Kita tentu tidak tahu, sejauh mana para aktivis yang ditangkap aparat kepolisian sebelum Aksi Damai 212 yang lalu telah terbukti melakukan tindakan makar. Dari hasil rapat dengar pendapat (RDP) pihak kepolisian dengan Komisi III DPR pun nampaknya bukti-bukti yang menyebutkan kesepuluh aktivis yang ditengarai berbuat makar ini masih ditutupi pihak berwenang.
Dugaan kuat perbuatan makar masih dalam versi kepolisian sehingga masih bisa dipertanyakan benarkah sebenarnya mereka berbuat makar? Tujuh orang aktivis, termasuk musisi Ahmad Dhani hanya selang beberapa jam kemudian dibebaskan, namun tiga di antaranya sampai saat ini masih ditahan oleh pihak berwenang. Inilah kemudian yang semakin membuat tanda tanya publik, jika memang mereka dianggap makar, kenapa ada yang langsung dibebaskan sedang yang lain masih ditahan. Berarti, bukti-bukti makar yang dilakukan para aktivis ini terlihat kurang kuat.
Jika mengacu pada delik pasal 87 KUHP bahwa, “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan (bukan semata-mata kehendak)”. Mungkin delik ini bisa dipakai untuk mereka yang hanya melakukan niat semata-mata untuk berbuat makar, walaupun memang hanya permulaan. Saya memang bukan ahli hukum, tetapi paling tidak, memberikan status pemufakatan makar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, biasanya didahului oleh menyusun kekuatan-kekuatan tertentu yang biasanya memang telah dipersenjatai.
Umumnya pemufakatan makar selalu terkait dengan upaya penggulingan pemerintahan yang sah dan dilakukan dengan pasukan dan anggota bersenjata. Padahal, sebelum Aksi Damai 212 digelar, Panglima TNI dan juga Menhan telah lebih dahulu menegaskan tidak mungkin ada aksi makar yang akan “menunggangi” aksi tersebut.
Sejauh ini, pihak kepolisian hanya menjelaskan bahwa bukti-bukti para aktivis itu melakukan makar sudah didapat dari internet, walaupun hingga saat ini publik masih belum banyak tahu sebenarnya seperti apa pernyataan, hasutan atau ujaran makar mereka yang dianggap sebagai bentuk pemufakatan jahat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Mungkin saya sedikit tahu, bahwa Sri Bintang Pamungkas yang pada saat penangkapan oleh aparat kepolisian masih mengenakan baju koko dan sarung yang terlihat masih menikmati kesejukan pagi, lalu tiba-tiba ditangkap.
Rahmawati Soekarnoputri bahkan masih dalam keadaan sakit dan sulit untuk berjalan tetapi tetap dilakukan penangkapan atas dirinya. Untuk Sri Bintang sendiri memang tokoh satu ini sudah menjadi “bulan-bulanan” rezim Orde Baru yang seringkali ditangkap atas tuduhan makar melawan negara. Berurusan soal makar nampaknya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Sri Bintang, namun di usia yang sudah senja seperti sekarang ini, agak diragukan kalau dia kemudian masih saja berurusan dengan pihak kepolisian atas tuduhan makar.
Ada salah satu pernyataan yang menarik yang dilontarkan Mayjen TNI (Purn) Kivlain Zein saat diwawancari wartawan, bahwa dia ditanya soal sah atau tidaknya presiden dan wakil presiden saat ini. Menurut dia, sesuai dengan UUD 1945 sebelum amandemen, presiden dan wakil presiden yang saat ini ada adalah tidak sah, karena seharusnya mereka diangkat melalui sidang MPR, namun sah keduanya jika dipilih secara langsung karena UUD 1945 sudah diamandemen sehingga presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Saya kira, ini sebuah pernyataan yang masuk akal, karena persoalan pengangkatan kepala negara disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku. Jika pernyataan ini dianggap sebagai bentuk “pemufakatan jahat” yang terindikasi makar, tentu terlampau jauh penilaiannya. Kivlan Zein yang saya tahu dari pemberitaan media adalah sosok yang paling keras bersuara soal kekhawatiran dirinya tentang kemunculan Komunisme Gaya Baru (KGB) yang belakangan ditengarai mulai muncul sebagai kekuatan politik yang masih dalam gerakan “bawah tanah”.
Saya justru melihat, sejauh ini di antara kesepuluh aktivis itu dinilai sebagai orang-orang yang sangat aktif menyampaikan kritik yang cukup keras terhadap pemerintahan saat ini. Mereka termasuk orang-orang yang “tidak disukai” oleh penguasa dan pada tahap tertentu juga “dibenci” oleh mereka yang pro-penguasa. Di ranah sosial media, nama Ahmad Dhani dan Ratna Sarumpaet sering disebut-sebut sebagai sosok yang kritis terhadap kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama sehingga dicap “miring”, di-bully dan dibenci oleh banyak para aktivis media sosial yang memang pro-penguasa. Bisa jadi bahwa tekanan yang begitu kuat dari masyarakat yang “membenci” dua sosok ini, apalagi banyak pernyataannya yang nyinyir di media sosial menjadi pintu masuk kepolisian untuk menjerat mereka dengan delik undang-undang ITE dan bisa lebih jauh yaitu melakukan penghasutan dan pemufakatan jahat yang mengarah kepada tindakan makar. Hal ini juga ditegaskan oleh Kapolri, bahwa bukti-bukti kuat soal kegiatan makar justru didapat dari internet, sebagaimana dijelaskan pada saat RDP dengan Komisi III DPR.
Soal makar atau tidak memang memiliki beragam sudut pandang, kapan dan bagaimana sesuatu itu bisa dianggap sebagai perbuatan makar atau pemufakatan jahat. Kepolisian nampaknya menganut teori preventive justice sehingga pencegahan perbuatan makar lebih didahulukan walaupun bukti “perbuatan” pemufakatan jahat itu belum terjadi. Seorang ahli pidana Loebby Luqman berpendapat, Indonesia sebenarnya menganut teori objektif soal perspektif makar. Menurutnya, makar itu bisa disebut kalau terjadi ada tindakan-tindakan lanjutan. Kalau hanya sebatas statement atau niat yang tak dijalankan culup jauh, ya belum makar. Apalagi jika kemudian dituduhkan kepada sebagian di antara mereka yang bermufakat melaksanakan sidang istimewa MPR untuk memakzulkan pemerintahan yang sah sepertinya masih jauh panggang daripada api.
Bagi saya, rezim ini adalah anak kandung reformasi yang seharusnya tidak menjadi kembali ke masa lalu seperti rezim Orde Baru. Jika perbedaan pendapat apalagi aspirasi publik yang dialamatkan sebagai bentuk kritik kepada penguasa lalu dianggap perbuatan makar dan ditangkap, justru suatu kemunduran bagi demokrasi. Yang ada malah nanti masyarakat cenderung takut untuk mengeluarkan pendapat karena alih-alih melakukan kritik malah ditangkap sebagai pelaku makar.