Calon gubernur pejawat, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok belakangan semakin getol melakukan manuver politik menjelang digelarnya kontestasi politik di DKI Jakarta. Sebagai seorang pejabat yang memiliki seluruh kekuatan dan akses luas terhadap birokrasi, Ahok sukses memberikan shock therapy kepada para bawahannya di lingkungan birokrat yang dia pimpin untuk tunduk dan mengikuti seluruh perintahnya. Sudah tak terbilang, berapa banyak para pejabat yang tiba-tiba “mental” dari kungkungan birokrasi Ahok hanya karena adanya ketidakcocokan atau silang pendapat yang diekspose ke publik. Dari mulai RT/RW dari tingkat paling rendah, para lurah, camat, kepala dinas, bahkan hingga walikota. Bahkan baru-baru ini, orang nomor tiga di lingkungan pemprov DKI Jakarta, diisukan bahkan mulai renggang dengan atasannya, Ahok. Alasannya, karena dia justru dianggap bermanuver atau “berpolitik” karena sama-sama dicalonkan menjadi kontestan politik pada perhelatan kontestasi politik di Pilkada DKI.
Disisi lain, pemprov DKI Jakarta selama kepemimpinan Ahok juga rajin melakukan pembenahan tata kota, dari mulai penertiban para pedagang ilegal, bangunan liar, pengemis jalanan, premanisme, pengelolaan banjir, transportasi publik, pendidikan, kesehatan dan yang paling dikenal belakangan adalah penggusuran bangunan dan penertiban warga yang tinggal di lokasi-lokasi yang dianggap “ilegal” oleh otoritas setempat. Sudah berapa banyak wilayah yang ditertibkan dan digusur sehingga warga DKI Jakarta “terpaksa” harus pindah ke tempat lain yang telah disediakan atau dibiarkan? pihak pemprov DKI. Penggusuran-penggusuran ditengah semakin dekatnya Pilkada DKI, merupakan upaya manuver untuk memecah-belah daerah pemilihan (dapil) yang akan mengganggu pemutakhiran data pemilih pada peta pemilihan Pilgub DKI nantinya. Warga DKI yang tergusur, kemungkinan besar tidak akan memilih padahal mereka tercatat sebagai pemilih di wilayahnya yang telah digusur. Mengacaukan daerah pemilih, mirip dengan strategi Gerrymandering, yang sengaja memanipulasi aturan atau daerah pemilihan agar pihak lawan politik dapat terkecoh dan kalah dalam pemilihan umum.
Dalam sebuah media cetak nasional, disebutkan bahwa Ketua KPU DKI Jakarta bahwa beberapa penggusuran yang terus berlangsung di wilayah Ibu Kota, akan menyulitkan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) ketika melakukan tugas mereka di lapangan. Bagaimana tidak, ketika petugas melakukan pendataan, para korban gusuran dipastikan sudah menyebar secara sporadis pindah ke tempat-tempat lain, ada yang ngontrak atau indekos. Nah, mereka yang terkena dampak penggusuran jelas tidak memiliki kesesuaian antara KTP yang mereka punya dengan alamat tempat tinggal mereka yang baru. Para petugas pemutakhiran data pada akhirnya tetap akan mengacu kepada data yang ada sebelumnya, karena sulit melakukan pemutakhiran data karena keterbatasan waktu. Pola seperti ini bisa dimanfaatkan untuk membuat sebuah distrik khusus dengan memanipulasi daerah pemilihan (district) yang cenderung mengakibatkan ketidakadilan (malapportionment). Pola seperti ini biasanya seringkali dilakukan incumbent untuk melanggengkan kekuasaan mereka yang dengan off the record menggunakan jalur-jalur kuat di birokrasi.
Strategi politik pejawat Ahok tidak berhenti pada tataran infrastruktur sosial, tetapi merambah wilayah undang-undang yang mengatur bagaimana seharusnya seorang pejawat ketika mencalonkan kembali pada kontestasi politik seperti Pilkada. Protes terhadap infrastruktur politik yang tercermin dalam UU Pilkada dia gugat. Alasannya, UU Pilkada No 10 tahun 2016 yang mengatur cuti kandidat pejawat dianggap inkonstitusional karena menghembat pekerjaan Ahok dalam membangun Jakarta. Ahok menolak cuti kampanye bagi pejawat, karena khawatir bahwa cuti kampanye yang “dipaksa” oleh UU Pilkada justru akan mengganggu pembahasan APBD DKI. “Para begal” anggaran dikhawatirkan akan kembali memanipulasi APBD DKI karena tidak terkontrol oleh Ahok dan kasus-kasus UPS akan datang lagi menggerogoti kekayaan negara. Pada hal ini, keberatan Ahok untuk tidak mau cuti kampanye memang masuk akal, karena dirinya hanya menjadi outsider tidak bisa turut andil dalam memutuskan kebijakan strategis, termasuk mengawal APBD DKI yang memang rawan.
Namun demikian, siapapun akan melihat bahwa manuver-manuver politik Ahok jelang Pilkada DKI ini cenderung tidak konsisten. Dulu Ahok konsisten di jalur independen dalam memenuhi keinginannya menjadi orang yang bebas dari “cengkraman” parpol dan membentuk solidaritas politik “Teman Ahok” sebagai komunitas pendukungnya. Tetapi, karena kekuatan politik independen dinilai kurang kuat, Ahok akhirnya meninggalkan Teman Ahok dan rela didukung partai politik. Tak ada independen, tak ada Teman Ahok, yang ada hanyalah parpol yang paling realistis jika akan bertarung di Pilgub DKI Jakarta. Ahok sudah terbiasa melakukan jumping politik dan tidak konsisten dalam politik, bagaimana tidak, berapa kali Ahok berpindah dari satu parpol ke parpol lain hanya karena ingin kekuasaan? Yang lebih menarik dibalik getolnya Ahok melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi soal cuti pejawat yang dianggap mengamputasi kewenangannya sebagai gubernur, pada tahun 2012 lalu, Ahok malah gencar menyuruh Fauzi Bowo agar melakukan cuti selama kampanye cagub DKI dan juga diuji materilkan aturannya di MK.
Saya justru khawatir, ditengah manuver-manuver politik yang sedang dilakukan Ahok, justru sedang memperkuat seluruh struktur birokrasi yang berada di bawah kewenangannya. Seorang incumbent tentunya memiliki seluruh sumberdaya birokrasi sehingga potensi abuse of power justru cukup besar. Padahal, birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang jauh dan tidak tercemari anasir-anasir kekuatan politik tertentu yang diarahkan dan berasal dari penguasa. Birokrasi modern seharusnya netral sebagaiman Max Weber menyatakan, “Birokrasi hanya berperan menjadi fungsi pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan”. Demikian birokrasi modern yang rasional, dia harus bebas nilai, jauh dari aktivitas nepotis apalagi secara terselubung menguntungkan pihak tertentu yang sedang berkuasa. Jika birokrasi kemudian dikendalikan apalagi diatur sedemikian rupa yang justru dilakukan menjelang kontestasi politik seperti Pilkada, justru mencederai demokrasi dan akan memberikan rasa ketidakadilan masyarakat.
Ahok terihat terus bermanuver bahkan ditengah resistensi publik yang semakin mengeras. Walaupun kenyataannya, bahwa hasil beragam lembaga survey masih menempatkan Ahok sebagai calon unggulan, namun popularitas tidaklah sama dengan elektabilitas. Popularitas Ahok memang unggul dalam banyak hal, tetapi elektabilitas terkadang dapat bicara lain. Bahkan, ketika Pilgub DKI 2012 Jakarta lalu, elektabilitas Foke jauh mengungguli Jokowi, tetapi Jokowi justru bisa mengalahkan pejawat waktu itu. Saya melihat, ada upaya-upaya tak tulus (politisasi) yang secara terang-terangan sedang dijalankan calon pejawat Ahok dalam meraih kemenangan di Pilkada DKI nanti. Ketidak tulusan justru diperlihatkan di fase-fase akhir jelang Pilkada DKI Jakarta digelar, sehingga kesan politisasi yang sedang dijalankan sangat kental. Lalu, ketika sudah tidak ada ketulusan, masihkah tulus membangun Jakarta?
Wallahu a’llam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H