Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Politisasi Arab Saudi dan Kuota Haji Indonesia

Diperbarui: 8 September 2016   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Persoalan Haji di Indonesia menyangkut masalah kuota yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi nampaknya selalu menjadi persoalan. Kaum Muslim Indonesia yang berniat melaksanakan ibadah Haji selalu ngaret dari tahun ke tahun, bahkan terkadang tidak jelas tahun berapa diberangkatkan jika melihat ketersediaan kuota haji Indonesia saat ini. 

Dari daftar waiting list yang ada di situs Kementrian Agama RI, bahkan ada kabupaten yang masa tunggu haji sampai tahun 2056, sungguh sebuah penantian yang cukup panjang untuk mewujudkan keinginan Muslim melaksanakan haji. Sebenarnya, tidak hanya persoalan penetapan kuota yang minim saja dari Pemerintahan Arab Saudi untuk Indonesia, tetapi juga perlu pembenahan menyeluruh dari pemerintah agar kaum Muslim Indonesia tidak terlalu lama menunggu antrian berangkat haji.

Sebagaimana diketahui, penetapan kuota haji untuk setiap negara telah disepakati pada KTT OKI di Yordania pada 1986 yang lalu dengan rasio 1:1000, atau setiap seribu penduduk di sebuah negara maka hanya 1 orang yang mendapat jatah kesempatan berangkat haji. Indonesia berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, jika dirata-ratakan umat Muslim berjumlah 200 juta, maka kuota haji untuk Indonesia adalah 200 ribu orang. 

Namun demikian, dari sejak kesepakatan KTT OKI 1986 hingga sekarang, asumsi kuota haji Indonesia kelihatannya tetap sejak 1986, yaitu hanya 200 ribu orang, padahal jumlah penduduk Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Minimnya kuota haji Indonesia ini kemudian semakin diperparah oleh kondisi di Arab Saudi yang sedang merenovasi Masjidil Haram, sehingga beberapa tahun belakangan ini porsi kuota haji Indonesia dipangkas. Rasio yang ditetapkan KTT OKI sejak 1986 ternyata tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat setiap tahun.

Persoalan kuota yang minim diberikan pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia, sangat berdampak terhadap adanya upaya-upaya ilegal yang dimanfaatkan oleh para pebisnis travel haji untuk  menggunakan kuota haji negara lain yang masih tersisa. Lamanya antrian haji di Indonesia juga sangat berdampak pada kondisi jamaah yang enggan menunggu terlalu lama sehingga berusaha  mencari “jalur cepat” bagaimanapun caranya. 

Musibah dari dampak minimnya kuota haji terbesar adalah pada tahun ini, ketika lebih dari 177 jamaah haji Indonesia justru gagal berangkat karena menggunakan kuota sisa haji “ilegal” untuk negara Filipina. Sungguh sebuah paradoks disaat haji yang diniati sebagai ibadah tetapi justru menjadi musibah akibat jadwal antrian haji di Indonesia yang sangat panjang. Musibah jamaah haji di Filipina seharusnya dapat memberikan warning kepada pemerintah Indonesia agar dapat memperbaharui porsi kuota haji Indonesia, baik dengan melakukan lobi kepada pemerintah Arab Saudi seraya mulai menata kembali pengelolaan haji Indonesia secara lebih baik.

Memang, tidak mudah begitu saja meyakinkan pemerintah Arab Saudi agar rela memberikan porsi tambahan untuk kuota haji Indonesia. Berbagai lobi politik pemerintah Indonesia kepada pemerintah Arab Saudi agar memenuhi permintaan penambahan kuota haji nampaknya tidak direspon secara serius, karena faktanya, kuota haji Indonesia tetap pada kisaran angka 200 ribu sampai saat ini. 

Bahkan pada kesempatan KTT G20, Presiden Jokowi bertemu khusus dengan Pangeran Muhammad Salman di Hangzou Cina, agar Indonesia dapat diberikan kuota tambahan haji bila perlu dengan mengambil kuota negara lain yang tidak terpakai. Beberapa kali pemerintah Indonesia melalui Kemenag telah lebih dulu melakukan lobi-lobi politik soal permintaan tambahan kuota haji ini, tetapi nampaknya belum ada respon yang serius dari pihak pemerintahan Arab Saudi.

Haji memang sejatinya merupakan kewajiban bagi setiap orang Muslim, tetapi persoalan kapan berangkat dan diterima atau tidaknya merupakan persoalan lain, karena harus disesuaikan dengan aturan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi. Saya kira, secara sosial-politik, Arab Saudi cenderung menutup diri dengan memposisikan dirinya sebagai Khadim al-Haramayn (Penjaga dua Tanah Haram: Mekkah dan Madinah) sehingga untuk persoalan haji, mereka memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur dan menata persoalan ibadah haji untuk seluruh dunia.

Arab Saudi terkesan menolak intervensi dari negara Muslim lainnya mengenai persoalan tata kelola haji, karena secara politik, Arab Saudi memiliki kedaulatan atas Khadim al-Haramayn. Padahal, pernah ada upaya “internasionalisasi” haji dari beberapa negara mayoritas Muslim agar mereka dapat dilibatkan secara khusus untuk menata dan menentukan perihal haji bagi warga negaranya. 

Namun sejauh ini, otoritas Arab Saudi selalu menolak untuk segala macam upaya internasionalisasi haji tersebut. Beberapa negara penyumbang devisa terbesar dari haji, seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Turki dan Nigeria seharusnya dapat lebih mudah diterima ketika melakukan diplomasi atau negosiasi yang terkait dengan kuota jamaah haji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline