Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Memaknai Koalisi Antarpartai Jelang Pilkada DKI 2017

Diperbarui: 27 Mei 2016   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - pilkada (kompas.com)

Geliat partai politik (parpol) dalam menyikapi gelaran kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang semakin dekat sudah mulai dapat dibaca. Kekuatan-kekuatan politik yang ada di parlemen mulai menjajaki berbagai kemungkinan untuk mengukur seberapa besar keuntungan politik yang didapat ketika harus melakukan koalisi. Koalisi antar parpol pada gilirannya akan menominasikan siapa kandidat yang akan diusung dalam pilkada Jakarta nanti. 

Terdapat 10 parpol yang menjadi representasi kekuatan politik di parlemen –dalam hal ini DPRD DKI Jakarta—yakni PDIP, Gerindra, PKS, PPP, Demokrat, Hanura, Golkar, PKB, Nasdem dan PAN. Masing-masing dari kekuatan politik intra-parlemen ini terikat oleh persyaratan khusus agar dapat mengusung kandidatnya melalui apa yang disebut dengan koalisi. Koalisi parpol menjadi prasyarat sesuai dengan jumlah ambang batas (parliamentary treshold)—sekitar 20 persen dari total kursi DPRD—agar dapat mengajukan calon kandidat dalam mengikuti kontestasi Pilkada. Kursi DPRD DKI terbanyak diisi oleh PDI-P, yaitu 28 kursi sehingga partai ini seharusnya sudah dapat mengajukan kandidat sendiri dalam Pilkada Jakarta nanti.

Namun demikian, perolehan kursi yang representatif di parlemen belumlah menjadi ukuran bahwa kandidatnya nanti akan mulus dalam memenangkan pemilu. Parpol harus menjalin koalisi dengan partai lainnya yang memiliki basis kesamaan ideologi atau program kerja sehingga bisa lebih mudah memetakan jumlah suara (voters) pada saat pemilu nanti. 

Berbeda dengan kandidat independen, yang jelas tidak memerlukan koalisi karena dia maju secara personal dan diusung oleh kelompok masyarakat dengan syarat dapat membuktikan dukungan publik antara 6 sampai 10 persen dari total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ada di wilayah provinsi atau kabupaten/kota dimana dia mengikuti kontestasi politik. Persyaratan yang diberikan untuk kontestan independen memang cukup berat dibanding persyaratan pengajuan nominasi kandidat melalui jalur parpol.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, parpol sudah mulai melempar ke publik perihal kandidat terpilih yang akan dinominasikan dalam mengikuti kontestasi Pilkada nanti, meskipun nampaknya keputusan ini masih belum final. Partai Gerindra yang menempati posisi kedua pada perolehan kursi di parlemen setelah PDI-P, bahkan sudah lebih dulu memberikan sinyal dukungan resmi kepada pengusaha Sandiaga Uno disusul kemudian muncul nama Sjafrie Sjamsoeddin mantan Pangdam Jaya yang diusulkan oleh ketua umumnya, Prabowo Subianto. 

Beberapa nama lain yang disinyalir berasal dari kandidat parpol juga mulai ramai diketahui publik, seperti Haji Lulung (PPP), Suyoto (PAN), Ahmad Dhani (PKB) atau beberapa kandidat lain yang masih melobi parpol agar mendapat dukungan, seperti Yusril Ihza, Adhyaksa Dault atau Muhammad Idrus. Sedangkan calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tetap maju melalui jalur independen, meskipun sudah ada dua partai yang mendukung pencalonannya pada Pilkada DKI Jakarta.

Hal menarik dalam peta politik Pilkada DKI Jakarta kali ini adalah beberapa parpol yang memiliki mayoritas kursi di DPRD DKI Jakarta, seperti PDIP atau PKS belum menentukan atau melempar ke publik soal siapa kandidat mereka yang akan diusung dalam Pilkada Jakarta nanti. Bahkan parpol-parpol lain seperti Golkar dan Demokrat terkesan masih malu-malu membuka ke publik tentang siapa kandidat yang dijagokannya. Saya melihat, bahwa kekuatan politik intra-parlemen yang ada di DPRD DKI Jakarta masih melakukan penjajakan-penjajakan ke publik mengenai kandidat mana yang lebih “menjual” kepada rakyat, sehingga masih membutuhkan waktu untuk dapat mengusungnya secara resmi. Jalan yang akan ditempuh oleh parpol jika ingin mengusung kandidatnya sendiri hanya dapat dilakukan melalui koalisi antar partai. Koalisi dengan demikian adalah keniscayaan dalam sebuah sitem politik yang multi partai seperti Indonesia.

Semakin dekatnya perhelatan kontestasi politik di DKI Jakarta, seakan memaksa beberapa parpol agar mulai membuka ke ruang publik arah dukungan dan agregasi kepentingannya. Baru-baru ini, PDI-P sebagai parpol yang memiliki mayoritas kursi di DPRD DKI Jakarta telah memberikan sinyal akan berkoalisi dengan Gerindra dalam Pilkada DKI Jakarta. Koalisi ini dinilai sebagai bentuk penyatuan agregatif antar dua kekuatan politik dimana mereka masing-masing harus melepaskan ego sektarian yang dimilikinya dan melebur menjadi penyatuan kepentingan politik yang lebih besar, bersifat komprehensif dan tentu saja inklusif. 

Koalisi dalam hal ini juga dimaknai sebagai bentuk pragmatisme politik kepartaian yang tidak memilah-milah isu berdasarkan ego sektarian partai tetapi lebih mengedepankan isu lebih umum dalam rangka kepentingan nasional. Mengenai persoalan pemenangan pemilu di negara-negara yang memiliki sistem multi partai, parpol biasanya cenderung berkoalisi mengingat parpol-parpol dalam sistem seperti ini lebih berorientasi kepada isu (issue-oriented) sehingga membutuhkan dukungan suara terbanyak dari setiap warga negara agar dapat memenangkan kontestasi. Isu-isu yang lebih besar dan dianggap mengedepankan kepentingan nasional biasanya menjadi pemicu koalisi partai.   

Koalisi antar partai yang dilakukan PDI-P dan Gerindra merupakan langkah awal penentu koalisi lebih besar yang akan diikuti nantinya oleh parpol-parpol lainnya. Saya berasumsi, bahwa jika Gerindra sudah berkoalisi dengan PDI-P, maka kemungkinan besar parpol yang tergabung secara intra parlemen dalam Koalisi Merah Putih (KMP) akan bergabung mendukung koalisi. Sinyal koalisi kepada Gerindra bahkan sudah lebih dulu dilakukan PKS melalui pertemuan-pertemuan intensif antar pimpinan partai baik dari unsur PKS maupun Gerindra. 

Jika seluruh kekuatan politik dalam KMP mendukung koalisi ini, maka dipastikan akan terdapat kekuatan politik besar yang mayoritas dalam pemenangan Pilkada DKI Jakarta. Hanya saja, permasalahan terbesar adalah bagaimana kandidat-kandidat yang diajukan partai koalisi dapat diterima oleh semua pihak. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi harus mampu menjembatani seluruh agregasi politik yang ada dalam wujud nominasi kandidat yang nanti akan diusung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline