Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Antara Politik Kepartaian dan Politik Pencitraan

Diperbarui: 19 April 2016   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bendera partai politik. (Kompas/ Arum Tresnaningtyas)"][/caption]Akhir-akhir ini kita tampaknya sering dihadapkan oleh sebuah ambigu untuk menempatkan sosok pemimpin yang dinilai memiliki cukup kompetensi. Kompetensi yang dimaksud bisa saja berasal dari image-nya yang baik dalam masyarakat, kinerjanya yang tidak setengah-setengah untuk kemakmuran rakyat atau memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap apa yang telah diamanatkan oleh rakyat. 

Melihat kompetensi pemimpin, tampaknya tidak bisa diukur hanya sebatas kualitas kinerjanya, tetapi yang lebih penting bagaimana dia bisa menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat yang kian kompleks. Singkatnya, mencari sosok pemimpin dengan kompetensi seperti ukuran-ukuran di atas tampaknya masih sangat sulit diwujudkan.

Pola rekruitmen kepemimpinan (politik) saat ini, baik gubernur, bupati, atau wali kota diatur mekanismenya sedemikian rupa melalui birokrasi kepartaian atau partai politik (parpol). Pola ini sudah lama terbangun dan sudah memiliki dasar legitimasi yang kuat dan tertuang dalam undang-undang kepartaian sehingga mereduksi jalur-jalur lain yang tidak dilalui melalui mekanisme kepartaian. Oleh karenanya, mekanisme parpol dalam menyeleksi para pemimpin terkadang mengesampingkan tinjauan kompetensi. Yang disodorkan sebagai pemimpin justru mereka yang memiliki “kedekatan” atau “cocok” dalam bertransaksi politik dengan partainya. 

Kompetensi seringkali dinomorduakan oleh parpol dan dianggap bagian yang nanti dapat berjalan sendiri mengikuti setelah menjadi pemimpin (politik). Yang penting “terpilih dulu” kompetensi bisa diatur belakangan, begitu kira-kira bahasa parpol-nya. Biasanya, para pemimpin (politik) dipilih oleh parpol sesuai dengan kepentingan pragmatismenya, bukan berdasarkan pertimbangan objektif dan rasional yang lebih mengarah pada kompetensi seseorang.

Memang, tidak banyak para pemimpin yang berasal dari “jebolan” parpol yang cukup memiliki kompetensi dalam menjalankan kepemimpinannya di daerah. Hanya saja, meminjam bahasa Buya Syafii Ma’arif, mereka itu sebetulnya terpilih “bukan karena arahan partainya, tetapi lebih banyak karena yang bersangkutan memang pemimpin sejati dan autentik”. Menurut sesepuh Muhammadiyah ini, masalah kesejatian dan autentisitas seorang pemimpin menjadi barang langka dalam politik Indonesia sampai sekarang. 

Jadi wajar, kalau sekarang ini jalur rekruitmen melalui parpol semakin tidak diminati masyarakat dan masyarakat lebih cenderung mengapresiasi mereka yang berkompeten melalui jalur independen. Jadi, bisa saja citra politik mereka yang autentik ini sudah lama terbangun dalam masyarakat sehingga dengan atau tanpa melalui jalur parpol pun mereka sudah layak menjadi pemimpin sejati yang autentik.

Parpol-parpol kelihatannya semakin kehilangan calon pemimpin yang berkualitas akibat praktik transaksionalisme politik yang telah berjalan sekian lama. Lihat saja, ketika musim pilkada tiba, banyak calon pemimpin yang “menyodorkan diri” agar dapat dipinang oleh parpol demi dapat menduduki jabatan pemimpin (politik) secara sah dan legitimated. Namun, itulah akibat aturan demokrasi yang memang harus dipraktikkan di negara ini. Saat ini, parpol sudah kehilangan momentumnya untuk menjaring calon pemimpin dengan berlandaskan kompetensi, yang dicari justru “para pelamar” yang mampu “mengolah transaksi” politik dengan partainya sehingga kemudian dapat diajukan dalam kompetisi suksesi kepemimpinan politik.

Pola transaksional politik seperti ini pula yang kemudian melahirkan gejala pengusungan calon pemimpin alternatif melalui apa yang disebut sebagai jalur independen. Calon independen yang disodorkan biasanya sudah melewati serangkaian “uji kompetensi” yang dilakukan masyarakat sehingga politik pencitraan yang dilakukan tidak harus menunggu waktu saat kampanye tiba, tetapi bekal pencitraan itu dengan sendirinya sudah melekat dalam pandangan politik masyarakat. 

Namun demikian, gejala calon independen yang saat ini menjadi “tren” karena Basuki Thahaja Purnama atau Ahok mencalonkan diri sebagai calon gubernur DKI Jakarta seharusnya tidak juga dianggap sebagai bentuk penggembosan terhadap parpol atau istilah kerennya, deparpolisasi. Gejala deparpolisasi hanya dapat diukur atau dianalisis dari sebuah masyarakat sosialis atau komunis yang menganggap bahwa parpol hanyalah akan membuat masyarakat terkotak-kotak sehingga berujung pada munculnya kelas-kelas yang akan mendominasi sebuah masyarakat.

Jadi saya kira, parpol masih belum kehilangan momentumnya untuk segera memunculkan calon pemimpin politik yang berkompeten dan prorakyat. Parpol memang butuh masukan dana yang besar guna keberlangungan organisasinya, tetapi seharusnya perlu diingat, bahwa tujuan utama dari parpol adalah mampu menjadi agen bagi perubahan sosial, sanggup menyelesaikan persoalan-persoalan publik dengan tepat dan bisa menjadi pelayan publik sehingga target utamanya adalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 

Singkatnya, parpol harus memiliki terobosan-terobosan melalui ide-ide, gagasan-gagasan yang cemerlang dalam rangka memajukan bangsa dan negara. Pola rekruitmen berdasarkan praktik transaksional seharusnya ditekan serendah mungkin oleh parpol sehingga parpol dapat melihat lebih jernih ke dalam masyarakat dan dapat lebih peka dalam memilih “stok-stok” calon pemimpin yang lebih kompeten.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline