Euforia Pilkada DKI Jakarta 2017 sudah sangat dirasakan meskipun gelaran suksesi politik yang cukup banyak menyita perhatian masyarakat ini, masih lebih dari satu tahun lagi. Jakarta memang unik karena ukuran ekspektasi politik masyarakatnya bisa menjadi “barometer politik nasional”. Para politisi, artis, pengusaha, entertainer dari Jakarta, tiba-tiba bisa saja mendadak terkenal dan sanggup bersaing dengan tokoh-tokoh politik lokal dalam kontestasi Pilkada di berbagai daerah. Bahkan, saat ini menjadi mungkin dari Jakarta yang hanya setahun dua tahun kemudian bisa melejit dengan cepat jadi presiden!
Fenomena Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama (Ahok) saat ini menjadi tiba-tiba sangat populer ditengah masyarakat Jakarta. Popularitasnya sudah sangat “menasional” karena dibicarakan tidak hanya di Jakarta, tetapi sudah jauh merambah wilayah luar ibukota. Obrolan-obrolan dan diskusi-diskusi mengenai kepopuleran Ahok tidak lagi diikuti para elite yang digelar di acara-acara diskusi resmi, bahkan bisa terjadi hanya sekedar duduk-duduk di warung kopi bahkan yang lebih aneh lagi dalam sebuah keluarga terkadang terjadi obrolan-obrolan mengenai kepopuleran Ahok dan bisa saja terjadi suasana pro dan kontra .
Politik memang sangat menarik untuk diperbincangkan, selain makanan dan tentunya sex. Ketiga tema ini biasanya yang paling sering kita lihat dalam obrolan-obrolan ditengah-tengah masyarakat. Mengulas masalah politik atau kekuasaan biasanya hampir mirip dengan ulasan dalam sebuah sinetron, mereka-reka bagaimana ending-nya padahal terkadang alur ceritanya sudah bisa ditebak.
Kemunculan Ahok yang mendadak populer, tidak terlepas dari apa yang dibangun dan diciptakan masyarakat sebagai “budaya pop”. Budaya pop atau populer ini dibangun berdasarkan kepercayaan dan nilai, prilaku dan nilai, pemahaman terhadap sejarah dan keberbedaan dimana semua hal tersebut dimiliki oleh kelompok sosial tertentu. Budaya pop menciptakan hubungan-hubungan sosial-budaya yang disamakan dengan “barang” dan ideologi dalam prakteknya dianggap sebagai “barang kebudayaan”. Jadi budaya pop ini seperti sebuah “produk budaya” masyarakat yang dikemas secara massif (bisa laris seperti kacang goreng), menyedot banyak perhatian dan biasanya merupakan tren sesaat. Layaknya lagu pop, ia bisa saja bertahan lama atau beralih menjadi tembang nostalgia saja.
Sosok Ahok dicitrakan sebagai “barang” dan segala modal keberhasilannya dalam membangun Jakarta dijadikan “barang kebudayaan” yang dibentuk, disuguhkan dan dipertontonkan kepada publik. Mirip dengan alur cerita dalam sinetron, “rekayasa-rekayasa” popularitas seseorang dipoles oleh “efek-efek” agar memiliki kesan lebih baik sehingga citra dan popularitasnya justru semakin meningkat. Efek-efek yang dimaksud bisa saja berasal dari membangun kesan bahwa tokoh itu seorang “minoritas”, “tak mau kompromi” atau “kasar dalam bertindak” sehingga terdapat kesan “penindasan” dan memunculkan simpati publik. Dengan modal “efek-efek” ini justru bisa saja popularitasnya semakin melejit apalagi ditengah menguatnya tingkat pragmatisme politik masyarakat menjelang suksesi di Jakarta.
Membangun “Budaya pop” ditengah masyarakat perkotaan seperti Jakarta justru sangat menguntungkan apalagi diperkuat oleh serangkaian penguatan melalui jalur-jalur media massa. Budaya seperti ini tidak dibangun melalui jalur-jalur politik resmi seperti diangkat atau dibuat oleh partai politik pendukung seorang tokoh, tetapi lebih banyak dibangun oleh sekelompok masyarakat yang mempunyai “jalur khusus” dengan sosok yang akan dipopulerkan.
Penguatan budaya pop melalui pencitraan Ahok, memang harus dibendung melalui jalur kompetisi yang sehat, baik itu melalui pembangunan budaya politik baru yang lebih diterima masyarakat atau membangun citra baru tentang ketokohan seseorang diluar Ahok. Melawan kepopuleran Ahok tidak bisa dibangun melalui manipulasi-manipulasi politik yang bersifat ideologis atau keagamaan, tetapi harus dibangun melalui kesadaran masyarakat secara kolektif (conscience collective) bahwa harus ada sistem nilai yang bisa dibangun untuk kebaikan bersama. Sistem nilai yang dibangun bisa saja berasal dari nilai-nilai agama, budaya atau ideologi yang diikat dan diimplementasikan untuk seluruh kebaikan masyarakat (public good). Hal ini harus dilakukan oleh para kontestan politik yang nanti akan berlaga di Pilkada Jakarta 2017.
Diakui atau tidak, memang realitas kepopuleran seorang Ahok di Pilkada DKI Jakarta nanti sudah mulai “dilawan” oleh kontestan lain yang mulai mucul di publik. Sebut saja misalnya, Haji Lulung dan Yusril Ihza Mahendra. Keduanya tampak “gigih” melawan kepopuleran Ahok dengan mencoba mengambil simpati dari masyarakat. Keduanya cukup populer di Jakarta secara personal meskipun belum memiliki dukungan penuh dari berbagai unsur dalam masyarakat. Pilkada DKI Jakarta kelihatannya didominasi oleh para kontestan yang “melawan” Ahok secara independen.
Partai-partai politik di kontes Pilkada DKI Jakarta kali ini tampak “mandul” tidak mampu melahirkan calon-calon pemimpin untuk “melawan” kepopuleran Ahok, mereka justru menunggu “lamaran” dari para kontestan yang sesuai dengan visi-misi yang sesuai dengan mereka. Model pragmatis transaksional dalam politik saat ini mungkin menjadi penghambat parpol-parpol untuk dengan mudah melahirkan pemimpin politik yang kompeten dalam panggung kekuasaan.
Kepopuleran Ahok harus dilawan agar dapat tercipta kondisi demokratisasi yang sehat dan kompetitif. Cara-cara yang tidak sehat dan tak mau berkompetisi justru akan merusak citra demokratisasi yang sudah terbangun saat ini. Menjadi pemimpin adalah “keterpanggilan” untuk berjuang atau memperjuangkan sesuatu untuk kebaikan bersama, bukan “berjuang” sesaat yang hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu.
Meskipun kita sadar bahwa kenyataannya, kekuasaan politik dimaknai pragmatif-transaksional sehingga cenderung berorientasi pendek: hanya mementingkan kelompok atau golongan, mendapatkan privilege tanpa berpijak pada orientasi jangka panjang untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.