangan sosial. Mengembalikan terminologi “kafir” sebagai sebab utama dari kefakiran atau kesenjangan sosial justru dapat meningkatkan kesejahteraan berbeda terbalik dengan terminologi “kafir” yang terus menerus diseret dalam dimensi perbedaan keyakinan terlebih hanya dipergunakan untuk kepentingan politik. Disinilah pentingnya memberikan pemahaman bahwa ketimpangan sosial dan kemiskinan bisa membuat seseorang atau masyarakat tidak bersyukur (kafir) dan berdampak buruk pada stabilitas sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline