[caption caption="Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Sumber : Kompas.com"][/caption]Membaca Jakarta secara sosio-politik memang cukup menarik, bukan karena secara geografis, ia berada di tengah-tengah pusat kekuasaan, tetapi juga melihat dari komposisi penduduknya yang heterogen, Jakarta merupakan refleksi dari masyarakat pemilih (voters) yang relatif lebih rasional. Sisi rasionalitasnya mungkin bisa dilihat atau diukur berdasarkan cara pandang setiap warganya terhadap kebutuhan pemimpin politik yang tidak lagi fokus kepada persoalan latar belakang agama, budaya, atau ideologi yang dianut, tetapi lebih melihat kepada program kerja apa yang ditawarkan dan apakah sesuai dengan tujuan atau hasil akhir yang akan dicapai.
Bahkan sisi rasionalitas seseorang cenderung menggeser ideologi-ideologi tertentu sehingga lahir sikap pragmatis dalam setiap pilihan politiknya. Sikap “pragmatisme” seseorang, kelompok atau masyarakat pada tahap tertentu kemudian dapat mengarahkan untuk memilih atau tidak memilih dalam konteks pemilihan pemimpin.
Fenomena pragmatisme masyarakat di Jakarta dapat dibaca ketika suksesi politik pada Pilkada Jakarta 2012. Kemenangan Joko Widodo atas kontestan petahana waktu itu, Fauzi Bowo menggambarkan proses politik yang tampak lebih rasional. Para pemilih tidak lagi diarahkan oleh asumsi-asumsi primordial dan ikatan-ikatan tradisional bahkan ideologi keagamaan tertentu, tetapi lebih melihat kepada bentuk program kerja yang ditawarkan oleh para kontestan politik.
Sikap pragmatisme publik ditunjukkan melalui perhatian yang besar dari masyarakat terhadap upaya-upaya atau solusi yang ditawarkan oleh setiap kontestan. Masyarakat akan lebih tertarik mendukung kepada kontestan yang memiliki orientasi terhadap pemecahan masalah (problem solving) baik skala lokal apalagi nasional, tanpa mempedulikan latar belakang ideologi atau agamanya.
Para kontestan biasanya bermain pada isu-isu publik seperti kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, transparansi, reformasi birokrasi atau KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang menjadi program kerja real dan harus dicarikan problem solving-nya.
Publik nampaknya sudah tidak begitu tertarik dengan orientasi keagamaan, keterikatan ideologis atau tradisi-tradisi yang melekat atau yang dibawa oleh para kontestan politik. Publik cenderung melihat, menilai, mengevaluasi dan pada akhirnya memilih kontestan yang sesuai dan sejalan antara program kerja yang ditawarkan dan solusi yang akan diberikan.
Proses interaksi yang terus menerus terhadap lingkungan, budaya, nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat ditambah dengan akses yang mudah terhadap beragam informasi telah membentuk masyarakat Jakarta semakin kritis.
Sikap kritis yang terbangun sangat mungkin mengubah orientasi politiknya menjadi non-partisan dan bersikap menunggu mana kontestan yang paling realistis dalam mengusung program kerjanya. Sikap kritis juga pada akhirnya semakin menumbuhkembangkan masyarakat yang mengambang (floating mass) yang biasanya seringkali dimanfaatkan oleh para calon kontestan politik sebagai aset atau “modal politik” dalam proses menuju suksesi kepemimpinan.
Persentase massa mengambang yang semakin meningkat di Jakarta, nampaknya juga dilirik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Masyarakat Jakarta bukan lagi masyarakat yang bisa dengan mudah terikat kedalam suatu partai politik tertentu, akibat rasionalisasi budaya dan pragmatisme politik.
Upaya pencalonan dirinya melalui jalur independen bukan tanpa perhitungan, tetapi sudah mengukur tingkat pragmatisme politik masyarakat Jakarta yang saat ini dia pimpin. Seringkali massa mengambang merupakan penentu suara dalam setiap pemilihan umum, karena mereka umumnya diperebutkan oleh kontestan dari partai politik. Kekuatan pemilih kontestan independen justru bisa berasal dari keduanya, partisan atau non-partisan (massa mengambang).
Terlepas dari kritik terhadap sepak terjang Ahok selama memimpin Jakarta, ia nampaknya mencoba menampilkan sebuah karakteristik baru: membongkar “budaya politik” elitis yang selama ini terlanjur menjadi bagian kultur politik masyarakat luas. Budaya politik ini lambat-laun telah menjadi semacam “gaya hidup” bahkan menjadi tren sebagian besar masyarakat. Budaya politik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), misalnya, yang sudah menjadi prilaku sebagian elite politik, telah menulari dan sukses menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat itu sendiri.