Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

"Swing Voters" di Pilkada Jakarta, ke Mana Berlabuh?

Diperbarui: 16 Desember 2016   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pilkada DKI. Lipsus.kompas.com

Menarik untuk mengikuti beragam hasil riset yang dilakukan beberapa lembaga survei mengenai persentase kelompok swing voters (suara mengambang) di Pilkada Jakarta yang senantiasa mengalami perubahan secara cukup signifikan. Untuk dua bulan terakhir (November-Desember), beberapa lembaga survei memberikan angka beragam dan cenderung menurun untuk kalangan swing voters di Pilkada Jakarta.

Sebut saja misalnya, Indikator Politik menyebut swing voters pada angka 24%; Poltracking Indonesia 29,6%; Lingkaran Survei Indonesia 34,4% memperlihatkan bahwa bulan November kategori swing voters masih diatas 20 persen. Sedangkan hasil rilis lembaga survei lain di bulan berikutnya menyebutkan bahwa tren swing voters malah cenderung menurun, jauh dibawah rata-rata angka sebelumnya, yaitu hanya berada pada kisaran 15-17 persen.

Swing voters diketahui merupakan jenis tipologi pemilih yang belum secara pasti menentukan pilihan politiknya kepada salah satu kandidat yang ada di Pilkada DKI Jakarta. Dalam istilah ilmu politik, mereka ini disebut sebagai kelompok non-partisan atau jenis massa mengambang (floating mass) yang biasanya tidak mengidentifikasikan dirinya dengan parpol manapun, tidak berafiliasi dengan kekuatan politik apapun, sehingga keberadaan jenis ini hanya bisa diukur pada waktu pencoblosan nanti di bilik suara.

Bahkan kelompok massa mengambang ini bisa jadi tidak memilih kandidat manapun alias “golput” karena mereka tidak melihat satupun diantara para kandidat yang ada sesuai dengan pilihan mereka. Namun, dari indikasi menurunnya kecenderungan swing voters yang dirilis berbagai lembaga survei paling tidak menunjukkan bahwa angka “golput” justru bukanlah tren di ajang Pilkada Jakarta 2017 mendatang.

Keberadaan kelompok non-partisan ini tidaklah harus dianggap enteng, karena justru karena kegagalan atau kelemahan strategi yang dilakukan seorang kontestan atau parpol pengusungnya akan merubah kelompok non-partisan justru menjadi partisan atau konstituen kekuatan pendukung  pesaing. Seorang kontestan politik harus pandai dan cerdas menjalankan strategi politiknya, bagaimana menghadapi konstituen dan sekaligus mereka yang non-partisan.

Jika misalnya konstituen lebih mengedepankan aspek rasionalitas politik, maka kontestan dan parpol pendukung harus lebih banyak mengedepankan model problem-solving untuk masyarakat melalui kinerja dan program-program riil yang jelas. Begitupun sebaliknya, jika konstituen cenderung mengedepankan aspek non-rasional dalam menentukan pilihannya, maka kandidat harus mampu memperkuat aspek ideologi, baik nilai, keyakinan, norma atau aspek terkait yang diharapkan konstituennya. Kegagalan membaca terhadap aspek rasional dan non-rasional konstituen yang dilakukan kandidat atau parpol pengusung, justru akan semakin menambah angka non-partisan atau bisa jadi justru menjadi partisan kelompok pesaing lainnya. 

Memang, jika melihat kepada jenis kelompok pemilih dalam sebuah kontestasi politik, paling tidak terdapat dua kelompok yang mewakili kecenderungan masing-masing terhadap para kontestan yang ada. Mereka adalah para konstituen dan kelompok non-partisan. Konstituen umumnya diwakili oleh masyarakat yang memiliki kedekatan dan keterikatan dengan kontestan atau parpol tertentu. Kelompok ini akan menjadi basis terkuat sebagai pendukung kontestan yang telah diperkuat sebelumnya oleh parpol pengusung.

Konstituen jelas memiliki loyalitas tertinggi diantara kelompok dari jenis pemilih lainnya, baik itu non-partisan atau kelompok “pendukung” pesaing. Umumnya, para konstituen dari masing-masing kontestan saling menguatkan soliditas dan dukungannya kepada setiap calon kandidat yang ada yang diukur berdasarkan strategi masing-masing kandidat dalam menjaga stabilitas konstituennya masing-masing. Konstituen biasanya digerakkan oleh mesin parpol masing-masing pendukung kandidat, sehingga kemungkinan beralih untuk berpindah pilihan ke pihak lain dinilai kecil kemungkinannya.

Sudah menjadi hal biasa, ketika secara demografi politik dipetakan, diketahui terdapat sekelompok non-partisan (swing voters), maka kelompok ini akan menjadi primadona ajang rebutan para kandidat yang bersaing. Dalam Pilkada Jakarta, keberadaan swing voters terlihat masih akan terbagi secara proporsional kepada masing-masing kandidat yang ada. Jika memang keberadaanya cukup signifikan, maka suara-suara yang berasal dari swing voters justru dapat menentukan kemenangan seorang kandidat dalam sebuah kontestasi politik.

Mengingat beragam hasil survei mengenai elektabilitas masing-masing kandidat di Pilgub DKI Jakarta semakin ketat, maka diperlukan strategi politik yang terukur dalam berupaya meraih simpati pemilih. Saya kira, baik kontestan maupun partai pengusung perlu melakukan penguatan dengan membangun komunikasi politik yang baik dengan pihak pesaing, terutama untuk menciptakan suasan kondusif, aman dan tertib dalam suatu masa kampanye.

Dari ketiga pasangan kandidat yang ada di Pilkada Jakarta, pasangan Ahok-Djarot nampaknya cukup memiliki konstituen yang solid dan kuat, karena selain didukung oleh kekuatan parpol penguasa, mereka cukup memiliki keterikatan baik secara rasional maupun “emosional”. Walaupun tren elektabilitas pasangan nomor urut dua ini ada penurunan, namun tingkat soliditas antarkonstituen yang digerakkan oleh mesin parpol tetap terjaga, hal ini dikarenakan oleh strategi penyebaran informasi yang cenderung seragam diterima oleh para konstituennya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline