Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Kekuatan Kita adalah Keberagaman dan Perbedaan

Diperbarui: 2 Agustus 2016   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ungkapan Presiden Joko Widodo yang saya kutip dan dijadikan judul dalam tulisan ini seharusnya dapat memberikan kesadaran yang mendalam bagi seluruh bangsa Indonesia bahwa inti kekuatan dari bangsa ini adalah kesatuan dalam keragaman. Indonesia sejak zaman Majapahit merupakan gugusan pulau-pulau yang mampu bersatu dalam keragaman dan membentuk Nusantara, bahkan berdirinya negara ini juga merupakan sebuah keinginan bersama atas dasar keragaman tetapi memiliki semangat yang sama, yaitu persatuan.

Sulit mencari negara dimanapun yang bersatu dalam keragaman jutaan pulau yang terpisah-pisah, dengan perbedaan budaya, adat istiadat, bahasa bahkan agama tetapi berhasil dipersatukan seperti di Indonesia. Jika tidak ada lagi semangat  keberagaman dan tidak sanggup menerima perbedaan, maka Indonesia niscaya hanya tinggal sebuah nama yang mungkin sekedar menjadi sejarah dalam ingatan diri kita masing-masing.

Namun demikian, proses transformasi sosial yang begitu cepat akibat arus globalisasi telah menggeser fungsi-fungsi sosial menjadi kapital sehingga yang terbentuk adalah sebuah masyarakat yang lebih mementingkan keuntungan individual atau kelompok bukan berdasarkan semangat kepentingan bersama.

Perubahan dari sebuah masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang begitu cepat tampaknya tidak dibarengi oleh penguatan institusi-institusi sosial yang ada, sehingga kemudian membentuk sekat-sekat dalam kelompok masyarakat. Sekat-sekat itu bisa saja menjadikan serpihan-serpihan dalam masyarakat yang tercermin dalam kelompok primordialis, agamis bahkan politis. 

Kepingan-kepingan kelompok dalam masyarakat ini ketika terus dibiarkan akan memicu persoalan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sehingga sangat mungkin menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan memporak-porandakan struktur dalam sebuah masyarakat.

Bom waktu yang bernama SARA itu sepertinya belakangan ini mulai disulut dan mempertontonkan letupan-letupan bertingkat, dari yang hanya letupan kecil hingga membesar. Sejak bulan Juli 2015 sampai Agustus 2016 telah terjadi serangkaian konflik yang bernuansa SARA di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. 

Dimulai oleh kerusuhan Tolikara pada Juli 2015 dengan dibakarnya sebuah Musholla menjelang Shalat Idul Fitri, dibakarnya Gereja di Aceh Singkil hingga kerusuhan di Tanjung Balai yang mengakibatkan terbakarnya enam Vihara dan Klenteng, menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sudah terpecah-pecah dalam perbedaan sekat-sekat primordialis dan kehilangan jati dirinya sebagai sebuah masyarakat yang pluralis. 

Kesadaran masyarakat terhadap keberagaman dan perbedaan yang terkikis justru semakin mempersulit ketika dihadapkan oleh sebuah persoalan dalam masyarakat, terutama persoalan-persoalan yang mengandung unsur SARA.  

Padahal, pluralisme merupakan sebuah keniscayaan dalam masyarakat yang terbungkus dalam bingkai kesadaran bersama (collective conscience) yang dibangun berdasarkan seperangkat nilai, norma atau kepercayaan yang ada dalam setiap masyarakat. Kesadaran yang baik setiap individu dalam sebuah masyarakat terhadap kenyataan perbedaan dan keragaman yang ada dalam lingkungannya akan cenderung melahirkan sikap akomodatif dan mudah melebur dalam entitas masyarakat yang plural. 

Berbeda dengan kenyataan jika tingkat kesadaran masyarakat yang minim terhadap penerimaan perbedaan dan keragaman cenderung rumit dalam menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan. Timbulnya beragam konflik dalam masyarakat, termasuk yang ditimbulkan oleh sentimen SARA, merupakan wujud dari rendahnya kesadaran setiap individu dalam menerima setiap perbedaan dan keragaman yang ada. 

Kondisi ini seringkali diperumit oleh kenyataan para pemuka adat atau agama yang tidak memiliki sikap toleransi karena semangat keagamaan atau kepercayaan yang terlampau berlebihan atau melenceng dari arah yang sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline