Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Persepsi "Kebenaran" dalam Realitas Sosial-Politik

Diperbarui: 23 Februari 2017   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jagat media sosial dan konvensional selalu ramai dengan beragam opini yang saling memperebutkan berbagai macam hal yang dipersepsikan oleh setiap orang sebagai sebuah “kebenaran”. Saling klaim soal “kebenaran” seolah-olah menjadi haknya sendiri semakin menjauhkan masyarakat dari ruang dialektika pemikiran dimana setiap argumentasi yang dibangun berdasarkan data dan fakta justru kehilangan dinamikanya. 

Ruang terbuka bagi penguatan kesahihan argumentasi dalam rangka mencari kebenaran justru ambruk dan reruntuhannya menimpa sekian banyak persepsi yang justru sedang berupaya  mencari  sebuah kebenaran. Oleh karena itu, wajar jika ada seseorang yang terkait dengan persoalan hukum dan diduga bersalah, jika itu adalah kelompoknya atau afiliasinya, maka reaksi begitu cepat dengan mengatakan telah terjadi kriminalisasi. Namun, jika ada orang yang terlibat kasus hukum dan diduga bersalah, tetapi bukan bagian dari mereka atau afiliasi mereka, maka beramai-ramai dihujat dan dianggap sebagai kriminal yang sudah semestinya dieksekusi.

Sebuah kebenaran ketika sudah berhadapan dengan sebuah realitas sosial-politik, maka ia menjadi relatif, karena akan ada sekian banyak persepsi orang yang menilainya secara berbeda-beda. Misalnya saja, adat istiadat yang berlaku di sebuah wilayah yang dianggap sebuah “kebenaran” mungkin saja dianggap salah oleh persepsi orang yang tinggal di wilayah lain. Tabiat “keras” dan “kasar” orang Batak misalnya, dianggap biasa dan mengandung nilai-nilai kebenaran oleh sesama orang Batak, tetapi ketika adat ini dibawa ke wilayah Jawa yang cenderung mengedepankan kelembutan bisa saja dianggap tidak benar oleh mereka. Disinilah letak relatifitas sebuah kebenaran ketika berhadapan dengan realitas sosial-politik, dia tidak berdiri sendiri tetapi selalu dipersepsikan berbeda-beda oleh setiap orang. Oleh karena itu, persepsi mengenai salah-benar—berkait dengan perbuatan seseorang—kemudian diatur dalam sebuah diktum hukum dan perundang-undangan, sehingga siapapun dia, apapun gelar dan jabatannya tanpa kecuali, jika salah dan terseret kasus hukum, maka hukumlah yang akan mempersepsikannya kemudian.

Saya teringat beberapa tahun yang lalu, ketika beberapa pimpinan KPK kemudian diduga melanggar hukum yang berimbas penangkapan terhadap dua orang pimpinannya. Lalu kemudian muncul ramai-ramai persepsi publik menganggap bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap KPK. KPK seolah-olah dilemahkan secara hukum, dimandulkan, dibuat tak berdaya oleh penguasa sehingga persepsi pembenaran publik terhadap upaya kriminalisasi KPK oleh penguasa seolah-olah menjadi sebuah kebenaran yang dipersepsikan mereka yang tentu saja berdasarkan asumsi-asumsi yang mereka bangun sendiri. Lain halnya dengan aparat penegak hukum, yang justru memandang sebuah kebenaran berdasarkan asumsi hukum yang tentu saja dengan melihat dari bukti-bukti kuat yang telah mereka peroleh sebagai fakta dan data. Kemudian terjadi klaim kebenaran yang masing-masing berbeda dalam melihat kasus ini, sehingga kebenaran sendiri seolah-olah menjadi absurd karena berbedanya persepsi soal klaim kebenaran diantara masyarakat.

Belakangan, jagat dunia maya diramaikan oleh persepsi sebagaian masyarakat yang menganggap telah terjadi kriminalisasi ulama oleh aparat dimana ulama-ulama yang “dipersepsikan” mereka mulai satu-persatu diduga “bersalah” dan dianggap terlibat berbagai kasus hukum. Klaim kebenaran yang dipersepsikan oleh para “pembela ulama” ini justru berbeda terbalik dengan klaim kebenaran yang dipersepsikan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian. 

Disinilah saya kira, perlunya memiliki persepsi yang sama, ketika terkait dengan persoalan hukum, berilah kesempatan kepada diktum hukum untuk mengungkap fakta dan data sehingga pada akhirnya sebuah kebenaran bisa dipersepsikan sama secara hukum. Saya kira, kebanyakan diantara kita adalah melakukan persepsi sendiri-sendiri soal kebenaran dan diperparah oleh klaim yang seolah-olah kebenaran milik kita sendiri yang justru kemudian menolak kebenaran yang dipersepsikan orang lain.

Soal kebenaran, Imam Syafi’i pernah berujar, “Bisa saja pendapat saya benar dan mungkin anda salah dan bisa saja pendapat saya salah dan pendapat anda benar”. Benar atau salah ketika dipandang dari kacamata fiqh (hukum Islam) juga sama, keduanya memiliki bobot nilai, yaitu pahala. Para ulama telah terlebih dahulu memberikan contoh dengan melakukan serangkaian ijtihad (bersungguh-sungguh mencurahkan seluruh kemampuan) dalam mengungkap fakta kebenaran berdasarkan asumsi yang mereka miliki masing-masing. 

Tradisi Islam kemudian menggambarkan, ketika sebuah ijtihad itu salah, dia bernilai satu, tetapi jika benar ia bernilai dua. Artinya, sebuah kebenaran yang digali dan dicari terus menerus memiliki dampak teologis, karena Tuhan pasti akan memberikan penghargaan atas upaya ini. Dari sinilah kemudian, Islam mengajarkan bahwa kebenaran mutlak dan hakiki sebenarnya klaim Tuhan bukan klaim manusia itu sendiri. Manusia diberikan seperangkat pengetahuan dan kecerdasan untuk selalu menggali dan mencari kebenaran yang sesuai dengan persepsinya sendiri-sendiri tanpa harus menyalahkan persepsi kebenaran menurut orang lain.

Saya kira, kasus hukum yang melilit para aktivis “411” dan “212” tidaklah harus dipandang sebagai sebuah upaya kriminalisasi ulama ketika masing-masing pihak sepakat—baik aparat maupun seseorang yang terindikasi melanggar hukum—untuk sama-sama mencari kebenaran. Yang paling baik adalah membuka ruang dialog sesuai koridor hukum yang berlaku untuk sama-sama membuktikan bahwa masing-masing memiliki persepsi soal kebenaran walaupun berbeda. 

Dari perspektif perbedaan persepsi inilah kemudian diktum hukum akan menentukan berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang ada benar atau salahkah mereka secara hukum. Fokuslah pada upaya mencari dan membangun kebenaran yang ada saat ini, bukan kemudian melihat fakta lain diluar yang seolah-olah itu menjadi wilayah kebenaran atas klaim sendiri. Mengakui dan menerima setiap kebenaran yang didukung oleh fakta dan data lebih kuat justru lebih baik dibanding harus mempertahankan kebenaran dalam persepsinya sendiri.

Dalam tradisi Islam, kebenaran bahkan terus digali tidak hanya dalam wilayah sosial-politik bahkan terjadi upaya dialog untuk mencapai kebenaran secara teologis. Bagaimana tidak, kelompok Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah dan Murji’ah misalnya dalam sejarah Islam, mereka mempersepsikan sendiri soal kebenaran berdasarkan argumentasi yang masing-masing dibangun berdasarkan fakta keagamaan untuk menilai apakah seseorang itu berdosa atau tidak, kafirkah atau mukmin, muslimkah atau telah murtad ketika melakukan suatu perbuatan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline