Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Menangkap Makna Sebenarnya Dibalik Sebuah Peristiwa

Diperbarui: 23 Juni 2016   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita benar-benar hidup dalam sebuah era informasi yang sangat mudah, cepat dan tetu saja massif, meskipun belum tentu semuanya memiliki tingkat akurasi data yang mendukung sehingga sebuah informasi bisa saja bernilai baik atau buruk, benar maupun salah. Sebagai manusia, kita diberikan anugerah oleh Tuhan beragam perangkat canggih yang dapat dengan mudah memilah, menyusun atau melihat lebih dalam terhadap sebuah informasi yang kita terima, sehingga kita bisa dengan mudah mengungkap maksud yang tersimpan dalam sebuah informasi tersebut. Jika diibaratkan sebuah buku, sekeliling kita merupakan realitas yang dapat kita baca, kita ungkap, hanya masalahnya sudahkan kita menggunakan mata, telinga, akal dan hati kita untuk membaca realitas di sekeliling kita? Apa jangan-jangan hanya mata kita yang dipergunakan, akal tidak mengiringi dan hati juga tidak mengamini?

Untuk membaca lingkungan sosial, kita bahkan tidak perlu harus keluar rumah, cukup membaca koran, nonton televisi, lihat internet atau cukup menunggu pesan-pesan berantai yang menghiasi gadget kita setiap hari dirasa sudah memenuhi kebutuhan kita akan informasi. Banyak sekali cerita-cerita di seputar kita yang justru semakin membuat kita lupa bahwa kita semakin sering menggunakan mata dan telinga, dan jarang bersentuhan dengan akal ataupun hati yang kita miliki. Anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita, ternyata tidak dapat secara maksimal kita pergunakan dan disinilah banyak kondisi jatuhnya martabat kemanusiaan akibat tidak dimanfaatkan akalnya dalam membaca setiap realitas sosial yang ada. Saat ini malah seringkali kita dipertontonkan oleh perdebatan sengit, adu argumen baik lewat tulisan maupun lisan, saling mengklaim kebenaran yang justru tidak lagi berdasarkan akal, tetapi lebih kepada penekanan emosi yang bersumber dari mata yang terkadang salah membaca realita.

Dengan menggali makna yang tersimpan dalam sebuah informasi dan realitas sosial, semestinya kita bisa mendapatkan pelajaran hidup. Misalkan, kita seringkali dihadapkan oleh berita-berita mengenai kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, pengusaha, politisi atau kelompok masyarakat yang mengkorupsi secara berjamaah seringkali kita lelah secara emosi, padahal jelas-jelas menyimpan banyak pelajaran hidup yang dapat kita renungkan dari makna sesungguhnya. Korupsi yang marak dilakukan oleh mereka yang justru secara strata kehidupan lebih baik, lebih kaya, lebih berpendidikan hendaknya kita lihat betapa kita seringkali tidak mensyukuri anugerah Tuhan yang berlimpah diberikan kepada kita. Kita terlampau cemas oleh ketakutan yang dibuat oleh diri kita sendiri dan cenderung mengenyampingkan anugerah Tuhan yang begitu besar. Kita hanya mampu memanfaatkan mata kita untuk membaca realitas, tetapi hati dan akal kita lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam salah satu kajian psikologi, sumber kebahagiaan seseorang sebenarnya adalah ketika bisa membahagiakan orang lain sebanyak mungkin. Peluang-peluang seperti ini seharusnya dimiliki oleh mereka yang berilmu, memiliki harta yang banyak atau mereka yang memiliki kekuasaan yang sanggup membuatan kebijakan publik yang juga membahagiakan banyak pihak. Namun sejauh ini, peluang-peluang ini hanya ditangkap sejauh mata memandang sebuah realitas, tidak dibenarkan oleh hati dan tidak pula dipertimbangkan oleh akal. Saya seringkali menyaksikan bahwa kehidupan mereka yang mewah, banyak harta, punya kedudukan dan jabatan, berkuasa justru tidak mensyukuri anugerah yang diberikan kepada mereka. Mensyukuri adalah memanfaatkan anugerah Tuhan secara benar sesuai sifat anugerah tersebut.

Dalam bahasa lain, mensyukuri jabatan adalah mendorong segala upaya kemaslahatan dan kebaikan sehingga jabatan dapat bermanfaat dan berguna sebagai bentuk amanat yang diembankan oleh rakyat. Jabatan tidak dibelokkan dari makna anugerah yang memiliki nilai kegunaan dan kebaikan yang diberikan oleh Tuhan. Mensyukuri ilmu dan keluasan wawasan adalah dapat mengajarkannya kepada orang lain dan dimanfaatkan demi kepentingan rakyat banyak, bukan sekedar kepentingan pribadi. Mensyukuri limpahan harta yang kita miliki adalah dapat menolong orang dan mengangkat derajat orang lain yang lemah disekeliling kita, bukan ditujukan untuk kesewenang-wenangan dan kesombongan.

Tetapi, seakan kita tampil menghadapi sebuah paradoks kehidupan, bahwa kekayaan, keluasan ilmu, kekuasaan dan jabatan justru semakin menambah masalah bukan menyelesaikan masalah kehidupan. Banyak orang yang terpinggirkan dan miskin ditengah meningkatnya kekayaan banyak orang, banyak orang bodoh dan tidak mengerti apa-apa ditengah maraknya para sarjana berpendidikan tinggi dan banyak orang yang tidak dapat pekerjaan ditengah sering dan mudahnya  pergantian jabatan diantara kita. Ingat, sebenarnya drama kehidupan kita tidak berakhir di sini, di dunia ini. Masih ada Hari Esok yang akan menyelesaikan persoalan ini secara adil dan fair. Kekesalan dan kemarahan kita kepada orang lain yang mengejar jabatan, harta atau kekuasaan hanya untuk kepuasan pribadi dengan merampas hak orang lain seharusnya diiringi oleh rasa terima kasih kita bahwa kita telah diberikan pelajaran tentang tak ubahnya mereka seperti anak-anak kecil yang membuat istana pasir di pantai lalu tiba-tiba buyar diterpa deburan ombak.

Maraknya sebuah informasi atau realitas sosial yang seringkali membuat kita marah, emosi bahkan tak jarang melakukan pembelaan-pembelaan yang belum tentu benar, sebenarnya apakah sudah membuat hidup ini meaningful atau tidak? Atau jangan-jangan apa yang kita bela adalah hal yang akan menjatuhkan martabat kita kelak? Tetapi semua akan kembali kepada pendapat diantara kita masing-masing sesuai dengan referensi hidup yang mereka pegang dan yakini. Sebagai orang yang bijak, tentunya akan lebih memanfaatkan seluruh anugerah yang ada dalam dirinya secara lebih baik dan proporsional. Kesalahan dalam mengambil makna dibalik sebuah informasi atau peristiwa adalah kegagalan dalam mengakses berbagai perangkat analisis yang dianugerahkan kepada kita. Disadari atau tidak, hanya mata dan telinga sebagai anugerah Tuhan yang saat ini lebih sering kita manfaatkan dibanding akal pikiran dan hati kita.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline