Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Memaknai Sinyal Bertemunya Raja Salman dan Rizieq Sihab

Diperbarui: 27 Februari 2017   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ramai mengenai kunjungan Raja Salman Abdul Aziz al-Saud ke Indonesia bukan sekedar sebagai kunjungan balasan setelah Presiden Joko Widodo pada September 2015 yang lalu bertemu dengan pemilik gelar Khadim al-Haramain ini di Jeddah, Arab Saudi. Banyak agenda yang akan dijalankan Raja Salman terkait kunjungannya ke Indonesia beberapa hari lagi, termasuk kabar soal bertemunya beliau dengan beberapa tokoh muslim Indonesia, termasuk diantaranya Rizieq Sihab, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI). Saya kira, persoalan bertemu dengan siapapun merupakan hak Raja Salman, sehingga kabar-kabar pro-kontra mengenai adanya pertemuan dengan tokoh kontroversial, seperti Rizieq sekalipun seharusnya tidak perlu diperdebatkan.

Beberapa media internasional melansir, bahwa kunjungan Raja Salman ke Indonesia adalah serangkaian kunjungan dirinya ke negara-negara Asia, termasuk Jepang, Cina dan Malaysia. Arab Saudi merupakan negara terkaya penghasil minyak yang memiliki ekspektasi yang tinggi menguasai lini perekonomian dunia, khususnya di Asia. Oleh karenanya, wajar ketika beberapa kunjungan ke beberapa negara Asia bukan tanpa alasan, tetapi juga sarat dengan motif kepentingan ekonomi global. Bagaimana tidak, dari berbagai kunjungannya ke negara-negara Asia, para pejabat Saudi selalu memperkenalkan Aramco Saudi, sebuah perusahaan migas milik kerajaan yang sudah mulai go public yang penjualan sahamnya diatur melalui initial public offering (IPO).

Terlepas dari motif ekonomi yang ada dibalik kunjungan Raja Salman, Arab Saudi juga memiliki kepentingan terhadap dunia Islam, khususnya Indonesia yang notabene merupakan negara mayoritas penduduknya muslim. Dalam banyak hal, Arab Saudi walaupun didomonasi oleh pengaruh pemikiran Wahabiyah yang sangat ketat dalam tradisi pemikiran dan praktek keagamaan, namun tetap tidak berseberangan dengan kalangan Islam moderat, seperti halnya Indonesia. Kecondongan kepada Islam moderat tampak ketika Arab Saudi justru menolak menjalin hubungan politik dengan negara-negara berideologi Syiah, seperti Iran, Yaman ataupun Suriah meskipun diantara negara-negara tersebut targabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Kenyataannya, kemelut politik di Timur Tengah yang hingga saat ini tak pernah kunjung usai, sangat memperlihatkan kemana dukungan Arab Saudi sebenarnya.

Indonesia yang senantiasa mengedepankan pemikiran dan sikap moderasi Islam, justru menjadi perhatian tersendiri bagi Arab Saudi. Maka tidak tanggung-tanggung, bahwa kerajaan Arab Saudi memboyong 1500 orang dan 10 orang menterinya untuk ikut menjadi bagian dari delegasi bersama Raja Salman mengunjungi Indonesia. Dengan delegasi yang sedemikian banyak, berarti memang banyak sekali agenda yang akan dibahas di Bumi Pertiwi ini setelah 47 tahun lamanya Indonesia tidak pernah lagi dikunjungi oleh otoritas Kerajaan Arab Saudi. Salah satu isu yang menghangat di beberapa media adalah akan adanya pertemuan khusus Raja Salman dengan Rizieq Sihab yang rencananya akan dilakukan di Bali. Gelar “habib” yang disematkan kepada Rizieq Sihab merupakan gelar kehormatan keturunan Arab, selain gelar “syarif” atau “sayyid” yang kurang begitu populer di Indonesia. Rizieq, saya kira memiliki keterikatan langsung dengan tradisi Arab dan menjadi ikon “Islam politik” yang cukup dikenal, sehingga wajar jika kunjungan Raja Salman kali ini juga mengagendakan bertemu dengan dirinya.

Secara politik, Arab Saudi sudah menancapkan kekuatannya melalui tradisi dan budaya Islam di Indonesia yang sampai saat ini menjadi bagian dari “warna” Arab dengan bertebarannya para “habaib” dan ulama yang memiliki nasab (keturunan) langsung dengan para pemuka Arab, termasuk yang mengkalim dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. Para “habib” dan juga “syarif” sejauh ini diklaim oleh masyarakat sebagai model personifikasi yang memiliki hubungan nasab dengan para Nabi atau keluarganya, sehingga seringkali mereka mendapat tempat istimewa disisi masyarakat Indonesia. Ini berarti, bahwa keterikatan tradisi dan budaya dimana Islam yang dibawa oleh bangsa Arab ke Indonesia masih tetap melekat sampai saat ini. Keberadaan orang-orang “keturunan” ini tentu tidak akan dilewatkan oleh Arab Saudi sebagai bagian dari propaganda politiknya untuk membangun kekuatan ekonomi Islam di Asia.

Bangsa Arab adalah bangsa yang masih kuat mengikatkan dirinya dengan tradisi, meskipun ditengah arus modernisasi yang menguat. Nasab menjadi bagian yang masih penting dan dijunjung tinggi, bahkan ketika orang Indonesia berhaji harus disematkan nama nasab dibelakang namanya. Nama Mukidi, misalnya ketika tidak disematkan “bin” setelahnya justru akan dipertanyakan karena tanpa nasab, seseorang dianggap “ilegal” masuk ke wilayah Arab Saudi. Hal inilah kemudian, Arab Saudi juga sangat berkepentingan dengan muslim keturunan Arab, terutama para habaib, yang saya kira, tidak hanya Habib Rizieq yang akan diajak bertemu, tetapi juga para habaib lain yang belum terekspose ramai oleh media. Para habib merupakan bagian dari instrumen politik Arab untuk memperluas tradisi politiknya di negara-negara yang non-Arab. Jadi, menurut saya, pasti ada kepentingan Raja Salman untuk mengundang para habib, termasuk Rizieq Sihab pada lawatannya ke Indonesia untuk beberapa hari nanti.

Arab Saudi jelas selain ingin memperkuat ekonomi dunia dengan sokongan negara-negara muslim sekaligus mempertegas kekuasaan politiknya dengan mengusung gelar “khadim al-haramain wa al-syarifain” sebagai penguasa mutlak “kiblat Islam”. Untuk urusan haji misalnya, Arab Saudi tidak bisa diintervensi negara muslim manapun untuk ikut menentukan soal berapa kuota jamaah haji atau memberikan keleluasaan khusus kepada para “amir al-hajj” (pengurus ibadah haji) dari berbagai negara tanpa terikat dari aturan mutlak otoritas kerajaan. Padahal, haji merupakan ibadah umat Islam yang diwajibkan untuk seluruh umat muslim sedunia, tetapi soal aturan peribadatan, perizinan dan segala hal berkait dengan ibadah haji merupakan hak mutlak pemerintahan Arab Saudi. Nuansa politis sangat kental ketika raja menyandang gelar ini, sebab “khadim” memiliki konotasi “pemimpin” sekaligus “pelayan” tamu-tamu Allah yang berkunjung ke Mekkah dan Madinah ini.

saya kira, meskipun kedatangan Raja Salman ke Indonesia dinilai sangat tepat, ditengah kondisi perekonomian negeri kita yang kurang baik dan ditengah memanasnya suhu politik di Tanah Air, tetapi tidak juga harus dianggap memiliki keterkaitan secara politis dengan momen Pilkada Jakarta. Kita tentu tahu, bahwa salah satu cagub DKI Jakarta adalah salah seorang keturunan Arab, yaitu Anies Rasyid Baswedan. Anies sebagaimana diketahui adalah cucu dari AR Baswedan salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan sekaligus pendiri Partai Arab Indonesia pada zaman revolusi. Menyangkut-pautkan kedatangan Raja Salman dengan Pilkada Jakarta justru terlampau mengada-ada, karena sejatinya, ini merupakan kunjungan balasan Sang Raja atas kunjungan Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi tahun 2015 lalu. Sebagai tamu, terlebih tamu negara, tetaplah kita sebagai tuan rumah mempersilahkan dan mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk menghormati karena tamu dalam adat Ketimuran adalah “raja” yang harus kita hormati.

Wallahu a’lam bisshawab         

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline