Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Terorisme dan "Kekalahan" Budaya

Diperbarui: 11 Desember 2016   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa kali bangsa ini selalu dikejutkan oleh upaya-upaya kekerasan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang yang dengan sengaja membentuk atau membangun stigmatisasi rasa takut masyarakat yang sedang dalam keadaan hidup damai. Baru saja kita dikejutkan oleh peledakan bom molotov di sebuah gereja di Kalimantan, kini kita dibuat takut oleh penemuan bom panci daya ledak tinggi (high eksplosive) yang berhasil diendus aparat kepolisian di Bekasi, Jawa Barat. Bom panci yang ditemukan ini menurut informasi memiliki daya ledak tinggi hingga radius 300 meter dan rencananya akan diledakkan di Istana Negara. Bisa iya bisa tidak, kalau daya ledak bom ini mencapai radius sedemikian luas, maka dengan meledakkan diri di depan pintu Istana Negara nampaknya sudah cukup menghancurkan walaupun jarak antara gerbang dengan bangunan Istana sendiri bisa mencapai lebih dari 300 meter.

Kita tentu angkat topi dan apresiasi kepada pihak kepolisian yang dalam hal pemberantasan terorisme menggunakan pendekatan paradigma preventive justice alias pencegahan dini dalam upaya penegakkan hukum. Untuk terorisme dan radikalisme ekstrem memang perlu dikedepankan upaya preventif dengan berbagai macam cara, terutama bagaimana seharusnya melawan dan memberangus aksi terorisme itu sendiri melalui pemahaman budaya. Ideologi memang dapat dikalahkan oleh budaya dalam beberapa hal, karena ideologi yang dibangun oleh para pelaku teror selalu menghadapkan ketinggian budaya yang mereka miliki dan menganggap budaya lain (Barat) lebih rendah dibanding mereka. Konstruksi ideologi yang dibangun oleh para teroris bahkan juga mengecam budaya yang terkait dengan prinsip keagamaaan yang mereka anut sendiri. Pendangkalan mereka terhadap agama dan juga budaya, membuat mereka antidialogis dan buta reinterpretasi terhadap pemahaman agama dan keyakinan yang sejauh ini mereka bangun.

Saya kira, anggapan banyak orang tentang adanya kekuatan internasional yang sengaja membangun dan menciptakan ideologi radikalisme-terorisme tidak seluruhnya benar, karena kebanyakan cikal-bakal radikalisme yang berujung pada terorisme berasal dari pendangkalan pemikiran terhadap keyakinanan keberagamaan. Ini artinya, bahwa mencegah terorisme memang harus dimulai dari perlawanan terhadap ideologi mereka dengan kebudayaan dan pemahaman keagamaan secara benar, bukan sekedar pada tindakan fisik, menghukum, menumpas, atau memenjarakan para teroris itu sendiri. Jutaan teroris yang dipenjara sekalipun, tidak akan menyelesaikan masalah, karena ideologi yang mereka bawa tetap melekat sebagai sebuah penyimpangan yang sangat mudah ditularkan kepada pihak lain. Ada benarnya juga ketika negara kemudian menghendaki bahwa Pancasila bisa dijadilan “alat” untuk melawan ideologi terorisme yang selama ini justru semakin kering dalam aplikasi kebangsaan dan kebhinekaan.

Sebagai seorang yang pernah lahir pada masa Orde Baru, saya kira penanaman ideologi Pancasila serasa dibutuhkan sebagai bagian dari “budaya” Indonesia yang dapat meng-counter tumbuhkembangnya beragam ideologi lain yang justru bisa saja bertentangan. Peran pemerintahan Orde Baru dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat dinilai cukup berhasil terlepas dari adanya upaya pengalihan strategi politik yang dibangun pihak rezim waktu itu. Lagi pula, Pancasila merupakan ideologi negara yang sama sekali terlepas dari keyakinan agama apapun, walaupun nilai-nilai kemanusiaannya mengambil dari keyakinan dan budaya warga negara Indonesia. Pasca Orde Baru, Pancasila hanya menjadi sebuah “wacana” yang sekedar alat legitimasi politik, tetapi nilai-nilainya yang luhur justru semakin ”kering” bersamaan dengan kebencian masyarakat terhadap rezim Orde Baru.

Menyebarnya ideologi terorisme sejauh ini memang berasal dari pendangkalan pemahaman terhadap persepsi keagamaan yang mereka miliki. Para penganut ideologi terorisme selalu menganggap bahwa kebudayaan lain (Barat) lebih unggul dan kebudayaan mereka “lebih rendah” sehingga untuk memperlihatkan “keunggulan” budaya mereka harus ditunjukkan melalui “perlawanan” kepada pihak lain. Berbagai praktek indoktrinasi paham radikalisme-terorisme biasanya berasal melalui “benturan” budaya yang mereka tanamkan, dimana bahwa “budaya lain” diluar mereka merupakan sebuah kejahatan yang harus ditumbangkan dengan cara apapun. Mereka seringkali lupa, bahwa perbedaan budaya semestinya dihargai dan dihormati karena setiap manusia lahir tentu berdasarkan budaya yang mengitarinya dan hidup bersosialisasi diikat oleh nilai-nilai budaya yang mereka anut sendiri. Persepsi “kekalahan” budaya kemudian menjelma menjadi sebuah “ketakutan” akan unggulnya budaya lain yang akan menggerus kekuatan mereka, sehingga perlu dilakukan perlawanan terhadap mereka yang budayanya selalu diunggulkan. Islam misalnya mengajarkan untuk saling ta’aruf (mengenal dan membangun kerjasama) antarsuku, budaya, bangsa dan bahkan agama. Sebagaimana ditegaskan al-Quran, “dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal,” (QS. Al-Hujurat: 13).

Jika sejauh ini radikalisme-terorisme kemudian didisain hanya untuk menyudutkan dan mendiskreditkan umat Islam, tentu saya sangat tidak setuju. Karena Islam dan terorisme merupakan dua hal yang berbeda, seperti halnya juga dengan agama-agama lain. Terorisme yang kemudian membenturkan budaya dan agama, tidak hanya terjadi kepada mereka yang “berkedok Islam”, beberapa praktek kekerasan terhadap budaya dan agama juga terjadi seperti di Irlandia Utara ketika Protestanisme berperang melawan Katholikisme atau di Myanmar dimana terjadi kekerasan bahkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan umat Budha terhadap umat muslim di Rohingya. Kasus ini menunjukkan adanya klaim terhadap “keunggulan” dari salah satu budaya dan harus melenyapkan budaya lain yang dianggap “lebih rendah”. Jadi, terorisme merupakan ideologi yang ditanamkan atas dasar “kebencian” dan ketakberdayaan menerima setiap perbedaan dan kebhinekaan sehingga mereka merasa “kalah” atas keunggulan budaya lain. Padahal, proses westernisasi atau modernisasi merupakan pilihan setiap orang, menerima atau meninggalkan tanpa harus dilakukan dengan cara-cara kekerasan yang berlebihan.

Terorisme “berkedok Islam” saat ini sedang mengalami penetrasi yang luar biasa, bahkan menjadi sebuah gerakan yang terikat dalam sebuah institusi atau kelompok tertentu yang memiliki jaringan saling terhubung. Beberapa kali misalnya, TNI ataupun Polri memberikan gambaran tentang meluasnya paham ISIS di hampir seluruh negara, bahkan basis-basis ISIS sudah semakin dekat dengan Indonesia karena mereka sudah lebih dulu membangun jaringannya di Filipina Selatan. Walaupun desas-desus bahwa ISIS merupakan bagian dari konspirasi internasional untuk menyudutkan dunia Islam, namun tetap mereka menyebarkan ideologi teroristik yang sangat membahayakan, terutama sasarannya adalah mereka yang awam (laymen) terhadap pemahaman agama Islam. Teknik penanaman ideologi radikalisme-terorisme biasanya menyasar mereka yang memang secara pemahaman agama dangkal, ditambah oleh semangat “kekalahan” budaya yang terus menerus didengungkan sebagai sarana memperkuat persemaian ideologi mereka. Bersyukurlah mereka yang mampu berdamai antara keyakinan yang dianut dengan nilai-nilai budaya yang telah lebih dahulu hadir, karena mereka cenderung tahan terhadap gempuran ideologi terorisme.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline