Diakui ataupun tidak, bangsa kita ini belakangan terus didera berbagai macam konflik sosial yang justru semakin rumit dan sulit terkendali. Konflik berkepanjangan yang dimulai dari masuknya kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kini semakin merambah menjadi konflik yang sedemikian terbuka yang tidak lagi fokus terhadap kasus penistaan agama, tetapi sudah “bersayap” mengganggu stabilitas kenegaraan dan kebangsaan terutama dengan semakin terganggunya iklim toleransi keberagaman dan keberagamaan diantara elemen bangsa. Padahal, bangsa ini telah menganggap toleransi adalah sikap natural yang sudah turun-temurun sejak Nusantara ini mulai dipersatukan, sehingga tidak ada lagi seharusnya konflik horizontal terlebih vertikal yang masih mengatasnakan klaim toleransi atau intoleransi.
Bagi saya, bersatunya Nusantara dengan jarak pulau yang relatif berjauhan, adat-istiadat yang berbeda, nilai dan norma masyarakat yang beragam serta ditopang oleh multi keyakinan dan agama adalah bukti bahwa toleransi adalah nature keberagaman yang sudah terbangun sejak zaman nenek moyang kita terdahulu. Sehingga jika kemudian ada segelintir orang atau kelompok yang sengaja mengingkari toleransi yang selama ini terbangun, jelas sama artinya dengan pengingkaran atas proses alami bersatunya nusantara ini. Terlebih jika kemudian toleransi hanya menjadi klaim sepihak sehingga menganggap pihak lain intoleran, jangan-jangan mereka sedang membangun intoleransi dan pengingkaran terhadap kebangsaan dan keindonesiaan mereka sendiri.
Toleransi atau sikap mau menerima setiap perbedaan yang ada merupakan esensi dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tentu sangat sadar, bahwa Indonesia berdiri berdasarkan konsensus masyarakat terhadap “penerimaan” setiap perbedaan, baik nilai, norma, budaya, adat dan juga agama. Elemen-elemen yang menguat dan mengkristal sehingga menyatukan Nusantara ini jelas merupakan asimilasi dengan beragam nilai, baik yang berasal dari “luar” maupun dari “dalam” masyarakat itu sendiri. Semuanya bersatu, melekat, menjadi bangunan kepercayaan yang dibawa oleh setiap orang dalam upaya membangun peradaban kemanusiaan dalam wadah negara Indonesia. Jadi, toleransi bukanlah hal baru. Ia sudah seperti ikan di dalam air yang menyatu tak mungkin dipisahkan. Mengajari toleransi kepada bangsa ini sama halnya dengan mengajarkan ikan untuk berenang yang justru menjadi hal yang sia-sia.
Sejauh ini, konflik-konflik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, lebih didasarkan pada konflik kepentingan dan politik, buka pada konflik soal ketiadaan toleransi. Sebagai contoh saja, bahwa munculnya berbagai peristiwa konflik vertikal adalah didorong oleh kurang terakomodasinya “kepentingan” politik sebagian elit mayarakat oleh penguasa atau kekuasaan. Lihat misalnya aksi-aksi separatisme yang menyoal kurangnya kesejahteraan, baik itu PRRI/Permesta, DI/TII atau GAM, lebih banyak berkonflik dalam lingkup kepentingan politik.
Belum ada rasanya konflik yang sedemikan massif seperti saat ini yang terus menerus saling klaim soal toleransi apalagi dihubungkan dengan berbagai isu ideologi negara, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Saya kira, bangsa ini semakin jauh semakin terpuruk kedalam kubangan konflik yang tampak sulit sekali untuk membenahinya. Apakah ini karena konflik horizontal yang sekedar berebut klaim kebenaran atas kelompoknya sendiri tentang toleransi, Pancasila atau Kebhinekaan?
Memang, bahwa sebuah kelompok dalam masyarakat pada dasarnya memiliki “nilai-nilai” kebenaran sendiri yang dianut oleh masing-masing dan diyakininya sebagai sebuah kebenaran bagi mereka sendiri. Hanya saja, nilai-nilai kebenaran yang dianut, semestinya dapat berinteraksi dalam masyarakat sehingga dapat tercipta sebuah mekanisme pertukaran nilai (exchange of value). Klaim atas kebenaran nilai yang dianut oleh setiap kelompok tentu adalah sesuatu yang wajar dan alamiah, hanya saja perlu mekanisme pertukaran nilai dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sebagai sebuah bentuk interaksi dialogis yang lebih membangun peradaban.
Merasa nilai-nilai yang diusung oleh sebuah kelompok sebagai klaim kebenaran bagi dirinya sendiri terlebih menganggap nilai-nilai yang dianut kelompok lain dalam masyarakat adalah salah dan “dipaksa” untuk mengikuti kelompoknya dan menganggap kelompok dirinya yang paling benar, jelas disebut intoleransi dan memicu disintegrasi. Hal ini tidak saja menjadi sebuah “kerancuan” dalam sebuah hubungan sosial-kemasyarakatan tetapi juga dianggap “penyimpangan” oleh agama. Kitab suci al-Quran menyindir mereka yang bangga dengan “kebenaran” kelompoknya sendiri. “Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)” (QS. al-Mukminun: 53).
Saya kira, konflik yang sejauh ini terjadi dan semakin terbuka menjadi informasi yang begitu viral di berbagai media, merupakan bentuk konflik horizontal yang didasari oleh saling klaim kebenaran. Jelas, ini sangat mengganggu situasi kondusif kebangsaan dan lambat laun dapat berubah menjadi konflik vertikal yang lebih tajam yang justru semakin merontokkan nilai-nilai toleransi masyarakat yang telah terbangun selama ini. Sudah semestinya, masing-masing kelompok sosial yang berkonflik mulai membangun kesadaran bahwa kebenaran dalam konteks sosial-politik adalah “kebenaran relatif” bukan kebenaran hakiki yang harus dipaksakan secara terus menerus. Relativitasnya terletak pada adanya suasana interaktif-dialogis yang senantiasa dibangun oleh berbagai elemen masyarakat sehingga mampu menciptakan sebuah “kebenaran” yang dapat diterima semua pihak, bukan kebenaran atas klaim kelompoknya sendiri-sendiri.
Asumsi saya, bahwa keberadaan negara dan bangsa ini juga hadir sejauh ini dari hasil sebuah konsensus diantara sekian banyak elemen masyarakat yang diakui dan diyakini kebenarannya. Tidak mungkin bangsa dan negara ini hadir begitu lama dan begitu kuat tanpa adanya konsensus bersama melalui kesamaan “nilai-nilai” kebenaran yang justru dibangun dan diperjuangkan bersama oleh berbagai elemen bangsa hingga saat ini.
Pemaksaan atas nilai-nilai kebenaran yang dianut dan diyakini satu kelompok masyarakat kepada kelompok lain agar menerimanya, justru sangat berbahaya karena dapat menghancurkan eksistensi kebangsaan itu sendiri. Jangankan untuk urusan pemaksaan nilai-nilai secara sosial, pemaksaan dalam hal beragama-pun jelas dianggap sebuah “penyimpangan” baik secara hukum sosial maupun agama. Setiap individu atau kelompok senantiasa diberikan pilihan-pilihan, terlebih dalam konteks sosial-politik, dengan tetap mengedepankan mekanisme konsensus sehingga dapat menerima sebuah kebenaran umum dalam masyarakat.
Bagi saya, segala hal yang mengarah kepada “pemaksaan” kehendak atas sebuah kebenaran yang diklaim sebagai kebenaran mutlak kemudian dipaksakan agar “diterima” oleh pihak lain merekalah sebenarnya sebagai pemicu konflik. Sehingga, menjadi tugas negaralah (pemerintah) yang seharusnya mampu menjaga setiap “nilai-nilai” bersama yang telah menjadi konsensus kebangsaan agar tetap pada koridornya dan bersikap tegas dengan mengambil alih otoritas atas nilai-nilai kebenaran umum hasil konsensus yang telah terbangun.