Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

NU dan Gagasan Islam Jalan Tengah

Diperbarui: 31 Januari 2021   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok: Nu.or.id

Sudah 91 tahun organisasi massa Islam yang dikenal kuat dan mengakar ditingkat akar rumput, Nahdlatul Ulama (NU), mewarnai kehidupan sosial-politik di negeri ini. 

Pasang-surut NU sebagai ormas tak mungkin abai dari kontribusi yang cukup besar dalam membidani lahirnya kedaulatan  republik ini. Ormas yang didirikan pada 1926 ini sejak awal memiliki gagasan yang jelas untuk memberikan wajah Islam yang lebih objektif, ramah, menghargai kearifan lokal, bernuansa kultural-keagamaan dan akomodatif terhadap setiap perbedaan baik sosial, budaya maupun politik. 

Gagasan NU didirikan tak terlepas dari keinginan para pioneer-nya untuk tidak alergi terhadap percepatan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga setiap perubahan sosial harus disesuaikan tanpa harus dibenturkan dengan adat, nilai keagamaan ataupun tradisi yang telah lebih dahulu hadir ditengah-tengah masyarakat.

Kuatnya pengaruh gerakan fundamentalisme Islam yang menyebar ke seluruh dunia akibat menguatnya kolonialisme asing (Barat) telah berdampak ke beberapa negeri mayoritas muslim termasuk Indonesia, sehingga Islam-pun tampil dengan wajah gerakan-politik yang memperjuangkan “kebangkitan Islam” melalui wahana puritanisasi ajaran keagamaan yang berhadapan langsung dengan tradisi dan kearifan lokal yang telah hadir dalam masyarakat. 

Kaum fundamentalisme memperlihatkan arah gerakan politik yang tanpa kompromi bahkan terhadap kalangan sesama muslim yang masih bersentuhan dengan tradisi lokal. 

Kaum fundamentalis memproyeksikan kebangkitan Islam sebagaimana yang telah diperoleh oleh masa keemasan Islam dengan cara memberangus segala macam tradisi yang mereka anggap tidak berkaitan dengan sejarah Islam awal. 

Proyeksi kebangkitan Islam yang digagas kaum fundamentalis ternyata tidak linier dengan perjuangan melepaskan diri dari kolonialisme, tetapi justru mengabaikan banyak hal terkait dengan tradisi dan budaya Islam Nusantara yang justru telah terlebih dahulu hadir.

Disinilah saya kira, NU lahir sebagai gerakan sosial mempertahankan tradisi yang sudah mapan dan baik dalam masyarakat seraya memperkuat nilai-nilai keislaman yang telah lama tumbuh tanpa harus berbenturan dengan perkembangan zaman. 

Adagium klasik selalu dipakai ormas keagamaan ini sejak awal didirikannya, yaitu “al-muhafadlotu ‘ala qodiim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (menjaga sesuatu yang baik di masa lampau dan mengambil yang baru yang lebih baik). 

Kaidah ini berimplikasi terhadap cara pandang NU soal nilai-nilai sosial keagamaan Islam secara otentik dan substantif: senantiasa memegang teguh kemurnian ajaran Islam yang diajarkan para ulama yang memiliki matarantai pengetahuan (sanad) keagamaan secara sah serta mengedepankan wajah Islam yang substantif berupa penguatan nilai-nilai Islami tanpa harus menonjolkan “sisi luar” Islam melalui simbol-simbol keagamaan.

Orientasi keagamaan NU yang selalu mengedepankan prinsip “jalan tengah” dalam konteks pemikiran keagamaan, sosial maupun politik cukup membuat organisasi ini dipandang oleh banyak kalangan sebagai pembawa panji Islam moderat yang senantiasa meneguhkan prinsip rahmatan lil alamin

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline