Sengaja judul ini dibuat sedemikian mengingat seakan-akan hiruk-pikuk Pilkada Jakarta dihadapkan oleh sebuah realitas pertarungan politik yang melibatkan “Tuhan” dan juga “pasukan-Nya”. Pilkada Jakarta serasa dalam kondisi “Perang Suci” dimana agama mulai terlibat dipergunakan sebagai alat politik untuk memberikan semangat kepada para pendukungnya. Kondisi ini paling tidak menggambarkan bahwa realitas ketuhanan yang ada ternyata tidaklah monolitik atau tunggal, tetapi “pasukan-pasukan” pendukung yang ada sepertinya digerakkan oleh “Tuhan-Tuhan” yang berbeda. Padahal, sebenarnya Indonesia justru dapat bersatu secara historis karena adanya sebuah kalimat penting dalam dasar negara, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kemudian diterima dan diyakini oleh semua agama sehingga Bumi Pertiwi ini dipersatukan.
Jadi dengan demikian, sebenarnya “Tuhan” itu realitasnya tunggal atau jamak? Pertanyaan seperti ini nampaknya sulit dijawab mengingat masing-masing agama sepertinya memiliki “Tuhan” sendiri-sendiri. Agama memang berparadigma salvation (jalan keselamatan) sehingga masing-masing pemeluk agama memiliki keyakinan sendiri-sendiri dalam upaya bagaimana konsepsi “keselamatan” tersebut dipahami dan diaktualisasikan. Sehingga wajar jika kemudian muncul pertanyaan, “Benarkan jalan keselamatan Tuhan hanya dimonopoli oleh sebuah tradisi agama tertentu?” Pertanyaan ini memang akan sangat sulit dijawab dan seringkali menggelisahkan keimanan seseorang. Konsep salvation terkadang ketika diartikulasikan memiliki standarisasi nilai kebenaran bersifat personal sehingga setiap pemeluk agama-pun pada akhirnya berbeda dalam standarisasi soal nilai-nilai kebenaran yang diyakininya.
Berangkat dari paradigma salvation dalam agama, maka agama tentunya memiliki seperangkat keyakinan diantara para pemeluknya yang pada tahap tertentu, proses eksternalisasinya senantiasa melibatkan kegiatan yang bersifat persuasif atau bahkan intimidatif. Oleh karena itu, berdasarkan keyakinan agamanya, seseorang ketika melihat orang lain berada dalam keadaan salah, berdosa atau dalam lingkungan yang tidak benar sesuai persepsi dirinya, maka dia bisa saja melakukan tindakan secara persuasif atau jika memungkinkan dilakukan dengan cara intimidatif untuk mengeluarkan orang lain dari kondisi yang salah tersebut.
Sama halnya ketika dalam persoalan pilihan politik, ketika agama kemudian mulai dilibatkan didalamnya, maka sudah pasti pilihan-pilihan politik harus didasarkan pada kesamaan persepsi secara agama pula. Realitas Pilkada Jakarta saat ini nampaknya mulai diramaikan oleh “perang politik” berdasarkan asumsi keagamaan tersebut dan itu dilakukan oleh masing-masing pendukung agama, baik muslim maupun non-muslim.
Fenomena ini terlihat dari beragam pemberitaan media yang ramai memberitakan dukung-mendukung kepada calon pemimpin Jakarta berdasarkan latar belakang agama. Anehnya, antara satu media dengan media yang lainnya justru menyuguhkan informasi yang berbeda, tergantung siapa “penguasa” yang berpengaruh di balik media tersebut. Sebut saja, misalnya ada dukungan PBNU agar memilih pemimpin muslim pada Pilkada Jakarta di salah satu media cetak nasional, tetapi di media online justru memberikan informasi bahwa NU dan Muhammadiyah bersikap netral dalam Pilkada Jakarta.
NU dan Muhammadiyah merupakan ormas Islam yang cukup besar di Indonesia dan memiliki “suara” di tingkat akar rumput yang cukup besar. Dengan demikian, kondisi real pada masyarakat Jakarta yang bisa jadi terdiri dari kelompok yang memiliki ikatan “kultural keagamaan” dengan dua ormas tersebut, bisa saja mengikuti arahan dari para pemimpinnya.
Konstelasi politik jelang Pilgub DKI Jakarta rasanya mengingatkan kita pada pertarungan kekuasaan masa lampau yang melibatkan “pasukan-pasukan Tuhan”. “Tuhan” seakan dipilih untuk memimpin dan menggerakan “pasukannya” untuk “berperang” melawan pasukan lain yang juga dipimpin oleh “Tuhan” yang berbeda. Pilihan-pilihan politik yang bersifat profan saat ini seakan-akan diarahkan menjadi sakral, bahwa ketika seseorang salah dalam pilihan politik sama artinya dengan “melawan Tuhan” itu sendiri.
Hal ini saya saksikan sendiri melalui banyak video, pernyataan, meme yang tersebar di media sosial yang mempertontonkan dukungan kepada salah satu cagub DKI Jakarta yang didasarkan pada persepsi dan keyakinan suatu agama tertentu (religious truth), bukan pada realitas yang lebih rasional, seperti program kerja, keberhasilan dan track record yang baik, teladan sebagai pemimpin atau hal-hal lainnya yang berkonotasi profan.
Dalam membaca demografi politik di Jakarta, memang lebih mudah jika membagi tipologi pemilih berdasarkan realitas agama, muslim dan non-muslim. Meskipun kenyataannya tidak juga semua pemilih muslim akan memilih pemimpin yang muslim, begitupun sebaliknya yang non-muslim akan menjatuhkan pilihannya kepada pemimpin sesama non-muslim. Dalam sebuah rilis salah satu lembaga survey di Jakarta, preferensi pemilih berlatar belakang muslim di DKI Jakarta memang terbesar, yaitu 90 persen dan 10 persen sisanya merupakan pemilih yang berasal dari non-muslim.
Dari rilis survey ini kemudian diperluas dengan mengajukan sebuah asumsi bahwa dari 90 persen pemilih muslim, hanya 35 persen merupakan pemilih yang resistensi terhadap latar belakang agama. Sementara sebanyak 60 persen pemilih yang berlatar belakang muslim di DKI Jakarta masih mempertimbangkan faktor program, pribadi pemimpin dan kebijakan selama memimpin.
Membaca survey ini ketika tipologi pemilih didasarkan oleh realitas keagamaan, maka sebenarnya preferensi pemilih Jakarta masih di dominasi oleh pemilih berdasarkan pertimbangan rasional. Politik dan berbagai pilihan dan dukungannya, mengindikasikan sesuatu yang berada pada wilayah profan dimana nalar lebih condong didalamnya.