Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Pengukuhan "Imam Besar Umat Islam", Berlebihan?

Diperbarui: 4 April 2017   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Habib Rizieq Shihab. (KompasTV)

Ada informasi yang menggelitik banyak pihak, terutama umat Islam, mengenai telah dilakukannya pengukuhan Rizieq Sihab sebagai “imam besar” umat Islam yang digelar di Banten, Jawa Barat. Adalah suatu hal yang benar-benar diluar tradisi keislaman ketika ada sekelompok orang yang mengangkat seseorang yang kemudian didaulat sebagai imam besar (pemimpin) untuk seluruh umat Islam. 

Padahal, istilah “imam besar”—kecuali terminologi imam dalam sholat—tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam bahkan ketika ditelusuri dalam sejarah Islam awal-pun, nampaknya istilah ini tidak akan pernah ditemukan. Mungkin dalam beberepa literatur Islam awal, terdapat istilah “ulil amri” atau “amir”, “mulk”atau masa-masa berikutnya dipergunakan istilah “khalifah” atau “sulthon” yang disematkan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan politik secara sah dan legitimated berdasarkan penunjukkan atau pemilihan secara demokratis melalui musyawarah umat.

Lagi pula, istilah “imam” lebih berkonotasi “pemimpin” secara lokal dalam ranah yang lebih sempit untuk kalangan atau kelompok tertentu yang tidak bisa dihubungkan apalagi dikaitkan dengan seluruh umat Islam. Istilah-istilah yang merujuk kepada kepemimpinan dalam Islam secara historis lebih banyak ditemukan pasca wafatnya Pemimpin Besar Umat Islam, Nabi Muhammad saw. Tradisi politik Islam pasca Nabi kemudian muncul berbagai istilah kepemimpinan (politik) yang posisinya “menggantikan” Nabi, baik itu khalifah, amir, imam atau sultan. Namun demikian, terjadi banyak pergeseran makna dari beragam istilah kepemimpinan yang ada dalam tradisi Islam yang semakin mengaburkan dari makna aslinya. Jika dulu konsepsi kepemimpinan terangkum didalamnya makna pemimpin agama sekaligus politik, maka lambat-laun istilah kepemimpinan mereduksi konsep keagamaan (Islam) dan hanya berkonotasi “penguasa” secara politik dalam skala lokal.

Bagi saya, istilah pengukuhan seseorang menjadi “imam besar umat Islam” justru memiliki kerancuan bahkan terkesan dipaksakan, terlebih bahwa secara tradisi atau merujuk kepada sumber-sumber ajaran Islam, tidak pernah ada siapapun yang mengklaim dirinya dan diakui sebagai “imam besar” bagi umat Islam. Pemberian gelar atau pengukuhan yang dilakukan sekelompok umat Islam kepada Rizieq Sihab sebagai “imam besar umat Islam” justru sangat berlebihan dan bisa menuai pro-kontra ditengah masyarakat. Ini karena, dalam tradisi Islam tidak dikenal istilah hierarki kepemimpinan yang diakui dan dilegitimasi oleh seluruh umat muslim di dunia. Kekhalifahan yang ada pada masa-masa awal Islam-pun secara historis tidak berkonotasi sebagai “pemimpin” yang memiliki legitimasi keagamaan, tetapi lebih merujuk kepada “pengganti” (khalifah) Nabi saw sebagai pemimpin umat yang menggantikan “sementara” fungsi kenabian sebagai pemimpin umat.

Itulah kenapa bahwa Islam sama sekali tidak mengenal atau memberikan aturan-aturan secara khusus dalam soal kepemimpinan (politik) baik dalam hal pemilihan atau prosedur-prosedur lain dalam pelaksanaan praktek-praktek kekuasaan (politik). Salah satu ajaran Islam yang dikenal sebagai prosedur dalam soal kekuasaan adalah musyawarah, bahkan tidak hanya persoalan politik, tetapi juga dilakukan untuk urusan-urusan sosial yang berkaitan dengan persetujuan jika terdapat perseteruan atau perbedaan diantara umat. Oleh karenanya, para khalifah dimasa-masa awal Islam adalah mereka yang mengemban misi kenabian sebagi “pengganti” Nabi saw yang diangkat dan ditunjuk oleh umat melalui prosedur musyawarah oleh seluruh elemen umat muslim sehingga para khalifah mendapatkan legitimasinya secara demokratis dari umat.

Jikapun menggunakan istilah “imam besar” dia hanya dapat dikaitkan dalam sebuah segmentasi sosial atau kelompok tertentu, seperti halnya imam besar Masjid Istiqlal atau imam besar FPI yang kepemimpinannya relatif segmented. Justru ketika dihubungkan dengan representasi umat Islam secara keseluruhan, maka penyematan “imam besar” bisa menjadi sebuah pemaksaan bahkan menyalahi prosedur sah keagamaan (Islam). Karena bagaimanapun, menyematkan nama “umat Islam” dibelakang kata “imam besar” berarti dia adalah representasi seluruh elemen umat Islam yang telah duduk bersama-sama bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan.

Saya kira, jika memang informasi ini benar, bahwa Rizieq Sihab akan dinobatkan sebagai imam besar umat Islam Indonesia sungguh adalah upaya yang berlebihan bahkan melampaui batas. Ajaran Islam sangat melarang sikap berlebihan dalam hal apapun, termasuk dalam hal beragama, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS al-A’raaf: 31). Bahkan dalam al-Quran, Allah juga membenci mereka yang senang melampaui batas (ghuluw). Sikap “berlebihan” dan juga “melampaui batas” adalah bukti dari keserakahan manusia yang berimbas kepada kesombongan sikap. Sombong adalah hak Tuhan, karena yang berhak memiliki sifat “sombong” hanyalah Tuhan, sebagaimana salah satu sifat Tuhan yang disebut dalam asmaulhusna adalah “al-mutakabbiru” (Dzat Yang Maha Sombong).

Bagi saya, berbagai predikat yang kemudian disematkan kepada seorang ulama-pun tidak dilalui berdasarkan pengukuhan apalagi penobatan. Sejarah Islam misalnya, mengenal berbagai predikat keulamaan seseorang yang justru muncul belakangan karena kealiman dan kesalihan para ulama tersebut. Kita misalnya mengenal ulama hadits, Ibnu Hajar al-Asqallany yang diberi gelar “al-Hafidz” atau Ibnu Taimiyah dikenal dengan sebutan “Syaikhul Islam” atau Imam al-Ghazali dengan predikat “Hujjatul Islam” yang kesemuanya diberikan belakangan, mengingat jasa-jasa keilmuan mereka yang banyak memberikan manfaat kepada umat. Para ulama ini sama sekali tidak pernah menobatkan dirinya atau dinobatkan oleh para pengikutnya untuk memberikan predikat-predikat keulamaannya dalam berbagai bidang keilmuan masing-masing, apalagi mereka dinobatkan sebagai “imam besar”.

Untuk contoh saja, bahwa keulamaan dan kekharismatisan salah satu tokoh pendiri NU, Kyai Hasyim Asy’ari menyandang gelar “hadratussyekh” yang berarti “guru besar” adalah gelar yang disematkan kepada dirinya karena penguasaannya atas berbagai macam keilmuan Islam, khususnya hadits dan ilmu hadits. 

Kyai Hasyim tidak saja dianggap hadratussyaikh diantara para ulama di Indonesia, tetapi juga di mancanegara, karena gelar “hadratussyekh” telah disandangnya sejak beliau masih di Mekkah. Para ulama Indonesia yang sudah memiliki track record penguasaan ilmu-ilmu agama Islam di mancanegara justru tidak pernah menganggap dirinya sebagai “ulama besar” apalagi “imam besar” umat Islam. Mereka cenderung rendah hati dengan mengedepankan sikap tawadlu’  yang menghindari sikap berlebihan dan enggan mendapatkan gelar-gelar kehormatan yang disematkan umat kepada diri mereka. Disinilah sebenarnya letak keulamaan seseorang sesungguhnya yang diibaratkan tanaman padi, semakin berisi semakin ia merendah.

Wallahu a’lam bisshawab

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline